Pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

MENU • Home • SMP • Matematika • Agama • Bahasa Indonesia • Pancasila • Biologi • Kewarganegaraan • IPS • IPA • Penjas • SMA • Matematika • Agama • Bahasa Indonesia • Pancasila • Biologi • Akuntansi • Matematika • Kewarganegaraan • IPA • Fisika • Biologi • Kimia • IPS • Sejarah • Geografi • Ekonomi • Sosiologi • Penjas • SMK • Penjas • S1 • Agama • IMK • Pengantar Teknologi Informasi • Uji Kualitas Perangkat Lunak • Sistem Operasi • E-Bisnis • Database • Pancasila • Kewarganegaraan • Akuntansi • Bahasa Indonesia • S2 • Umum • About Me Para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengemukakan dasar negara merdeka dalam sidang pertama BPUPKI.

Dari pendapat yang berkembang diantara Mr. Muhammad Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno, akhirnya disepakati bahwa dasar negara Indonesia terdiri dari lima unsur dengan nama Pancasila. Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila pertama kali di perkenalkan oleh Soekarno (penggali), dengan rumusan sebagai berikut: • Kebangsaan Indonesia; • Internasionalisme atau Perikemanusiaan; • Mufakat atau Demokrasi; • Kesejahteraan Sosial; • Ketuhanan yang berkebudayaan.

Karena adanya rumusan yang berbeda diantara para anggota, maka dipandang perlu untuk membentuk panitia kecil yang bertugas membahas usul-usul yang diajukan oleh para anggota, baik itu usul secara lisan maupun tertulis.

Panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI pada 1 Juni 1945 dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan.

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

Baca Juga: Perang Diponegoro Dr.(H.C.) Ir. H.Soekarno (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966. Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya. Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.

Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Baca Juga: Konferensi Meja Bundar Drs. Moh. Hatta (wakil ketua) Drs.H.Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama.

Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia,Bandar udara internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya.

Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat.

Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986/ Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia.

Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia.

Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik ke kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).

Baca Juga: Sejarah Terbentuknya PBB Menurut Para Ahli Mr. Achmad Soebardjo (anggota) Mr.Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933. Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda.

Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa “Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah” yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Baca Juga: Kronologis Proklamasi Kemerdekaan Beserta Penjelasannya Mr. Muhammad Yamin (anggota) Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus “pencipta imaji keindonesiaan” yang pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan sejarah persatuan Indonesia.

Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang.

Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara. Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda.

Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya. KH. Wachid Hasyim (anggota) Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 –meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia.

Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy’arie, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng, Jombang. Baca Juga: “Dekrit Presiden” Alasan Dikeluarkannya & ( Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ) Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada zaman pendudukan Belanda.

Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir.

Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI Abdul Kahar Muzakir (anggota) Prof. KH. Abdoel Kahar Moezakir atau ejaan baru Abdul Kahar Muzakir, adalah Rektor Magnificus yang dipilih Universitas Islam Indonesia untuk pertama kali dengan nama STI selama 2 periode 1945 – 1948 dan 1948 – 1960. Ia adalah anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Tokoh Islam yang pernah menjadi anggota Dokuritsu Zunby Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ini pula yang tetap dipertahankan ketika UII dihadirkan sebagai pengganti STI pada 4 Juni 1948. Ia menduduki jabatan sebagai Rektor UII sampai tahun 1960.Pada masa sekarang ia diusulkan untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Baca Juga: “Sidang BPUPKI Tanggal 29 Mei 1945” Suasana & ( Tokoh – Hasil Yang Pertama ) Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota) Abikoesno Tjokrosoejoso (juga dieja Abikusno Cokrosuyoso, lahir di Kota Karanganyar, Kebumen tahun 1897 meninggal tahun 1968) adalah salah satu Bapak Pendiri Kemerdekaan Indonesia dan penandatangan konstitusi.

Ia merupakan anggota Panitia Sembilan yang merancang pembukaan UUD 1945 (dikenal sebagai Piagam Jakarta). Setelah kemerdekaan, ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan dalam Kabinet Presidensial pertama Soekarno dan juga menjadi penasihat Biro Pekerjaan Umum.

Kakak Tjokrosoejoso adalah Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin pertama Sarekat Islam. Setelah kematian saudaranya pada 17 Desember 1934, Abikoesno mewarisi jabatan sebagai pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Bersama dengan Mohammad Husni Thamrin, dan Amir Sjarifoeddin, Tjokrosoejoso membentuk Gabungan Politik Indonesia, sebuah front persatuan yang terdiri dari semua partai politik, kelompok, dan organisasi sosial yang menganjurkan kemerdekaan negara itu.

Mereka menawarkan dukungan penuh kepada otoritas pemerintahan kolonial Belanda dalam hal pertahanan untuk melawan Jepang jika mereka diberikan hak untuk mendirikan parlemen di bawah kekuasaan Ratu Belanda. Belanda menolak tawaran tersebut.Selama masa pendudukan Jepang, Abikoesno Tjokrosoejoso adalah tokoh kunci dalam Masyumi.

H. Agus Salim (anggota) Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti “pembela kebenaran”); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961. Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain: • anggota Volksraad (1921-1924) • anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945 • Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947 • pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947 • Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947 • Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949 Baca Juga: Sejarah Lahirnya UUD 1945 Negara Republik Indonesia Mr.

A.A. Maramis (anggota) Mr. Alexander Andries Maramis (lahir di Manado, Sulawesi Utara, Hindia Belanda 20 Juni tahun 1897 – meninggal di Indonesia tahun 1977; usia 80 tahun) adalah pejuang kemerdekaan Indonesia. Dia pernah jadi anggota KNIP, anggota BPUPKI dan Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia dan merupakan orang yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pada tahun 1945. Adik kandung Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan pendidikannya dalam bidang hukum pada tahun 1924 di Belanda.

