Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

• Tebar Hikmah Ramadan • Life Hack • Ekonomi • Ekonomi • Bisnis • Finansial • Fiksiana • Fiksiana • Cerpen • Novel • Puisi • Gaya Hidup • Gaya Hidup • Fesyen • Hobi • Karir • Kesehatan • Hiburan • Hiburan • Film • Humor • Media • Musik • Humaniora • Humaniora • Bahasa • Edukasi • Filsafat • Sosbud • Kotak Suara • Analisis • Kandidat • Lyfe • Lyfe • Diary • Entrepreneur • Foodie • Love • Viral • Worklife • Olahraga • Olahraga • Atletik • Balap • Bola • Bulutangkis • E-Sport • Politik • Politik • Birokrasi • Hukum • Keamanan • Pemerintahan • Ruang Kelas • Ruang Kelas • Ilmu Alam & Teknologi • Ilmu Sosbud & Agama • Teknologi • Teknologi • Digital • Lingkungan • Otomotif • Transportasi • Video • Wisata • Wisata • Kuliner • Travel • Pulih Bersama • Pulih Bersama • Indonesia Hi-Tech • Indonesia Lestari • Indonesia Sehat • New World • New World • Cryptocurrency • Metaverse • NFT • Halo Lokal • Halo Lokal • Bandung • Joglosemar • Makassar • Medan • Palembang • Surabaya • SEMUA RUBRIK • TERPOPULER • TERBARU • PILIHAN EDITOR • TOPIK PILIHAN • K-REWARDS • KLASMITING NEW • EVENT Ditinjau dari arti Ahl yang berarti keluarga -- keluarga pengikut  dan penduduk, sedangkan as -- sunnah bermakna jalan, cara atau perilaku nabi dan al jamaah berarti mengumpulkan sesuatu atau bisa diartikan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.

Sedangkan pengertian aswaja dapat disimpulkan bahwa semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW. Dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam aqidah, Syariah dan tasawuf. Adapun pengertian aswaja secara terminology dapat didefinisikan bahwa aswaja adalah orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandasan atas dasar -- dasar modernisasi.

Baca juga: Pengertian dan Nilai-Nilai Aswaja Adapun contoh dari golongan -- golongan pengikut aswaja yaitu, NU (nahdlatul ulama), Muhammadiyah, dan masih banyak yang lain. Dalam berorganisasi PMII, aswaja merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian tersebut. Bagi PMII, aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukan bahwa islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Baca juga: 100 Hujjah Aswaja Menjadi Rujukan Warga Nahdlatul Ulama Betapa sangat pentingnya paham aswaja bagi kehidupan.

Dengan menjadikan aswaja sebagai suatu paham yang tertanam di hati akan menjadikan kita menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya. Adapun cara agar kita selalu dalam jalannya ( aswaja ) yaitu, tawasuth yang dapat diartikan sebuah sikap moderat yang tidak cenderung ke kanan maupun ke kiri, contohnya kita dihadapkan suatu masalah, kita menyikapinya dengan cara berikhtiar dan mencari solusi yang terbaik agar tidak terjadi kekeliruan kedepannya. Baca juga: Jelang Usia Seabad, NU Kokoh Kawal Aswaja Nusantara Yang kedua yaitu tawazun, dapat diartikan dengan sikap berimbang atau harmonis dalam mengintegrasikan dalil -- dalil, dengan begitu perlu adanya pertimbangan -- pertimbangan untuk mencetuskan sebuah kebujakan.

Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh ketiga adalah taadul, dapat diartikan dengan sikap adil dan netral dalam melihat konteks permasalahan. Yang terakhir adalah tasamuh, dapat diartikan dengan sikap toleransi yang berguna untuk menciptakan keharmonisan kehidupan bermasyarakat.

Dengan cara- cara diatas kita dapat menjaga dan berpegang teguh pada aswaja. Marilah kita berpegang teguh pada aswaja agar kehidupan berbangsa aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh lebih baik. Ketika orang NU tulen, membayangkan “NU” yang terlintas pertama kali adalah Sang pendiri, Hadratusyekh Hasyim Asy’ari dan perjuangannya mendirikan NU juga negara ini, logo NU yang khas dan penuh makna, cara ber-Islam yang ramah, moderat, amalan yang khas, bertingkah laku khas jam’iyyah Nahdlatul Ulama, cinta tanah air, ber-Pancasila, dan seabreg-abreg simbol ke-NU-an.

Itu semua trademark Ahlusunnah wal Jamaah An-Nahdliyah. Bukan yang lain. Itu yang membedakan dengan Aswaja yang lain. (Red) Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I** Pengantar Aswaja adalah aliran keagamaan yang diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja NU terkenal dengan nama Aswaja Nahdliyah, yaitu Aswaja yang menjadi keyakinan dan dasar utama bagi warga NU dalam semua bidang, agama, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik.

Namun sayang, mayoritas warga NU belum memahami secara mendalam apa itu Aswaja ?, apa yang membedakan Aswaja dengan aliran lain ?, dalil-dalil yang menjadi dasar amaliyah warga NU seperti tahlilan, manakiban, yasinan, dan lain-lain ?, Apakah benar amaliyah warga NU termasuk bid’ah dhalalah (sesat) ? kalau tidak, apakah termasuk kategori sunnah ? Wacana bid’ah selalu dijadikan senjata untuk menyerang amaliah warga NU secara terus menerus. Pelurusan wacana sangat penting dan mendesak, supaya warga NU bisa mengamalkan tradisinya secara nyaman dan tenang.

Selain itu, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat formulasi Aswaja klasik mengalami kemunduran, karena dirasa kurang mampu menjawab tuntutan dinamika zaman. Maka, menjadi suatu keniscayaan melakukan penyegaran dan pembaruan doktrin Aswaja.

Salah satunya adalah menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr (metodologi berpikir) dalam membaca realitas secara dinamis, analitis, produktif, dan solutif. Persoalan muncul lagi, bagaimana mengaplikasikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam organisasi dan program-programnya.

Disinilah pentingnya membumikan Aswaja sebagai aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh al-fikr dalam organisasi dan program-programnya supaya operasional kuatitatif sehingga bisa meningkatkan kualitas warga NU secara maksimal.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Latar Belakang Historis Lahirnya Aswaja Lahirnya Aswaja tidak bias dilepaskan dari munculnya pergolakan firqoh-firqoh dalam Islam wafatnya Rasulullah Saw.

Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis. Dalam sejarah Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (faham/golongan) dalam lingkungan umat Islam, dimana satu dengan lainnya bertentangan faham secara tajam dan sulit untuk didamaikan.

Didalam buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, bahwa ada 72 firqah yang sesat bertumpu pada 7 firqah yaitu : • Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib.

Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan. • Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina Ali.

Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran. • Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll.

Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Qadariyah. • Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran.

• Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada.

Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran. Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa.

Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran. • Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah. Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi.

Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asy’ariyah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari. Ahlusunnah wal jama’ah berarti kaum atau golongan yang menganut serta mengamalkan ajaran Islam yang murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para sahabatnya.

I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Sheikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari. Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah.

Dalam buku-buku Ushuluddin biasa dijumpai perkataan Sunni sebagai kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut-pengikutnya dinamai Sunniyun. Di dalam aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh ‘Ihtihaf Sadatul Muttaqin’ karangan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni Az-Zabidi, yaitu buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi.