Ia mempunyai istri bernama Elizabeth Maramis Velthoed yang merupakan seorang wanita asal Belanda. Pada waktu Agresi Militer Belanda II, AA Maramis berada di New Delhi, India dan ditugasi untuk memimpin Pemerintah RI dalam pengasingan.

Ia kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat dimasa PDRI yang diketuai oleh Sjafruddin Prawiranegara. Di awal jabatan politiknya, Mr. A.A. Maramis menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, bersama rekan seperjuangan lainnya antara lain Ir.

Soekarno dan Mr. Ahmad Subardjo.Mr. A.A. Maramis adalah salah satu orang yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Dia mengusulkan perubahan butir pertama Pancasila kepada Drs. Mohammad Hatta setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. A.A. Maramis juga adalah salah satu orang yang menandatangani Piagam tersebut bersama dengan Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A.

Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Demikianlah pembahasan mengenai semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda semua, terima kasih banyak atas kunjungannya. Isi Piagam Jakarta Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perdjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakjat Indonesia kedepan pintu-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan-luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia jang berkedaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja; menurut dan kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebidjaksanaan dalam permusjarawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakjat Indonesia.

Djakarta,22-6-2605 Ir.Sukarno Drs.MohammadHatta Mr.A.A.Maramis AbikusnoTjokrosujoso AbdulkaharMuzakir H.A.Salim MrAchmadSubardjo WachidHasjim Mr Muhammad Yamin Hasil Sidang BPUPKI Hasil Sidang Pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945 Muh.Yamin (29 Mei 1945) • Peri kebangsaan • Peri kemanusiaan • Peri ketuhanan • Peri kerakyatan • Kesejahteraan rakyat Prof.Dr.Supomo (31 Mei 1945) • Persatuan • Kekeluargaan • Keseimbangan lahir batin • Musyawarah • Keadilan rakyat Ir.Soekarno (1 Juni 1945) • Kebangsaan Indonesia • Internasionalisme dan kemanusiaan • Mufakat dan demokrasi • Kesejahteraan soisal • Ketuhanan yang Maha Esa Anggota Panitia Sembilan • Ir.

Soekarno ( ketua) • Drs. Mohammad Hatta ( wakil ketua) • Mr. Achmad Soebardjo (anggota) • Mr. Mohammad Yamin (anggota) • KH. Wahid Hasjim (anggota) • Abdoel Kahar Moezakir (anggota) • Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota) • H.

Agus Salim (anggota) • Mr. Alexander Andries Maramis (anggota) Setelah melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4 orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Piagam Jakarta inilah yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan pada sila pertama yang berdasarkan pada berbagai pertimbangan mengenai sebuah negara kesatuan. Nilai Sila Pertama Pancasila • Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta.

Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memiliki arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama. Secara umum dapat dilihat dalam penjelasan berikut ini : • Merupakan bentuk keyakinan yang berpangkal dari kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan.

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

• Negara menjamin bagi setiap penduduk untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. • Tidak boleh melakukan perbuatan yang anti ketuhanan dan anti kehidupan beragama. • Mengembangkan kehidupan toleransi baik antarintern maupun antara umat beragama. • Mengatur hubungan Negara dan agama, hubungan manusia dengan Sang Pencipta, serta nilai yang menyangkut hak asasi yang paling asasi. Sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai Pancasila sila Ke-1, antara lain : • Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

• Hormat-menghormati dan bekerja sama dengan pemeluk agama lain. • Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaann masing-masing. • Tidak memaksakan salah satu agama kepada orang lain. nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta.

Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memiliki arti pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antar umat beragama. Peran dan Pelopor Anggota Panitia Sembilan Hasyim Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam di Indonesia.

Beliau merupakan pendiri Partai Nahdlatul Ulama (NU), pernah menjabat sebagai Menteri Agama, dan anggota BPUPKI serta salah seorang penandatangan Piagam Jakarta ( Jakarta Charter), yaitu preambul UUD Republik Indonesia yang ditandatangani pada 22 Juni 1945 di Jakarta.

Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914. Ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah seorang ulama besar dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Sejak kecil ia belajar di pesantren Tebuireng dan berbagai pesantren lainnya, bahkan sampai ke Mekah saat berusia 18 tahun. Ia sangat giat belajar dan memiliki hobi membaca yang sangat kuat.

Ia memperdalam ilmunya dengan berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa asing. Ia memang merupakan pribadi yang cerdas dan seorang otodidak yang hebat.

Pada waktu berumur 24 tahun ia mulai aktif di organisasi NU dan tahun berikutnya ia diangkat menjadi anggota Pengurus Besar NU. Pada tahun itu juga ia dipilih menjadi Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi sejumlah organisasi sosial-politik Islam dan wadah persatuan umat Islam.

Ia terpilih kembali sebagai ketua dewan dalam Kongres Muslimin Indonesia, yang merupakan kelanjutan MIAI. Tetapi organisasi ini dibubarkan oleh jepang pada 1943 dan tidak lama kemudian berdiri wadah baru bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Saat itu pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Shumubu, yaitu badan urusan agama Islam yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A.

Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Tetapi Wahid Hasyim yang kemudian ditunjuk sebagai pimpinan disana mewakili ayahnya yang tidak bisa meninggalkan Jawa Timur. Badan ini yang menjelma menjadi Departemen Agama setelah Indonesia merdeka. Demikianlah artikel dari dosenpendidikan.co.id mengenai Panitia Sembilan – Isi Piagam, Hasil Sidang, Anggota, Sila Perrtama, Peran, Pelopor, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya. Sebarkan ini: • • • • • Posting pada IPS, Sejarah Ditag anggota panitia kecil uraian, anggota panitia sembilan beserta fotonya, anggota panitia sembilan dan perannya, anggota panitia sembilan uraian, apa saja tugas dan siapa saja anggota panitia sembilan, apa tugas panitia sembilan, apa tujuan diadakan sidang bpupki kedua, apa yang dibahas dalam sidang bpupki kedua, apakah agenda dari sidang ppki yang kedua, biografi panitia 9 secara lengkap, bpupki pada sidang pertama membahas mengenai, bunyi sila pertama piagam jakarta adalah, dapat menyebutkan tugas panitia sembilan, ditetapkannya pancasila sebagai dasar negara, hasil sidang panitia sembilan, isi piagam jakarta, jelaskan cara pembentukan ppki, jelaskan keanggotaan ppki, jelaskan tugas panitia sembilan, jelaskan tugas panitia sembilan yang dibentuk bpupki, jumlah komposisi golongan panitia sembilan, kapan panitia sembilan dibubarkan, kapan sidang pertama bpupki dilaksanakan, kapankah persidangan bpupki pertama diadakan, keanggotaan panitia sembilan, keteladanan panitia sembilan, ketua panitia kecil adalah, kh agus salim lahir di kota, latar belakang perbedaan rumusan pancasila, latar belakang piagam jakarta, makalah panitia sembilan, menjelaskan alasan dibubarkannya bpupki, pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan keanggotaan panitia sembilan, menyebutkan anggota panitia sembilan, panitia delapan, panitia kecil, panitia sembilan brainly, panitia sembilan dan biografinya, panitia sembilan diketuai oleh, panitia sembilan uraian, pendiri negara pengusul rumusan dasar negara, photo panitia 9, piagam jakarta, piagam jakarta disebut juga dengan, rumusan dasar negara dalam piagam jakarta, salah satu rumusan isi piagam jakarta adalah, sebutkan agenda sidang pertama bpupki, sebutkan ketua panitia perancang uud, sebutkan panitia-panitia, sebutkan tiga hal yang dilaporkan, sebutkan tugas pokok ppki, sejarah piagam jakarta, sejarah ppki, setelah bpupki dibubarkan kemudian dibentuk, siapa saja anggota panitia sembilan, siapa saja yang menjadi anggota panitia sembilan, tanggal 1 juni 1945 dikenal sebagai hari, tokoh panitia sembilan dan gambarnya, tugas dari anggota panitia lima, tugas panitia delapan, tugas panitia sembilan, tugas panitia sembilan bentukan bpupki adalah a menyempurnakan hasil sidang bpupki 1, tugas panitia sembilan bentukan bpupki adalah brainly, tugas panitia sembilan dalam proses perumusan pancasila sebagai dasar negara adalah, tujuan dibentuknya panitia sembilan, tujuan pembentukan ppki, uraikan hasil dari sidang kedua bpupki Navigasi pos • Contoh Teks Editorial • Contoh Teks Laporan Hasil Observasi • Teks Negosiasi • Teks Deskripsi • Contoh Kata Pengantar • Kinemaster Pro • WhatsApp GB • Contoh Diksi • Contoh Teks Eksplanasi • Contoh Teks Berita • Contoh Teks Negosiasi • Contoh Teks Ulasan • Contoh Teks Eksposisi • Alight Motion Pro • Contoh Alat Musik Ritmis • Contoh Alat Musik Melodis • Contoh Teks Cerita Ulang • Contoh Teks Prosedur Sederhana, Kompleks dan Protokol • Contoh Karangan Eksposisi • Contoh Pamflet • Pameran Seni Rupa • Contoh Seni Rupa Murni • Contoh Paragraf Campuran • Contoh Seni Rupa Terapan • Contoh Karangan Deskripsi • Contoh Paragraf Persuasi • Contoh Paragraf Eksposisi • Contoh Paragraf Narasi • Contoh Karangan Narasi • Teks Prosedur • Contoh Karangan Persuasi • Contoh Karangan Argumentasi • Proposal • Contoh Cerpen • Pantun Nasehat • Cerita Fantasi • Memphisthemusical.Com MENU • Home • Agama • IPA • Biologi • Fisika • Kimia • IPS • Geografi • Ekonomi • Sosiologi • Sejarah • Bahasa • Bahasa Indonesia • Bahasa Inggris • Strata 1 • Akuntansi • Hukum • Kesenian • Metopen • Bisnis • Manajemen • Teori Pembelajaran • Sistem Informasi • Matematika • Pkn • Komputer • Other • Kesehatan • Teknologi • Tutorial • Sejarah Perumusan Pancasila (Pembahasan Lengkap) – Pancasila adalah ideologi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan sejarah besar penciptaan dan juga nama rumusan Pancasila.

Isi Pancasila tidak hanya satu, tetapi ada beberapa macam nama yang ada dalam rumusan Pancasila. Pancasila Rumasan sudah mengumpulkan isinya sekaligus mencari yang paling sesuai. Dan juga dalam proses perumusan atau pembentukan yang telah menjadi sejarah karena dalam proses perumusan memiliki beberapa tahapan dan juga harus hati-hati dan benar karena Pancasila merupakan dasar negara dimana dasar negara Pancasila harus dipergunakan dalam berbagai tahapan, waktu.

Daftar Isi • Sejarah Perumusan Pancasila (Pembahasan Lengkap) • Sejarah Perumusan Pancasila • 1. Muhammad Yamin • 2. Soepomo • 3. Soekarno • Fungsi Pokok Pancasila • Share this: • Related posts: Sejarah Perumusan Pancasila (Pembahasan Lengkap) Karena Pancasila tidak bertentangan dengan kemajuan zaman dan juga kehidupan masyarakat, maka Pancasila merupakan pengikat dalam kehidupan sehari-hari agar tidak melakukan hal-hal yang buruk dalam perkembangan dan kemajuan zaman.

Pancasila memiliki arti dalam mengambil nama yang ada di dalam sebuah buku, untuk dapat mengetahui lebih detail tentang sejarah pembentukan Pancasila, yuk simak dibawah ini. Sejarah Perumusan Pancasila Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang lahir karena suatu proses dan juga bersumber dari kebudayaan nasional yang kemudian dijadikan ideologi bangsa. Istilah Pancasila pertama kali ditemukan dalam buku Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular, dimana sejarah pembentukan Pancasila yang telah tertulis dalam bukunya menunjukkan bahwa istilah Pancasila memiliki dua makna, yaitu.