Hubungan NU & Aswaja Nahdlatul ‘Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M oleh para ulama pengasuh pesantren yang didalam komunitas Islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata cara pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah. Paling tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul ‘Ulama yaitu : Pertama, Usaha untuk mempertahankan faham Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan rasa cinta tanah air (untuk Persatuan dan Kesatuan).

Kedua, Berkembangnya Ajaran wahabiyah (haram Ziarah kubur, tidak mengakui waliyullah, haram Tahlilan, berdoa langsung pada Allah, Haram Dhiba’/Berjanzi, Haram shodaqoh untuk orang yang telah meninggal, dsb). Ketiga, Berdirinya Komite Hijaz. Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan Nahdlatul ‘Ulama mudah berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis pesantren. Sebagai Jam’iyyah Diniyah yang bermotif keagamaan dan berlandaskan keagamaan, segala sikap, perilaku, dan karakteristik perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal jama’ah, serta bercita-cita aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau dengan kata lain tercapainya Sa’adatud darain bagi umat dan warganya.

Sejak awal Nahdlatul ‘Ulama menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah wal Jama’ah, sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al Qur’an, As sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Secara harfiah Ahlusunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan jama’ah (para sahabat) atau segolongan pengikut sunnah Rasulullah saw yang didalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di garis yang dipraktekkan oleh jama’ah (para sahabat).

Menurut NU, faham Ahlusunnah wal Jama’ah tidak dapat dipisahkan dari haluan bermadzhab, sebagaimana ditegaskan dalam Naskah Khittah NU pada butir 3 sebagai berikut : Nahdlatul ‘Ulama aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al Qur’an, As-Sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber ajarannya, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh al-Madzhab, yaitu: Pertama, dalam bidang aqidah, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.

Kedua, dalam bidang hukum Islam (fiqih), Nahdlatul ‘Ulama mengikuti jalan pendekatan (al Madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Ketiga, dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali, serta imam-imam yang lain. Aswaja sebagai Mazhab Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya).

Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya. Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu.

Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja. Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab.

Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi. Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU.

Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho’if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail.

Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya. Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja.

Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama. Reformulasi Aswaja Sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Amaly; KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi.

Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr (pendekatan berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu.

Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas dari pengaruh tuntutan realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.

Dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah Nahdliyah).

Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain : • Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. • Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat hidup aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.

• Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul ‘Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kearah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al ashlah). • Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. • Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul ‘Ulama.

Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan Nahdlatul ‘Ulama nampak sebagai organisasi sosial keagamaan yang sangat moderat, toleran, dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya pola pikir Nahdlatul ‘Ulama tidak tradisionalis, ortodok, ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama yang menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam bertindak sebagaimana laporan penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh (1979), demikian pula Martin Van Bruinessen (1994).

Nahdlatul ‘Ulama berpendirian bahwa faham Ahlusunnah wal Jama’ah harus diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang bertumpu pada karakter Ahlusunnah wal Jama’ah (Manhajul Amaly). Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan Nahdlatul ‘Ulama dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain : • At-Tawassuth.

Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan. • Al I’tidal. I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri.

I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela. • At-Tasamuh. Tasamuh berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.

• At-Tawazun. Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain. • Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.

Berbeda dengan konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr, yang belakangan dikembangkan juga sebagai manhaj al-amal (pendekatan melakukan kegiatan), aswaja diposisikan sebagai metode berpikir dan bertindak yang berarti menjadi alat (tools) untuk mencari, menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial.

Sebagai alat, maka sikap pro aktif untuk mencari penyelesaian menjadi lebih bersemangat guna melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil. Dalam hal ini pendapat para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif, namun tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau membatasi kreativitas Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empiric dan Waqi’iyah (kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif).

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Disamping itu NU menjadi sentral gerakan dalam menjaga stabilitas sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin.

Menurut Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-amal : • Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru; • Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy); • Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’); • Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif; • Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya.

Dalam upaya “Revitalisasi NU untuk masyarakat dan bangsa yang damai dan berkeadilan bagi semua”, perlu upaya dan strategi yang terencana dan dapat diaplikasikan secara efektif di semua tingkatan dengan tujuan dapat tercipta sebuah organisasi dan infra struktur NU yang kuat dan mandiri. Upaya-upaya yang dilakukan meliputi: • Perspektif umat, melakukan pemberdayaan warga nahdliyyin dan kelompok masyarakat terpinggirkan melalui advokasi kebijakan publik pada level lokal, dan melakukan aksi-aksi praktis pendampingan kelompok-kelompok warga pada tingkat local dan akar rumput; • Perspektif finansial, melakukan revitalisasi Badan atau unit-unit usaha warga atau organisasi NU, membangun kemitraan dengan berbagai pihak, pemerintah, swasta dengan menerapkan manajemen keuangan yang professional, transparan dan akuntabel; • Perspektif organisasi, mengupayakan terciptanya tata laksana organisasi yang modern, rasional, dan terpercaya dengan berbasis teknologi informasi dimana mekanisme, pembinaan dan penguatan berjalan efektif dengan orientasi yang jelas pada kepentingan warga; • Perspektif sumber Daya Manusia; mengupayakan terciptanya jaringan SDM multi disiplin dan talenta yang berkualitas, kompeten, jujur, peduli dan konsisten dengan semangat pengorbanan dan kesetiakawanan yang tinggi bagi tercapainya tujuan bersama.

__________________ Sumber bacaan : Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, “Khalista” Surabaya, (Surabaya, Cet. 3, 2005) Badrun Alaina, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana, (Yogyakarta, 2000) Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah (Jakarta, 1993).

Syaifuddin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Aswaja dalam Praktik, PP.IPNU, (Jakarta, 1976). Tim Penulis, Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, PW. LP Ma’arif NU Jawa Tengah, (Semarang, 2002). Tim PWNU Jawa Timur, Ahlusunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah, “Khalista” Surabaya bekerja sama dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Jawa Timur, (Surabaya, 2007). * Disampaikan dalam DIKLATSAR BANSER SARKORCAB X-7 GP. Ansor Cabang Pati ** Penulis adalah Tim Aswaja Center PCNU Kab. Pati Pengurus LTN-NU dan Ketua MWC.NU Winong.

Sumber : ASWAJA Centre Pati
Jakarta - Ahlussunnah wal Jamaah atau aswaja merupakan pemahaman tentang akidah yang berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Siapa ulama pelopor aswaja? Dikutip dari buku Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah oleh Subaidi, secara terminologis, Ahlussunnah wal Jamaah berasal dari tiga kata, yaitu: 1.

Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut, komunitas. 2. Sunnah yang artinya segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yakni semua yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, ucapan, dan pengakuan Nabi Muhammad SAW.

3. Al-Jamaah yang artinya apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin, yakni Khalifah Abu Bakar ra., Umar bin Khattab ra., Utsman bin Affan ra., dan Ali bin Abi Thalib ra. Dari ketiga kata tersebut, disimpulkan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan yang mengikuti perilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pada zaman pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Baca juga: 9 Amalan Sunnah di Hari Jumat dan Penjelasannya Menurut Syekh Hasyim Asy'ari dalam Zidayat Ta'liyat, Ahlussunnah wal Jamaah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih.

Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-Fiqrah an-Najiyah). Saat ini, kelompok tersebut terhimpun dalam mazhab yang empat, yaitu mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hambali. Dikutip dari buku Intisari Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah oleh AA. Hamid al-Atsari, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, imam Ahlus Sunnah berkata: "Pokok sunnah menurut kami (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah berpegang teguh pada apa yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW dan mengikuti mereka serta meninggalkan bid'ah.

Segala bid'ah itu adalah sesat." (Lihat al Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah dan Imam as-Suyuthi al-Amru bil Ittiba' wan Nahyu 'anil Ibtida') Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Imam Al Ghazali mengatakan, "Jika disebutkan Ahlussunnah wal Jamaah maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy'ari dan Al-Maturidi." Aliran Ahlussunnah wal Jamaah pada bidang akidah atau ubudiyah berkembang menjadi berbagai bidang, seperti syariah atau fiqih dan tasawuf.

Dalam bidang akidah mengacu pada Imam Asy'ari dan Imam Maturidi. Sedangkan, dalam fiqih atau hukum Islam mengacu pada salah satu empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali yang berlandaskan Al Quran, hadits, ijma dan qiyas.

Sahabat hikmah, itulah penjelasan dan pelopor aswaja. Semoga penjelasan di atas dapat menambah ilmu dan pengetahuan Sahabat Hikmah! Aswaja pada fase teologi dibagi lagi ke dalam dua fase, yaitu fase teologi substantif dan fase teologi formal. Pada fase teologi substantif, Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari.

Ini fase awal di mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan Islam. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh Nabi. Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama sekali tidak muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk mengikuti ajaran Muhammad dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal muncul kalimat “ahlussunnah wal jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara substantif berarti “ahlussunnah wal jama’ah”.

Pada fase ini, orang-orang yang menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja. Oleh karena itu, fase ini dinamakan dengan fase teologi substantif. Selanjutnya adalah fase teologi formal. Fase ini berlangsung saat Nabi Muhammad menjelang wafat dan memberikan wejangan kepada umatnya bahwa umat Islam kelak akan terbagi ke dalam 73 golongan. Dan, semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabat.

Hadis ini yang kemudian oleh warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab Aswaja. Bunyi hadisnya adalah “Ma’ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya harfiahnya adalah “Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.” Peristiwa ini muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad wafat hingga dalam periode tertentu muncul ulama besar bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H - 324H, 64 tahun), tokoh Muktazilah yang kemudian keluar dan mendirikan madzab baru dengan semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”.

Pengikut madzab ini kemudian dinamakan Asya’ariyah. Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak membingungkan umat Muslim.

Kita kembali kepada sejarah setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga munculnya aliran formal Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan dipopulerkan kembali oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq.

Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad sama sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual Nabi.

Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.

Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah. Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah.

Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada diujung tombak sebagai tawaran damai.

Periode selanjutnya Muawiyah berkuasa, dan untuk melanggengkan kekuasaannya tersebut, Muawiyah—atau dikenal dengan Bani Umayyah—membuat aliran keagamaan yang disebut dengan aliran Jabariyah dengan doktrin ajarannya yaitu; “ semua yang terjadi dalam dunia ini adalah kehendak Allah. Termasuk Muawiyah menang dari Ali itu juga dikehendaki oleh Allah”. Pendek kata, dalam doktrin Jabariyah dengan pemahaman bahwa apapun yang dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan diinginkan oleh Allah.

Dengan doktrin dan pemahaman ini, kemudian dalam kehidupan masyarakat muncul banyak pengemis, ekonomi hancur, masyarakat banyak yang tidak berusaha karena lebih menjalankan rutinitas ritual dan tidak mau mencari rizki. Sebagai perimbangan dan anti tesis atas paham Jabariyah tersebut, kemudian muncul paham Qodariyah yang dipelopori oleh cucu Ali bin Abi Thalib dengan nama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dengan paham yang sebaliknya, bahwa; “ manusia ini yang berkehendak atau yang berkuasa, dan Allah tidak turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh manusia.

Karena manusia berkehendak, maka Allah tidak turut campur dan manusia harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya”. Dari sinilah kemudian mulai ada reformasi (pembaharuan), yang kemudian Bani Umayyah tumbang dan mampu digulingkan, selanjutnya digantikan oleh Bani Abbasiyah. Aliran Qodariyah pada masa Bani Abbasiyah benar-benar dijadikan sebagai spirit pembangunan negara yang turunannya dengan sedikit modifikasi, atau yang kita kenal dengan paham Mu’tazilah.

Karena akal lebih mendominasi dalam pandangan dan prinsip Mu’tazilah, sehingga menimbulkan kebablasan dalam berfikirnya, karena semuanya diukur dengan akal dan kehendak manusia (akal mutlak).

Sampai kemudian terjadi peristiwa―ketika salah satu dari keturunan Bani Abbasiyah, yaitu masa khalifah Al-Ma’mun―dimana paham Mu’tazilah dijadikan sebagai paham resmi negara, sehingga timbul banyak korban bagi mereka yang tidak sepaham.

Peristiwa tersebut dikenal dengan Mihnah (inquisition). Selanjutnya, pada akhir abad ke-3 Hijrah muncullah dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu Hasan Al Asy’ari (di Basrah) dan Abu Mansur Al Maturidi (di Samarkand). Al Asy’ari belajar bersama gurunya, yaitu Abu Ali al-Jubbai selama 40 tahun. Sehingga termasuk tokoh Mu’tazilah, yang karena kepintaran dan kemahirannya sering mewakili gurunya dalam berdiskusi.

Tetapi kemudian Asy’ari meninggalkan gurunya dan paham Mu’tazilah, karena adanya perbedaan pandangan dengan gurunya, serta membentuk paham dan mazhab baru. Dan jadilah pendapat Asy’ari itu dengan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Memang, untuk kepentingan umat dan agama, Asy’ari kompromikan antara nash dan akal.

Sebab, berpegang pada nash secara harfiah dan mengharamkan penggunaan akal adalah keliru. Tetapi sebaliknya, memperturutkan pendapat akal semata untuk menyusun pendapat berkaitan dengan aqidah adalah suatu kesalahan yang fatal. Al-Qur’an dan as-Sunnah juga tidak mengabaikan akal dan tidak mengharamkan wajar.

Penggunaan akal dalam memaknai dan membela syari’ah adalah suatu kemestian, dan bukan suatu kesesatan. Al-Asy’ari memperoleh kedudukan dan mempunyai banyak pendukung dan pembelaan dari penguasa.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Ia mengalahkan musuh-musuhnya, baik Mu’tazilah maupun kaum yang lain, serta orang-orang kafir. Ahlussunnah wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan Aswaja secara bahasa berasal dari kata ‘ Ahlun ’ yang artinya keluarga, golongan atau pengikut.

‘ Ahlussunnah ’ berarti orang yang mengikuti sunnah, baik perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw. Sedangkan ‘ al-Jama’ah ’ adalah sekumpu lan orang yang memiliki tujuan. Sikap pertengahan, tidak ekstrim kanan juga tidak ekstrim kiri. Sehingga menghadapi persoalan harus seimbang. Tawasuth yaitu sikap tengah yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan masyarakat, dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim.