• Berbatu sendi, yang lima • Penerapan lima kesusilaan, termasuk larangan berbuat keras, tidak mencuri, tidak iri hati, berbohong, mabuk-mabukan dan minum alkohol. Pancasila adalah landasan negara Indonesia yang memiliki falsafah yang terdiri dari dua kata yaitu dari bahasa sansekerta yang artinya panca yang artinya lima, sedangkan sila yang artinya asas atau landasan. Penyusunan Pancasila berlangsung pada tanggal 29 April 1945, pemerintah Jepang kemudian membentuk sebuah lembaga dalam bahasa Jepang bernama Dokuritsu Jumbi Choosakai sedangkan dalam bahasa Indonesia adalah Badan Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang anggota BPUPKI yang dilantik pada 28 Mei 1945 yang juga dikenal oleh Dr.

Radjiman Widyoningrat dan juga wakilnya R. Panji Soeroso dan juga Ichibangase (Jepang). BPUPKI mulai bekerja pada tanggal 29 Mei 1945, dimana tugas BPUPKI adalah membuat rancangan pokok negara dan juga menyusun undang-undang dasar. BPUPKI mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 dan juga 1 Juni 1945 yang memuat berbagai masukan mengenai dasar negara Indonesia.

Ketua BPUPKI dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat dalam sambutannya di awal sidang pertama menyatakan bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka diperlukan landasan negara. Beberapa tokoh pendiri negara mengusulkan rumusan dasar negara. Rumusan yang diajukan berbeda satu sama lain. Namun, rumusan ini memiliki kesamaan dalam hal materi dan roh yang menjiwainya.

Usulan mengenai dasar Indonesia merdeka pada sidang pertama BPUPKI dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno. Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Bapak Muhammad Yamin saat mengajukan Rancangan Dasar Negara Indonesia menyatakan bahwa. “Rakyat Indonesia mesti mendapat dasar negara yang berasal daripada peradaban kebangsaan Indonesia; orang timur pulang kepada kebudayaan timur” Dimana ada beberapa usulan rumusan antara lain.

1. Muhammad Yamin Tokoh pertama yang menginspirasi pendirian bangsa adalah Mohammad Yamin. Mo. Yamin adalah seorang penulis, sejarawan, budayawan, politikus dan ahli hukum. Dalam usulan, Muhammad Yamin tidak menggunakan teks langsung maupun lisan, termasuk yang berikut ini.

• Peri Kebangsaan • Peri Kemanusiaan • Peri Kehutanan • Peri Kerakyatan • Kesejahteraan Sosial atau (keadilan sosial) Ia menamai pidato tersebut sebagai “Asas dan Landasan Kebangsaan Republik Indonesia”.

Ia mengatakan bahwa lima prinsip yang diletakkan berakar pada perkembangan sejarah, peradaban, agama, dan kehidupan bangsa Indonesia dalam jangka panjang. Usai memberikan sambutan, Muhammad Yamin menyampaikan proposalnya yang tertuang dalam UUD yang dirancang dalam Pembukaan Rancangan Undang-Undang Dasar.

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

Yang memiliki lima rumusan tentang asas negara merdeka yang isinya sebagai berikut. • Ketuhanan Yang Maha Esa • Kebangsaan Persatuan Indonesia • Rasa Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap • Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratn Perwakilan • Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia 2.

Soepomo Tokoh kedua yang mencetuskan dasar negara ialah Dr. Soepomo. Pendapat tentang rumusan dasar negara dari Dr. Soepomo diungkapkan dalam pidatonya pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Dr. Soepomo mengusulkan dasar negara yang isinya sebagai berikut: • Persatuan • Kekeluargaan • Keseimbangan Lahir Dan Batin • Musyawarah • Keadilan Rakyat Dr.

Soepomo adalah pahlawan nasional Indonesia, dan bersama Mohammad Yamin dan Soekarno juga dikenal sebagai arsitek UUD 1945. 3. Soekarno Dalam memberikan masukan tentang prinsip-prinsip negara Indonesia, Ir. Soekarno turut memberikan masukan, diantaranya sebagai berikut.

Rumusan Pancasila • Kebangsaan Indonesia • Internasionalisme Atau juga Kemanusiaan • Mufakat Atau juga Demokrasi • Kesejahteraan Sosial • Ketuhanan Yang Berkebudayaan Rumusan Trisila • Socio-nationalisme • Socio-demokratie • ke-Tuhanan Rumusan Ekasila • Gotong-Royong Sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945 tidak berhasil menentukan ketiga usul dan rumusan dasar negara yang dijadikan dasar negara Indonesia, kemudian dibentuk panitia yang beranggotakan sembilan orang.

Anggota, juga dikenal sebagai Panitia Sembilan, anggota dari sembilan komite adalah sebagai berikut. • Ir. Soekarno, ketua yang juga merangkap anggota • H. Agus Salim, sebagai anggota • Mr. Ahmad Soebardjo, sebagai anggota • Mr. Muhammad Yamin, sebagai anggota • Drs. Mohammad Hatta, sebagai anggota • Mr. AA. Maramis, sebagai anggota • Kyai Hadi Wachid Hasyim, sebagai anggota • Abdul Kahar Muzakkir, sebagai anggota • Abikusno Tjokrosujoso, sebagai anggota Dan pada tanggal 22 Juni 1945 anggota panitia sembilan yang berhasil merumuskan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, kemudian lebih dikenal dengan Piagam Jakarta atau (Jakarta Charter) yang isinya sebagai berikut.

• Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya • Kemanusiaan yang adil dan beradap • Persatuan indonesia • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

Dan berdasarkan perintah Presiden Nomor 12 Tahun 1968 tanggal 13 April 1968, perihal rumusan masalah yang menjadi dasar negara Indonesia dan tata cara penulisannya. Rumusan Pancasila yang benar atau (shohih) dan sah sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang ditetapkan dan juga disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah Pancasila dan rumusan Pancasila, antara lain. • Ketuhanan yang maha esa • Kemanusiaan yang adil dan beradap • Persatuan indonesia • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia Fungsi Pokok Pancasila Fungsi utama Pancasila adalah sebagai landasan negara dan ideologi bangsa.