Tawasuth memprioritaskan dan mengorientasikan sikap, tindakan dan sifat-sifat manusia maupun masyarakat selalu dalam keadaan yang tepat Pada sikap ini, persoalan harus seimbang. Yakni dalam menghadapi persoalan harus menggunakan landasan tekstual (Al Qur’an dan Hadits) dan mempertimbangkan dengan akal.

Jadi, tidak boleh hanya mengedepankan salah satu. Keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan sosial, antara masa lalu dan masa depan, antara hak dan kewajiban. Sikap toleran merupakan sikap saling menghargai antarsesama.

Saling menghargai antarras, suku dan bangsa juga mereka mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Sehingga warga Nahdliyin dapat hidup berdampingan dengan mereka. Tasamuh dapat diartikan sebagai sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu'iyah, sehingga dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budaya berbeda. Para Ulama’ NU di Indonesia menganggap Aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’addul (Keadilan).

Maka Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode berfikir ( manhaj al-fikr ) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru ( blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.

Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlus sunnah wal Jama’ah adalah, sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah; “ Orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, keadilan dan toleransi”.

S alah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrime. Sebaliknya, Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-shalih wa al-ahslah.

Karena implementasi dari qaidah ‘ al-muhafadhoh ala qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah ’, adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang
Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam.

Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte.

Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi.

Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab.

Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW.

Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali KW. Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.

Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah.

Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah. Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik.

Terlebih masa Yazid b Muawiyah. Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq.

Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah. Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti. Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah.

Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.

Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.

Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah. Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa.

Terebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing. Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani).

Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan.

Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Mâ ana Alaihi wa Ashâby," jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.

Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya.

Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal. Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut.

Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj.

Mari kita diskusikan. Aswaja sebagai Mazhab Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya. Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu.

Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja. Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak.

Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi. Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja.

Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.

Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja.

Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.

Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman.

Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman. Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi? Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya).

Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya.

Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks. Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat.

Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan.

Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.

Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja.

Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya. Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka.

Aswaja sebagai Manhaj Nah, berbagai problem aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh. Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya.

Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal. Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan.

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan. Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku.

Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis. Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain. Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad.

Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah. Maka, selamat bergabung dengan kami.[p]
Syariat Islam adalah aturan-aturan Allah SWT, yang diciptakan untuk umat Islam yang dimanifestasikan oleh para mujtahid dalam literatur kitab-kitab fiqh, sebagai aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh menuju kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat.

Namun dalam kenyataannya produk-produk hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tersebut tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang sangat kompleks. Oleh karenanya, tuntutan untuk melakukan ijtihad oleh para intelektual/ahli hukum Islam akan semakin mendesak, baik ijtihad secara individual (fardi) seperti pada masa-masa klasik maupun kolektif (jama`i).

Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan hukum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in, hingga mencapai masa keemasaan pada khilafah Abbasiyah, akan tetapi harus diakui madzhab telah memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam penetapan hukum fiqh Islam.Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab dikarenakan perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh serta perbedaan interpretasi atau penafsiran mujtahid.Menganut paham untuk bermahzab, dikarenakan faktor “ketidakmampuan” kita untuk menggali hukum syariat sendiri secara angsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah).

Bermadzhab secara benar dapat ditempuh dengan cara memahami bahwa sungguhnya pemahaman kita terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Menurut bahasa Arab, “mazhab” ( مذهب ) berasal dari shighah masdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunujukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil madhy “ dzahab ( ذهب ) yang bermakna pergi.

Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq). Sedangkan menurut istilah ada beberapa rumusan: 1.

Menurut M. Husain Abdullah, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini bisa disimpulkan pula bahwa mazhab mencakup; (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid dari sumber hukumnya ( al-qur’an, hadist, ijma’, dan qiyas ); (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.

Oleh karena itu, membicarakan madzhab tidak akan lepas dari ijtihad. Madzhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas ( qath‘i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama.

Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya. Dalam sejarah Islam, madzhab fiqh aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh berkembang sangat banyak. Namun yang diakui dan diamalkan oleh ulama golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah hanya empat madzhab saja yaitu madzhab hanafi, madzhab maliki, madzhab syafi’i, dan madzhab hambali.

Ada beberapa faktor yang melandasinya; (a). Kualitas individu dan keilmuan mereka sudah terkenal dan diakui oleh seluruh umat Islam; (b). Keempatnya merupakan mujtahid mutlak mustaqil; (c). Mempunyai murid yang secara konsisten menulis dan mengajarkan madzhab imamnya; (d).

Di antara mereka terdapat hubungan intelektual. Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum hukum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut.

Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi’i Dalam menyelesaikan setiap persoalan hukum, Ahlussunnah Wal Jama’ah selalu berpedoman pada al-qur’an dan al- hadist sebagai sumber dari segala hukum, ijma’ (kesepakatan ulama) dan qiyas ( menyamakan sesuatu yang belum jelas hukumnya dengan sesuatu yang telah jelas hukumnya ) sebagai pelengkapnya.

Empat prinsip inilah yang dijadikan rujukan oleh ulama ( penganut) Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam setiap aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh masalah dan dalam mengambil sebuah keputusan hukum, baik yang berkaitan dengan akidah ( keyakinan ) ubudiyyah ( kegiatan beribadah ),mu’amalah ( transaksi), munakahah ( pernikahan) jinayah ( hukum perdata atau pidana ) qodlo’ ( keputusan peradilan ) dan atau segala hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Ahlussunnah Wal Jama’ah memandang perlu adanya ijtihad untuk merampungkan masalah hukum ketika al-qur’an dan al-hadist tidak menjelaskannya. Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli fiqih untuk menghasilkan sebuah hukum yang bersifat dzanni (lebih besar peluang kebenaranya ), tidak bersifat qath’i ( dipastikan kebenaranya). Akan tetapi tidak semua orang boleh dan berhak ber ijtihad.

Menurut Abdul Manan (2012:127) menjelaskan bahwa seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad apabila telah memenuhi beberapa persyaratan berikut. Mujtahid madzhab ( fatwa ) adalah seseorang yang berijtihad namun dengan memakai metode istimbath yang dilakukan oleh imamnya serta produk hukum dari imamnya, dia hanya menyeleksi pendapat yang shahih atau yang tidak shahih antara yang kuat dan yang lemah.

Termasuk golongan ini adalah Imam Al-ghazali dan Imam Al-juwaini Mujtahid murajjih adalah seorang yang melakukan penyeleksian dalam madzhab tertentu dengan cara memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau yang paling sesuai dengan tuntutan kemaslahatan umat. Ulama yang termasuk golongan mujtahid ini adalah Imam Ar-rafi’i (557-623H /1162-1226 M) dan Imam An-Nawawi ( 631-676 H /1234 -1277 M) Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali dalil suatu hukum secara langsung dari al-qur’an atau al-hadist diwajibkan bertaqlid kepada salah satu dari ulama mazhahib al arba’ahyakni imam hanafi imam maliki imam syafi’i dan imam hambali, karena ber ijtihad sangat sulit dilakukan oleh setiap orang lantaran syarat-syarat yang harus dipenuhinya sangat banyak.

Sayyid abdurrahman bin muhammad bin husain bin umar berkata, “ taqlid adalah meyakini ucapan-ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara terperinci pada ucapan tersebut” menurut pandangan Ahlussunnah wal jama’ah, taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain(ulama) tanpa mengetahui kesahihan dalil yang digunakan meskipun mengetahui hujjah (alasan) kewajiban untuk ber taqlid.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa taqlid tidak hanya diwajibkan kepada orang awam saja, akan tetapi orang-orang yang cukup ilmu(alim ) yang mengetahui dalil yang digunakan sebagai sebuah dasar hukum tertentu, dan tidak tahu bagaimana proses dan metode ber ijtihad dalam menentukan sebuah hukum juga wajib bertaqlid kepada mereka ( mujtahid mutlaq) dan tidak boleh ber ijtihad sendiri.

Pada dasarnya kewajiban bertaqlid tidak terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan kegiatan beragama. Lebih dari itu bertaqlid juga wajib dilakukan dalam berbagai persoalan hidup sehari-hari. Contohnya, seorang guru geografi ( ilmu bumi ) yang menerangkan kepada peserta didiknya bahwa bumi itu bulat laksana bola, tentunya ia hanya mengikuti sebuah teori dari Galileo Galilei bukan hasil dari penelitiannya sendiri, demikian juga dengan hal yang lain.

Dari beberapa uraian diatas, akan terasa berat bagi masyarakat luas untuk selalu ber ijtihad sendiri-sendiri pada setiap persoalan, terutama dalam masalah agama. Terlebih bila melihat syarat dan aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh bagi seorang mujtahid (orang yang berhak melakukan ijtihad ). Oleh karenanya, bagi kaum Ahlussunnah wal jama’ah cukup bertaqlid pada salah satu dari empat madzhab ( hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali) dalam bidang fiqih, ber taqlid (mengikuti) kepada imam abu al-qasim al-junaidi dan imam al-ghazali dalam bidang tashawuf.

Ber taqlid (mengikuti) imam abu hasan al-asy’ari dan imam abu manshur al-maturidi dalam bidang akidah ( tauhid). Dalam melakukan pemikiran pembaharuan Hukum Islam baik secara perseorangan maupun kelembagaan mengedepankan perlunya lembaga tajdid dan ijtihad dilakukan untuk memformulasikan Hukum Islam yang siap untuk menjawab persoalan hukum di dalam masyarakat.

Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama NU pada tanggal 21-25 Juli 1992 di Bandar Lampung adalah awal aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh kesadaran formal akan pentingnya pengembangan pemikiran metodologis khususnya dalam rangka melakukan ijtihad untuk mengambil keputusan hukum. Berdasarkan dokumen sepanjang kurun waktu 1926, sampai dengan 1999 dapat disimpulkan bahwa Lajnah Bahtsul Masail89 dalam mengaplikasikan pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian hukum yang diterapkan secara berjenjang.

Adapun ketiga metode istinbat hukum yang di tetapkan oleh Lajnah Bahtsul Masa`il adalah sebagai berikut: Metode ini adalah suatu cara istinbat hukum yang digunakan ulama`/intelektual NU dalam Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh empat mazdhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya.

Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup mazdhab tertentu. Walaupun penerapan metode ini sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak pertama kali dilaksanakan bahtsul masa`il (1926), namun hal ini baru secara eksplisit dinyatakan dalam keputusan Munas Alim Ulama` di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992).

Untuk menjawab masalah yang jawabannya cukup dengan menggunakan ibarat kitab, dan dalam kitab tersebut hanya ada satu qaul/wajah, maka yang ada dalam ibarah kitab itulah yang di gunakan sebagai jawaban.

Bila dalam menjawab masalah masih mampu dengan menggunakan ibarat kitab, tetapi ternyata ada lebih dari satu qaul/wajah maka dilakukan taqrir jama`iy yang berfungsi untuk memilih satu qaul/wajah. Adapun prosedur pelaksanaan metode qauliy adalah sebagaimana dijelaskan dalam keputusan munas Bandar Lampung bahwa pemilihan qaul/wajah ketika dalam satu masalah dijumpai beberapa qaul/wajah dilakukan dengan memilih salah satu pendapat dengan ketentuan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan; atau yang lebih kuat.

Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar I (1926), bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih: Adapun metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu`tabar, maka dilakukan apa yang disebut بنظائرھا المسائل الحاق yakni, menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan suatu kasus yang sudah dijawab oleh kitab (yang sudah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”.

Sama dengan metode qauliy, metode ini secara operasional juga telah diterapkan sejak lama oleh para ulama NU dalam menjawab permasalahan keagamaan yang diajukan oleh umat, khususnya warga nahdliyyin, walaupun baru secara implisit dan tanpa nama sebagai metode ilhaqiy. Namun secara eksplisit dan resmi metode ilhaqiy baru terungkap dan dirumuskan dalam Munas Bandar Lampung yang mengatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul/wajah sama sekali, maka dilakukan prosedur بنظائرھا المسائل الحاق secara ijmaliy oleh para ahlinya.

Adapun prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan unsur (persyaratan) berikut: mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukum), mulhaq alaih (sesuatu yang sudah ada ketetapan hukum), wajah ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan hulhaq alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang ahli.

Metode ilhaq dalam prakteknya menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas, karenanya dapat juga dinamakan qiyasiy versi NU. Ada perbedaan antara qiyas dan ilhaq, yaitu kalau qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash al-Qur`an dan al-Hadits.

Sedangkan ilhaq adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan teks suatu kitab ( mu`tabar). Apakah hal itu diperbolehkan atau tidak, lantaran adanya kemungkinan ilhaq terjadi terhadap qiyas manakala teks suatu kitab itu ternyata hasil qiyas, memang masih terjadi perdebatan.

Akan tetapi ulama NU berketepatan demikian tentunya dengan pertimbangan sejauh mungkin menghindari ilhaq terhadap teks suatu kitab yang merupakan hasil produk qiyas. Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa`il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.

Sebagaimana metode qauliy dan ilhaqiy, sebenarnya metode manhajiy juga sudah pernah diterapkan oleh ulama NU terdahulu, walaupun tidak dengan istilah manhajiy dan tidak pula diresmikan melalui sebuah keputusan. Contoh penerapan hukum kongres/Muktamar I (1926).

35 S (soal): Dapat pahalakah sedekah kepada mayat? J (jawab): Dapat! Keterangan: dalam kitab al-Bukhariy bab “janazah” dan kitab al-Muhadhdhab bab “wasiat” Keputusan di atas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk pada Hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat imam madzhab setelah al-Qur`an. Contoh lain penerapan metode manhajiy adalah apa yang diputuskan dalam kongres/muktamar X pada tanggal 13-18 April 1935 di Surakarta: S(soal): Bagaimana hukumnya orang memelihara anak yatim, fakir miskin dan sebagainya, dengan harta benda hasil sepak bola, pasar malam, tonel (pertunjukan/sandiwara) dan sejenisnya?

J (jawab):Kongres memutuskan bahwa jika permainan sepak bola, pasar malam, dan buka tonel (pertunjukan/sandiwara) itu hukumnya haram, maka haram juga apa yang dihasilkannya.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Mengambil keterangan dari kaidah المصالح جلب على مقدم المفاسد دفع (menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan). Itulah jawaban LBM yang tidak mencantumkan dalil dari suatu kitab ataupun argumentasi detail. Dengan demikian dapat diyakini, bahwa diharamkannya hal tersebut di atas melalui proses: setelah tidak dapat dirujukkan pada teks suatu kitab mu`tabar, juga tidak dapat di- ilhaqkan kepada hukum suatu masalah, yang mirip, dan telah terdapat rujukannya dalam suatu kitab mu`tabar, maka digunakanlah metode manhajiy dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur`an, setelah tidak di temukan lalu pada Hadits, dan begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fighiyyah : المصالح جلب على مقدم المفاسد دفع :(menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan).