Tujuan Pancasila sebagai dasar negara adalah Pancasila sebagai landasan ketertiban negara guna mencapai cita-cita bangsa. Sedangkan tujuan Pancasila adalah sebagai pandangan hidup atau ideologi bangsa, artinya Pancasila berperan sebagai pedoman sekaligus landasan manusia dalam berperilaku guna mencapai arah dan cita-cita bangsa Indonesia, dimana Pancasila mampu menopang dan mendukung.

hidup oleh orang Indonesia. Sekian penjelasan tentang Sejarah Perumusan Pancasila (Pembahasan Lengkap) yang sudah dijabarkan oleh Seputar Pengetahuan, dimana pancasila sebagai dasar negara yang harus kita jaga dimana kita sebagai penerus bangsa. Semoga bermanfaat ? Related posts: • Sejarah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa ), Asas dan Tujuannya • Isi Perjanjian Renville, Tujuan dan Dampaknya (Bahas Lengkap) • Sejarah Sepak Bola Masuk ke Indonesia Posted in Sejarah Tagged makalah sejarah perumusan pancasila, Perumusan Pancasila, proses perumusan pancasila, Sejarah Pancasila, sejarah perumusan pancasila dari awal sampai akhir, sejarah perumusan pancasila pdf, sejarah perumusan pancasila ppt, sejarah perumusan pancasila sebagai dasar negara, sejarah perumusan pancasila secara singkat, sejarah singkat perumusan pancasila Recent Posts • Pengertian Advertising dan Fungsi Advertising (Lengkap) • Pengertian Transportasi, Fungsi dan Manfaatnya (Bahas Lengkap) • Pengertian Kurs dan Macam-macam Kurs (Pembahasan Lengkap) • Pengertian Workshop Beserta Jenisnya (Pembahasan Lengkap) • Pengertian Ekosistem Darat, Macam dan Cirinya (Terlengkap) • Pengertian Website Beserta Manfaat Dan Jenisnya Lengkap • Pengertian Konsumsi, Tujuan dan Faktornya (Pembahasan Lengkap) • Pengertian Bank Sentral, Bank Umum dan Fungsinya (Lengkap) • Pengertian Kepribadian Menurut Para Ahli dan Unsurnya (Lengkap) • Pengertian PT Dengan Kelebihan Dan Kekurangannya Lengkap
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan pembukaan Hukum Dasar, yang oleh Mr.

M. Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Di dalam rancangan pembukaan alinea keempat terdapat rumusan Pancasila yang tata urutannya tersusun secara sistematis: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945, merupakan masa sidang penentuan perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama.

Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam orang anggota baru. Pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia Sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta. Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945, maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum di dalamnya.

Hanya saja sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas prakarsa Drs. Moh. Hatta. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan kelima dalam sejarah perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan pertama yang diakui sebagai dasar filsafat negara secara formal. Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Indonesia, ia tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan lebih lanjut di dalam pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun dalam hukum positif lainnya.

Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini lebih lanjut dapat dirinci sebagai berikut: § Meruoakan umber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia. § Meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. § Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara Indonesia.

§ Pancasila Mengandung norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. v Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Badan ini dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1945. Ketuanya Ir. Soekarno, wakil ketua adalah Drs. M. Hatta. Dalam sidang tanggal 18 Agustus 1945, sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, diadakan pengesahan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, selain itu memilih Presiden (Ir.

Soekarno) dan Wakil Presiden (Drs. M. Hatta). Dalam Pembukaan UUD 1945 dicantumkan Rumusan Dasar Negara Pancasila, yaitu: • Company About Us Scholarships Sitemap Q&A Archive Standardized Tests Education Summit • Get Course Hero iOS Android Chrome Extension Educators Tutors • Careers Leadership Careers Campus Rep Program • Help Contact Us FAQ Feedback • Legal Copyright Policy Academic Integrity Our Honor Code Privacy Policy Terms of Use Attributions • Connect with Us College Life Facebook Twitter LinkedIn YouTube Instagram Jakarta - Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).

Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia tersebut melakukan sidang yang menghasilkan keputusan penting. Apa hasil sidang Panitia Sembilan? Diceritakan dalam buku 'Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP/MTs Kelas VIII' oleh Simanjuntak, sebelum memasuki masa istirahat, BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang bertugas menampung saran, usulan, dan konsepsi dari anggota BPUPKI.

Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Kecil mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI. Dalam pertemuan tersebut, dibentuk pula Panitia Kecil lain yang beranggotakan 9 orang atau yang dikenal dengan Panitia Sembilan. Panitia Sembilan terdiri dari Soekarno, Moh Hatta, Muh Yamin, Ahmad Subardjo, A.A Maramis, Abdulkadir Muzakir, Wachid Hasjim, Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Panitia Sembilan dalam sidangnya tanggal 22 Juni 1945 menghasilkan rumusan dasar negara atau pembukaan hukum dasar (Undang-Undang Dasar). Dokumen sidang tersebut kemudian dikenal dengan nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Dikutip dari buku 'Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan' oleh Lukman Surya Saputra dkk, nama Piagam Jakarta merupakan usulan dari Muh Yamin. Sementara itu, Soekarno mengusulkan nama Mukadimah dan Sukiman Wirjosandjojo menyebutnya sebagai Gentlemen's Agreement.

Isi Rumusan Dasar Negara dalam Piagam Jakarta Rumusan dasar negara dalam naskah Piagam Jakarta memiliki sedikit perbedaan dengan dasar negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 saat ini.

Perbedaan mendasar terletak pada sila pertama. Berikut rumusan pancasila dalam naskah Piagam Jakarta: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5.