Hal demikian dimungkinkan karena prosedur istinbathukum bagi metode munhajiy adalah dengan mempraktekkan qowaid usuliyyah (kaidah-kaidah usul fiqh) dan aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa aswaja sebagai madzhab qouli mempunyai arti bahwa dalam merumuskan dan memutuskan sebuah hukum, ahlussunnah wal jamaah (yang dalam hal ini dikhususkan terhadap kelompok nahdlatul ulama) menggunakan metode qauli sebagai jalan ijtihadnya.

Dalam buku Solusi Hukum Islam, Hasil Kepututsan Mu’tamar, munas dan Konbes Nahdhatul Ulama (1926-2004), tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdhatu Ulama, disebutkan “Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qouli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab tertentu” Artinya semua permasalahan kekinian dicarikan jawabannya dari al-Kutub al-Mu’tabarah.

Adapun prosedur penjawaban masalah-masalah disusun dengan urutan sebagai berikut Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan hanya terdapat satu qaul/ wajah saja, maka dipakailah qaul/ wajah sebagaimana dierangkan dalam ibarat mereka. Namun ketika terdapat dua jawaban maka dilakukan taqrir jama’i, guna memilih satu pendapat. Sedangkan dalam kasus, tidak didapati sama sekali qaul, maka dilakukan prosedur ilhaqu al-Masail Bi Nadzairiha, secara jama’i oleh para ahlinya.

Sedangkan ketika sebuah kasus tersebut, tidak mungkin dilakukan Ilhaq, maka dilakukan Istinbath Jama’i, dengan prosedur bermadzhab secara Manhaji oleh para ahlinya Aswaja sebagai madzhab qauliy yakni mempunyai arti, sebuah metode ijtihad yang dalam metode istinbat hukumnya dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya.

Namun dalam praktiknya Apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan teks-teks dari kutub muktabarah dari empat madzhab, maka menggunakan metode apa yang disebut metode ilhaqiy, yakni بنظئرھا المسائل الحاق (menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan suatu kasus yang sudah dijawab oleh kitab). Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh LBM dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab, metode ini digunakan oleh intelektual NU bilamana kedua metode di atas tidak dapat dilaksanakanAnas Apriyadi Buat Lencana Anda • Komentar Terbaru Wenny pada MARS PMII (lirik) 1 pada MARS PMII (lirik) Erdin pratama rusli pada Download Lagu-Lagu PMII (Perge… Mohamad Ilman Zidni pada MARS PMII (lirik) Yana pada MARS PMII (lirik) • Blog Stats • 454.721 hits • akhirat akidah Al-Qur'an anak aswaja audio babi budaya DOWNLOAD gerakan mahasiswa gmki gmni Gus Dur gus mus hantu haram hmi hymne idiot IMM Islam kammi kontribusi lagu Liberal lirik Mahasiswa makanan masyarakat muhammad Muhammadiyah Nahdlatul Ulama nariyah nuklir PERGERAKAN pesantren PMII PMII.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

lirik pmkri politik psikologi puisi Qanun asasi sejarah seni shalawat ugm Ulil Abshar wahabi • Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.

Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal. Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW.

Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali KW. Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas. Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah.

Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah. Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Terlebih masa Yazid b Muawiyah. Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah.

Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.

Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti. Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali.

Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua. Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya.

Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat. Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama.

Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah. Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar.

Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing. Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni).

Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri. Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu.

Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan.

Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. “Siapa mereka itu, Rasul?” tanya sahabat. “Mâ ana Alaihi wa Ashâby,” jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya.

Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal. Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj.

Mari kita diskusikan. Aswaja sebagai Mazhab Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja).

Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya. Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja. Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak.

Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi. Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU.

Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho’if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama. Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman.

Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman. Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi? Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid.

Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya.

Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks. Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat.

Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya. Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan.

Ini adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka. Aswaja sebagai Manhaj Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh. Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja.

Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal. Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik.

Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan. Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan. Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku.

Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis. Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.

Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah Hand-out untuk materi keaswajaan di MAPABA Rayon Syariah Komisariat Walisongo 2007 di PP Al Fatah, Demak.

• Kategori • AGAMA • AKADEMIKA • DOWNLOAD • IPTEK • IT • OTHERS • Pendidikan • PERGERAKAN • psikologi • SOSIAL-POLITIK • Follow @anasapriyadi on twitter • @ PSSI tenang saja pemain timnas indonesia masih lebih unggul jumlah follower dan endorse, itu yanh utama 2 days ago • @ PSSI memalukan, main tak berpola, bola gampang kerebut, passing sering salah, level belum timnas, mundur saja, SEA… twitter.com/i/web/status/1… 2 days ago • @ ibnux Sing 🎶 "untuk aapaaaa.?" 🎶 (Maudy Ayunda, 2010) 1 week ago • @ Indostransfer Sangat menjanjikan, untuk juara liga 2 2 weeks ago • RT @ IpswichTown: 🇮🇩👏 Elkan Baggott will become the first ever Indonesian to play in English professional football this afternoon.

#itfc ht… 3 weeks ago • Tulisan Teratas • Qanun Asasi Nahdlatul 'Ulama • Tulisan Terakhir • Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan Kaum Tertindas • FENOMENA PENCITRAAN RELIGIUS TERSANGKA KORUPSI DITINJAU DARI PSIKOLOGI • Dinamika Perilaku Rusuh Saat Demonstrasi • Resensi Film-Film Fobia • Melihat buku ‘Piece of Mind -Mengaktifkan Kekuatan Pikiran Bawah Sadar untuk Mencapai Tujuan’ • Arsip • November 2012 (1) • Juli 2012 (1) • April 2012 (1) • November 2011 (2) • Oktober 2011 (1) • Februari 2011 (2) • Juli 2010 (2) • Mei 2010 (2) • April 2010 (5) • Maret 2010 (18) • Februari 2010 (18) • Klik tertinggi • Tidak ada
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh Jama'ah ( Bahasa Arab: أهل السنة والج٠اعة) atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah ( bahasa Arab: أهل السنة), atau sama saja dengan Suni adalah firkah Muslim terbesar yang disebut dengan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah atau golongan yang menjalankan sunah ( Muhammad) dengan penekanan pada peneladanan peri kehidupan Muhammad.

Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Suni. Sunni kadang-kadang disebut sebagai "salafush shalih". Namun, para akademisi lain yang meneliti Islam, seperti John Burton percaya bahwa tidak ada yang namanya " Islam Ortodoks". Ahl, yang mempunyai beberapa arti, yakni: keluarga-keluarga pengikut dan penduduk. As-sunnah, yang secara bahasa bermakna at-thariqah wa lau ghaira mardhiyah (jalan, cara, atau perilaku walaupun tidak diridai). Al-Jama'ah, berasal dari kata al-jam'u artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain, atau mengumpulkan yang bercerai-berai.

Kata Jama'ah juga berasal dari kata ijtima' (perkumpulan), yang merupakan lawan kata tafaruq (perceraian) dan lawan kata dari furqah (perpecahan).