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Rumusan pada sila pertama menuai kritik dari berbagai pihak karena dipandang memihak salah satu golongan. Beberapa tokoh perwakilan dari Indonesia Timur menyatakan keberatan dengan sila pertama dalam rumusan tersebut.

Baca juga: 7 Persamaan dan Perbedaan Usulan Dasar Negara dari Pendiri Negara Pasalnya, rakyat Indonesia tidak hanya berasal dari kalangan muslim saja. Hal itulah yang menjadi salah satu latar belakang perubahan rumusan sila pertama menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dasar negara tersebut kemudian berhasil disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, tepat sehari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.

Simak Video " Sekjen Pemuda Pancasila Ngaku Salah Ada Anggotanya Bawa Sajam di Demo DPR" [Gambas:Video 20detik] (kri/pay)
1) Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara a) Masa Persidangan Pertama BPUPKI (29 Mei 1945-1 Juni 1945) Pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu zyunbi Tyoosakai, yang beranggotakan 62 orang, terdiri dari Ketua/Kaicoo adalah Dr.

K.R.T Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Muda/ Fuku Kaicoo Ichibangase (orang jepang) dan seorang ketua muda dari bangsa Indonesia R.P. Soeroso. Sidang pertama diawali pembahasan mengenai bentuk negara Indonesia, yang akhirnya disepakati berbentuk “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI). Setelah terjadi kesepakatan tentang bentuk negara, selanjutnya adalah merumuskan konstitusi Negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut maka agenda selanjutnya adalah mendengarkan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan didirikan, oleh beberapa anggota BPUPKI sebagai berikut : • Sidang 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin berpidato mengemukakan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia yang diberi judul “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, yaitu : “1.

Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri ke-Tuhanan;4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”. Setelah menyampaikan pidatonya, Mr. Mohammad Yamin menyampaikan usul tertulis naskah rancangan dasar negara yang hampir mirip dengan versi popular saat ini yaitu : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kebangsaan Persatuan Indonesia 3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 4.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia • Sidang tanggal 31 Mei 1945, Mr.

Soepomo menguraikan teori- teori negara dan selanjutnya dalam kaitannya dengan filsafat negara Indonesia, Mr. Soepomo mengusulkan hal-hal sebagai berikut : 1) Negara tidak menyatukan diri dengan golongan terbesar, terkuat, tapi mengatasi semua golongan besar atau pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan.

Dalam negara yang bersatu seperti itu maka urusan agama diserahkan pada golongan – golongan pemeluk agama yang bersangkutan. 2) Hendaknya para warga negara beriman takluk kepada Tuhan.

Setiap waktu selalu ingat pada Tuhan. 3) Negara Indonesia hendaknya berdasarkan kerakyatan, dalam susunan pemerintahan negara Indonesia harus dibentuk sistem badan permusyawaratan.

Kepala Negara akan terus berhubungan erat dengan Badan Permusyawaratan, dengan begitu kepala negara senantiasa tahu dan merasakan rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Kepala negara terus menerus bersatu jiwa dengan rakyat. 4) Dalam penyelenggaraan bidang ekonomi hendaknya ekonomi negara bersifat kekeluargaan.

Kekeluargaan merupakan sifat masyarakat timur yang harus dijunjung tinggi. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dijadikan dasar ekonomi negara Indonesia yang makmur, bersatu, berdaulat, adil.

5) Negara Indonesia hendaknya melakukan hubungan antar negara, antar bangsa. Soepomo mengajarkan supaya negara Indonesia bersifat Asia Timur Raya, sebab Indonesia menjadi bagian kekeluargaan Asia Timur Raya Dalam pidatonya, Mr.

Soepomo mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dinamakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", memberikan penekanan pada karakteristik negara persatuan, kebersamaan atau populer sebagai paham integralistik.

Secara garis besar dalam sidang ini Mr. Soepomo menyampaikan rumusan Pancasila yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Keseimbangan Lahir dan Batin; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Rakyat”. • Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yaitu :”1.

Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme); 2. Peri Kemanusiaan (Internasionalisme); 3. Mufakat (Demokrasi); 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan yang Berkebudayaan”. Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, sebelum BPUPKI mengalami masa reses selama satu bulan lebih.

Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggotakan 8 orang, yang bertugas untuk mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia. b) Lahirnya Piagam Jakarta Selama masa reses (2 Juni – 9 Juli 1945), panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usulan tentang rumusan rancangan dasar negara yang sudah selesai. Akan tetapi, terdapat dua golongan yang berbeda pandangan dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yaitu golongan Islam dan golongan Kebangsaan.

Satu golongan menghendaki agar Islam menjadi dasar negara, sementara itu golongan yang lain menghendaki paham kebangsaan sebagai inti dasar negara. Akibat perbedaan pandangan ini, maka sidang Panitia Kecil bersama anggota BPUPKI yang seluruhnya berjumlah 38 orang menjadi macet. Karena sidang macet, Panitia Kecil ini kemudian menunjuk sembilan orang yang selanjutnya dikenal dengan Panitia Sembilan yang bertugas menampung berbagai aspirasi tentang pembentukan dasar negara.

Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil merumuskan dasar negara yang diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter oleh Mr. Mohammad Yamin yang merupakan persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan yang dilaporkan dalam sidang BPUPKI kedua tanggal 10 Juli 1945. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan).

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri Bangsa". Piagam Jakarta berisi: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia c) Masa Persidangan Kedua BPUPKI (10-16 Juli 1945) Sidang kedua BPUPKI diawali dengan di baginya anggota BPUPKI dalam panitia-panitia kecil, yang membahas tentang Perancang Undang-Undang Dasar, Pembelaan Tanah Air serta Ekonomi dan Keuangan.

Pada tanggal 13 Juli 1945 Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar telah berhasil merumuskan rancangan Undang-Undang Dasar, yang kemudian hasilnya dilaporkan kepada Panitia Perancang Undang-Undang Dasar.

Selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu : 1) Pernyataan tentang Indonesia Merdeka 2) Pembukaan Undang-Undang Dasar 3) Batang Tubuh Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Sidang BPUPKI kedua ini pada tanggal 16 Juli 1945 menerima secara bulat seluruh Rancangan Hukum Dasar, yang sudah selesai dirumuskan sebagai Rancangan Hukum Dasar Negara Indonesia yang akan didirikan, yang memuat di dalamnya Jakarta Charter sebagai Mukaddimahnya.

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

Tanggal 17 Juli 1945 BPUPKI telah menyelesaikan tugas yang telah diamanatkan dan kemudian dibentuk badan baru yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau “Dokuritsu Zyumbi Iinkai” 2) Penetapan Pancasila sebagai Dasar Negara Pada tanggal 8 Agustus 1945 tiga orang tokoh, yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat berangkat menemui Jenderal Besar Terauchi, Saiko Sikikan di Saigon.

Dalam pertemuan tersebut, Ir. Soekarno diangkat sebagai Ketua PPKI dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. PPKI beranggotakan 21 orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua.

Keinginan rakyat Indonesia untuk merdeka semakin menggelora untuk segera mendapatkan kemerdekaannya. Pada waktu itu, Sukarni yang mewakili golongan muda menghendaki pernyataan kemerdekaan dilakukan segera dan tanpa campur tangan PPKI, yang dianggap sebagai bentukan Jepang.

Sementara Soekarno-Hatta menghendaki proklamasi dilaksanakan menghargai perbedaan dengan persetujuan seluruh anggota PPKI, karena tanpa PPKI (representasi wakil-wakil seluruh masyarakat Indonesia) akan sulit mendapat dukungan luas dari wilayah Indonesia. Perbedaan pendapat itu memuncak dengan “diamankannya” Soekarno-Hatta oleh golongan pemuda ke daerah Rengasdengklok dengan tujuan agar Soekarno- Hatta tidak terkena pengaruh PPKI yang pada saat itu menurut golongan muda merupakan bentukan Jepang.

Melalui perdebatan yang panjang, pada tanggal 16 Agustus 1945, terjadilah kesepakatan antara golongan muda dan Soekarno- Hatta, sehingga dilanjutkan dengan dijemputnya Soekarno-Hatta dari Rengasdengklok dan dilakukannya pertemuan di Pejambon sebagai proses untuk memproklamasikan kemerdekaan.

Tengah malam tanggal 16 Agustus 1945 dilakukan persiapan proklamasi di rumah Laksamana Maeda di oranye nassau boulevard (jalan Imam Bonjol no. 1). Telah berkumpul disana tokoh-tokoh Pemuda B. M. Diah, Sayuti Melik, Iwa Kusuma Soemantri, Chairul Saleh, dkk. Persiapan itu diperlukan untuk memastikan pemerintah Dai Nippon tidak campur tangan masalah proklamasi. Kemudian pagi harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tepat pada hari Jum’at jam 10 pagi waktu Indonesia barat, Bung Karno didampingi Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi dengan khidmat.

Tercatat dalam sejarah terjadi suatu peristiwa dimana dicapailah kesepakatan untuk menghilangkan kalimat ”. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”.

Hal ini dilakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dikarenakan wakil-wakil Protestan dan Katolik dari daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang keberatan dengan rumusan sila pertama dan mengancam akan mendirikan negara sendiri apabila kalimat tersebut tidak diubah.

Termuatnya Pancasila dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 sejak semula dimaksudkan bahwa Pancasila berperan sebagai dasar negara Republik Indonesia, yaitu sebagai landasan dalam mengatur jalannya pemerintahan di Indonesia. Karena landasan ini merupakan landasan yang sangat penting, maka Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Naskah Piagam Jakarta yang ditulis dengan menggunakan Ejaan yang Disempurnakan.

Kalimat yang mengandung "tujuh kata" yang terkenal dicetak tebal dalam gambar ini Pengarang Panitia Sembilan Judul asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mukadimah Negara Indonesia Bahasa Indonesia ( Ejaan Van Ophuijsen) Tanggal terbit 22 Juni 2605 dalam kalender Jepang (22 Juni 1945 dalam kalender Gregorius) Teks Piagam Jakarta di Wikisource Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Rancangan ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) [a] di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan "tujuh kata", pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945. Tujuh kata ini dihilangkan atas prakarsa Mohammad Hatta yang pada malam sebelumnya menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari Indonesia Timur lebih memilih mendirikan negara sendiri jika tujuh kata tersebut tidak dihapus.

Pada tahun 1950-an, ketika UUD 1945 ditangguhkan, para perwakilan partai-partai Islam menuntut agar Indonesia kembali pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan Piagam Jakarta. Untuk memenuhi keinginan kelompok Islam, Presiden Soekarno mengumumkan dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959 (yang menyatakan kembali ke UUD 1945) bahwa Piagam Jakarta "menjiwai" UUD 1945 dan "merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut".

Makna dari kalimat ini sendiri terus memantik kontroversi sesudah dekret tersebut dikeluarkan. Kelompok kebangsaan merasa bahwa kalimat ini sekadar mengakui Piagam Jakarta sebagai suatu dokumen historis, sementara kelompok Islam meyakini bahwa dekret tersebut memberikan kekuatan hukum kepada "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta, dan atas dasar ini mereka menuntut pengundangan hukum Islam khusus untuk Muslim.

Piagam Jakarta kembali memicu perdebatan selama proses amendemen undang-undang dasar pada masa Reformasi (1999–2002). Partai-partai Islam mengusulkan agar "tujuh kata" ditambahkan ke dalam Pasal 29 UUD 1945, yaitu pasal yang mengatur soal kedudukan agama dalam negara dan kebebasan beragama.