Jama'ah adalah sekelompok orang banyak dan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Selain itu, Jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah, atau orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai satu tujuan. Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan pada paham yag diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).

Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.

Dikutip dari buku Intisari Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah oleh AA. Hamid al-Atsari, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, imam Ahlus Sunnah berkata: "Pokok sunnah menurut kami (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah berpegang teguh pada apa yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW dan mengikuti mereka serta meninggalkan bid'ah.

Segala bid'ah itu adalah sesat." (Lihat al Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah dan Imam as-Suyuthi al-Amru bil Ittiba' wan Nahyu 'anil Ibtida') Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Imam Al Ghazali mengatakan, "Jika disebutkan Ahlussunnah wal Jamaah maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy'ari dan Al-Maturidi." Aliran Ahlussunnah wal Jamaah pada bidang akidah atau ubudiyah berkembang menjadi berbagai bidang, seperti syariah atau fiqih dan tasawuf.

Dalam bidang akidah mengacu pada Imam Asy'ari dan Imam Maturidi. Sedangkan, dalam fiqih atau hukum Islam mengacu pada salah satu empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali yang berlandaskan Al Quran, hadits, ijma dan qiyas.

Aswaja adalah golongan yang menjadikan hadis Jibrīl yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahīh-nya, sebagai dalil pembagian pilar agama menjadi tiga: Iman, Islam dan Ihsān, untuk kemudian membagikan ilmu kepada tiga ilmu utama, yaitu: akidah, fiqih dan suluk.

Setiap imam dari para imam Aswaja telah melaksanakan tugas sesuai bakat yang Allah berikan. Mereka bukan hanya memahami teks wahyu saja, tapi mereka juga menekankan pentingnya memahami realitas kehidupan. Al-Qarāfī dalam kitab Tamyīz Al-Ahkām menjelaskan: Kita harus memahami realitas kehidupan kita. Karena jika kita mengambil hukum yang ada di dalam kitab-kitab dan serta-merta menerapkannya kepada realitas apa pun, tanpa kita pastikan kesesuaian antara sebab hukum dan realitas kejadian, maka kita telah menyesatkan manusia.

Disamping memahami teks wahyu dan memahami realitas, Aswaja juga menambahkan unsur penting ketiga, yaitu tata cara memanifestasikan atau menerapkan teks wahyu yang absolut kepada realitas kejadian yang bersifat relatif. Semua ini ditulis dengan jelas oleh mereka, dan ini juga yang dijalankan hingga saat ini. Segala puji hanya bagi Allah yang karena anugerah-Nya semua hal baik menjadi sempurna. Inilah yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompak radikal.

Mereka tidak memahami teks wahyu. Mereka meyakini bahwa semua yang terlintas di benak mereka adalah kebenaran yang wajib mereka ikuti dengan patuh. Mereka tidak memahami realitas kehidupan. Mereka juga tidak memiliki metode dalam menerapkan teks wahyu pada tataran realitas.

Karena itu mereka sesat dan menyesatkan, seperti yang imam Al-Qarāfī jelaskan. Aswaja tidak mengafirkan siapa pun, kecuali orang yang mengakui bahwa ia telah keluar dari Islam, juga orang yang keluar dari barisan umat Islam. Aswaja tidak pernah mengafirkan aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh yang shalat menghadap kiblat.

Aswaja tidak pernah menggiring manusia untuk mencari kekuasaan, menumpahkan darah, dan tidak pula mengikuti syahwat birahi (yang haram). Disclaimers Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal.

Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen.

Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Oleh: M.

Imaduddin Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad ketiga Hijriah. Pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang berakhir dengan tahkim (arbitrase), mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah.

Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Semboyan mereka adalah laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij. Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah representasi dari Rasulullah saw, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah saw. Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw. Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah.

Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang disebut Ghulat mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang mendukung Ali.

Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini. Khalifah Ali kemudian dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang penganut fanatik Khawarij. Menyedihkan, Ibnu Muljam ini sosok yang dikenal sebagai penghafal Al-Quran, sering berpuasa, suka bangun malam, dan ahli ibadah.

Fanatisme dan minimnya ilmu telah menyeretnya menjadi manusia picik dan sadis. Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal áqdi yang beranggotakan sahabat-sahabat besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh puteranya Al-Hasan. Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat.

Dalam sejarah, tahun pengunduran diri Al-Hasan dinamakan“am al-jamaáh” atau tahun persatuan. Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiáh dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayah.

Perselisihan makin memuncakmanakala Muáwiyah mengganti sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai khalifah selanjutnya. Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah saw Al-Husein dan sebagian besar ahlul bait Rasulullah saw pada masa Khlalifah Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan semangat kaum Syiah untuk memberontak terhadap Bani Umayah.

Pertikaian selanjutnya melebar jadi pertikaian segitiga antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij. Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah. Dua kelompok ini senantiasa merongrong pemerintahan yang sah. Chaos politik yang melanda umat Islam awal pada akhirnya juga melahirkan kelompok lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijriah muncul kelompok Murjiáh, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak yang berdosa.

Dosa dan tidaknyaserta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia, melainkan di akhiratoleh Allah SWT. Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan akidah.Perdebatan siapa yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan tentang perbuatan manusia.

Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabbariah (fatalisme) dan Qodariah(fre act and fre will). Jabbariah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana wayang yang digerakkan oleh dalang. Qodariah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan” Tuhan terhadapnya.

Setelah Qodariah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran Mu’tazilah yang berpendapat sama dengan Qodariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka menolak penetapan sifat (atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada dua materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti telah syirik atau menduakan Allah.

Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkanoleh persoalan politik yang melanda umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekaisaran Persia dan Romawi yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban yang mapan dan telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran. Seperti yang saya kemukakan di awal tulisan ini, kemunculan istilah Aswaja merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu itu. Aswaja dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat) seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi setelah tabiín atau murid-murid tabiín) seperti Imam-imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah.

Ditambah generasi sahabat, inilah yang disebut dengan periode salaf, sebagaimana disebut oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi terbaik agama ini. Selepas tabi’ tabiínajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid mereka dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-Asyári, Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh Abu Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári.

Dalam memahami dalil Al-Qur’an dan Sunnah Aswaja mengikuti metodologi para sahabat, yakni metodologi jalan tengah (moderat), keseimbangan antara pengunaan teks suci dan akal. Menyikapi pendapataliran-aliran ekstrem tersebut Aswaja mengambil jalan tengah di antara pendapat-pendapat mereka.

Beberapa ajaran pokok Aswaja, antara lain: 1. Pertikaian politik yang terjadi di antara para sahabat Nabi saw merupakan ijtihad para sahabat, bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala.

Aswaja mengambil sikap tawaquf (diam) atas perselisihan yang terjadi di antara para sahabat dan menyatakan keadilan para sahabat (hadisnya bisa diterima). 2. Dalam masalah takfir Aswaja amat berhati-hati, karena bila sembrono efeknya akan kembali kepada si penuduh.

Aswaja tidak akan mudah mengkafirkan ahlul qiblah atau selama masih mengakui tidak ada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan allah; mengakui aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh prinsip dan sudah pasti dalam agama(al-ma’lum mina diini biddhoruroh) seperti rukun Islam, rukun iman, dan perkara-perkara gaib seperti surga, neraka, hisab, shirath, malaikat, jin, peristiwa isra’ dan mi’raj dll.

yang informasi mengenai hal-hal tersebut hanya diketahui dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw yang mutawatir. 3. Aswaja juga tidak mudah memvonis sesat sebuah pemikiran atau pendapat seseorang yang berangkat dari dalil yang tidak tegas (ijtihadi) atau masih terbuka ruang perbedaan pendapat di dalamnya. Aswaja amat menghargai perbedaan pendapat karena perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat.

4. Mengenai perbuatan manusia, Aswaja berpendapat bahwa perbuatan manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan, namun manusia memiliki kuasa (kasb) atas perbuatannya yang bersamaan dengan kehendak Tuhan. 5. Dalam memahami teks Al-Quran dan sunnah, Aswaja berpendapat bahwa ada ruang bagi akal untuk memahami teks.

Artinya ada teks yang mengandung makna haqiqi dan ada teks yang mengandung makna majazi(metaforis) yang membuka ruang akal (tafsir) untuk memahaminya.

6. Mengenai perbuatan dosa atau masuk surga dan neraka manusia, Aswaja berpendapat manusia divonis telah berdosa di dunia apabila telah melanggar hukum-hukum syariat sedangkan di akhirat mutlak adalah keputusan Allah. 7. Mengenai sifat Allah, Aswaja berpendapat bahwa Allah memiliki sifat.

Dzat (esensi) dan Sifat (atribut) adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan, seperti halnya sifat manis yang melekat pada gula. Antara atribut manis dan esensi pada gula keduanya menyatu, namun tak bisa dilepaskan satu sama lain. Sifat senantiasa menyatu dengan Dzat (esensi). 8. Terkait dengan politik dan kekuasaan, Aswaja menyatakan haram hukumnya bughot (memberontak) meskipun pemerintahan itu zhalim,karena hanya akan menimbulkan pertikaian dan pertumpahan darah yang tak berkesudahan di kalangan umat.

Namun pemerintahan hasil kudeta adalah pemerintahan yang sah karena terkait dengan kesejahteraan umat dan legalnya beberapa hukum syariat.

9. Aswaja tidak menolak tradisi dan kebudayaan yang sudah lama berkembang dan mendarah daging di tengah masyarakat, asal tidak bertentangan dengan syariat.

aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh

Namun bila bertentangan dengan syariat, Aswaja menolak perubahan dilakuan secara radikal dan revolusioner. Perubahan harusdilakukan secara bertahap.Atau tidak harus merubahnya, tetapi mewarnai tradisi dan kebudayaan tersebut sehingga cocok dengan ajaran Islam.

Fleksibilitas Ajaran Aswaja Sepanjang sejarah perjalanannya, prinsip jalan tengah yang ditempuh Aswaja, yang mewujud dalam karakter tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) membuat Aswaja mampu hidup dan berkembang di wilayah mana saja dan mampu melebur dengan kebudayaan setempat, serta senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (dinamis).

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara,dai-dai Aswaja awal di Nusantara seperti Walisongo tak mengalami benturan dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.

Pasalnya, kata Clifford Gertz, dalam menyebarkan agama Islam mereka tidak hanya berperan sebagai pendakwah yang menyiarkan agama Islam,akan tetapisebagai cultural broker, makelar budaya.

Oleh karena itu, saya berani katakan corak Islam di Nusantara 90 persen terbentuk dari budaya. Hal ini terlihat dari arsitektur rumah ibadah, istana kesultanan, tradisi dan ritual keagamaan, kuliner, fashion, hingga sistem pengajaran dan pendidikan.Islam di Nusantara itu unik dan berbeda dengan Islam di tanah asalnya, Arab. Orientasi Aswaja Bukan Kekuasaan Ajaran Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia orientasinya tidak lain adalah mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan umat baik bidang agama, aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh, politik, maupun ekonomi.

Aswaja bukanlah golongan yang menjadikan kekuasaan politik sebagai tujuan. Artinya, bagi Aswaja kekuasaan bukanlah indikator keberhasilan dakwah islamiah, tetapi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kaum Syiah dan Khawarij yang orientasi utamanya adalah kekuasaan politik. Dengan prinsip jalan tengahnya, dalam bidang politikAswaja menghendaki tatanan politik yang stabil.

Aswaja mengharamkan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan mengharamkan sebuah tindakan dan pernyataan yang dapat memicu huru-hara politik dan chaos. Mengapa? Karena instabilitas politik dapat memicu kekacauan sosial yang pada ujungnyahanya akan menyengsarakan rakyat. Aswaja menyatakan bahwa Islam tidak meninggalkan sistem politik apapun.

Mengenai pengaturan negara diserahkan kepada masyarakat yang membentuk negara itu. Islam tidak mempersoalkan sistem demokrasi atau monarki. Islam hanya memerintahkan seorang pemimpin harus adil dan berakhlakul karimah, senantiasa musyawarah, serta berkomitmen untuk menyejahterakan rakyatnya, sebagaimana kaidah fiqh “tashorruful imam ála roíyah manuthun bil mashlahah” kebijakan seorang pemimpin berdasarkan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam bidang sosial, Aswaja menginginkan sebuah tatanan masyarakat yang beradab(tamaddun), dalam arti masyarakat yang membangun, saling menghormati, dan toleran, meski berbeda agama, suku bangsa, dan budaya. Inilah tatanan masyarakat ideal sebagaimana telah diwujudkan oleh Nabi Muhammad saw 14 abad yang lalu ketika membangun masyarakat madani (civil society) di Madinah. Dalam bidang ekonomi, Aswaja menekankan pemerataan ekonomi.

Aswaja mengambil jalan tengah antara kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme. Aswaja mengharamkan monopoli atas kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat.

Aswaja juga mengharamkan sumber daya alam dan mineral sebuah negara dikuasai oleh pribadi atau segelintir orang. Aswaja menekankan keseimbangan antara hak-hak individu dan hak-hak masyarakat sehingga tercipta keadilan sosial dan ekonomi.

Aswaja dan Nasionalisme Bagi Aswaja, agama dan nasionalisme tak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Agama dan nasionalisme saling mendukung. Nasionalisme tanpa agama akan kering nilai-nilai, sementara agama tanpa nasionalisme tak mampu menyatukan elemen-elemen bangsa. Hadratussyekh Hasyim Asyári jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan menyatakan,cinta tanah air sebagian dari iman.

Siapa yang tidak mencintai tanah airnya maka belum sempurna aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh. Inilah prinsip jalan tengah Aswaja dalam menyikapi persoalan kebangsaan.

Al-Quran secara jelas mengatakan: “sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal (berinteraksi)”. *** Alhasil, Aswaja bukan hanya sebuah pandangan keagamaan, akan tetapi lebih jauh merupakan pandangan hidup (way of life) seorang muslim dalam menyikapi lingkungannya yang majemuk dan dinamis.

Aswaja adalah manhajul fikrah wal harakah (landasan pemikirandan gerakan) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik berhubungan dengan agama, sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Seorang muslim penganut Aswaja mampu hidup dan menyesuaikan diri serta dituntut untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan ketentraman masyarakat di manapun mereka hidup.

Wallahua’lam Timur Jakarta, 882016 Penulis adalah Sekretaris PC GP Ansor Jakarta Timur dan Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU

MADZHAB-MADZHAB ASWAJA MENURUT NU




2022 www.videocon.com