Namun, usulan amendemen dari partai-partai Islam tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Daftar isi • 1 Piagam Jakarta selama perumusan UUD 1945 • 1.1 Sidang Resmi Pertama BPUPK dan Panitia Sembilan • 1.2 Naskah Piagam Jakarta • 1.3 Piagam Jakarta sebagai kompromi • 1.4 Sidang Resmi Kedua BPUPK • 1.5 Penghapusan tujuh kata • 2 Pembahasan Piagam Jakarta pada masa penangguhan UUD 1945 • 2.1 Tuntutan dari partai Islam untuk mengakui Piagam Jakarta • 2.2 Janji pengakuan pada awal 1959 • 2.3 Perdebatan mengenai Piagam Jakarta di Konstituante • 3 Setelah pengembalian UUD 1945 • 3.1 Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan Memorandum 1966 • 3.2 Tuntutan penerapan Piagam Jakarta oleh kelompok Islam • 3.3 Perdebatan antara kelompok Islam dan Kristen terkait makna historis Piagam Jakarta • 3.4 Upaya menerapkan Piagam Jakarta melalui peraturan perundang-undangan • 3.5 1988: pembentukan peradilan agama dan ketakutan akan Piagam Jakarta • 4 Tuntutan pengembalian Piagam Jakarta pada awal Reformasi (1999–2002) • 4.1 Desakan partai Islam • 4.2 Penolakan Piagam Jakarta • 4.3 Piagam Madinah: usulan alternatif dari Fraksi Reformasi • 4.4 Kegagalan upaya mengembalikan Piagam Jakarta lewat amendemen • 5 Lihat pula • 6 Keterangan • 7 Catatan kaki • 8 Daftar pustaka • 9 Bacaan lanjut Piagam Jakarta selama perumusan UUD 1945 [ sunting - sunting sumber ] Sidang Resmi Pertama BPUPK dan Panitia Sembilan [ sunting - sunting sumber ] Sidang Resmi Pertama BPUPK dari 29 Mei hingga 1 Juni 1945 Pada tahun 1942, Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Belanda.

Semenjak awal pendudukan, pemerintahan militer Jepang sudah bekerja sama dengan para pemimpin kelompok kebangsaan dengan maksud untuk memenuhi keperluan perang dan pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan. [1] Agar kerja sama dengan kelompok kebangsaan di Jawa dapat dimaksimalkan, Jepang membentuk organisasi Jawa Hokokai pada awal Januari 1944, [2] dan organisasi ini merupakan pengganti Pusat Tenaga Rakyat yang telah dibubarkan.

[3] Ketika Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada seluruh bangsa Indonesia pada suatu hari.

[4] Pada 1 Maret 1945, Angkatan Darat ke-16, korps militer Jepang yang melaksanakan pemerintahan atas wilayah Jawa, membentuk Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK, bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Chōsa-kai). [5] [6] Badan ini bertugas menetapkan dasar negara Indonesia dan merumuskan undang-undang dasarnya.

[7] BPUPK terdiri dari 62 anggota, dengan 47 dari antaranya berasal dari golongan kebangsaan dan 15 dari golongan Islam.

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

{INSERTKEYS} [8] Wakil-wakil kelompok Islam meyakini bahwa undang-undang dasar Indonesia sepatutnya dilandaskan pada syariat.

[9] BPUPK menggelar sidang resmi pertamanya di Jakarta dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. [10] Dalam sidang ini, Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal, " Lahirnya Pancasila", pada tanggal 1 Juni 1945.

Pidato ini menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, [11] dengan "ketuhanan" sebagai sila kelimanya. [12] Terkait sila ini, Soekarno menjelaskan: “ Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.

[13] ” Sebelum memasuki masa reses, BPUPK membentuk sebuah Panitia Kecil yang terdiri dari delapan anggota dengan Soekarno sebagai ketuanya. Panitia ini bertugas mengumpulkan usulan-usulan dari anggota-anggota BPUPK lainnya untuk dibahas kelak. [14] Untuk mengurangi ketegangan antara kelompok kebangsaan dengan Islam, Soekarno membentuk Panitia Sembilan pada tanggal 18 Juni 1945. Panitia yang diketuai oleh Soekarno ini bertugas merumuskan mukadimah undang-undang dasar Indonesia yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

[15] Sesuai namanya, panitia ini terdiri sembilan anggota, dengan empat anggota berasal dari kelompok Islam dan lima dari kelompok kebangsaan. [16] Kesembilan anggota tersebut adalah: [17] Nama (rentang kehidupan) Golongan Organisasi Gambar Agus Salim (1884–1954) Islam Sarekat Islam Abikoesno Tjokrosoejoso (1897–1968) Islam Partai Syarikat Islam Indonesia Wahid Hasjim (1914–1953) Islam Nahdlatul Ulama Abdoel Kahar Moezakir (1907–1973) Islam Muhammadiyah Soekarno (1901–1970) Kebangsaan Partai Nasional Indonesia, Pusat Tenaga Rakyat Mohammad Hatta (1902–1980) Kebangsaan Partai Nasional Indonesia, Pusat Tenaga Rakyat Achmad Soebardjo (1896–1978) Kebangsaan Mohammad Yamin (1903–1962) Kebangsaan Pusat Tenaga Rakyat Alexander Andries Maramis (1897–1977) Kebangsaan, wakil Kristen Perhimpunan Indonesia Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan merumuskan naskah usulan Mukadimah Undang-Undang Dasar Indonesia, yang kemudian diberi julukan "Piagam Jakarta" oleh Mohammad Yamin.

[18] Naskah Piagam Jakarta [ sunting - sunting sumber ] Kemoedian dari pada itu untuk membentoek soeatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah-dara Indonesia, dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itoe dalam soeatu hoekoem dasar Negara Indonesia jang terbentuk dalam soeatu soesoenan negara Republik Indonesia, jang berkedaoelatan rakjat, dengan berdasar kepada: ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek-pemeloeknja, menoeroet dasar kemanoesiaan jang adil dan beradab, persatoean Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/perwakilan serta dengan mewoedjoedkan soeatu keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah ini bertanggal 22 Juni 2605 dalam kalender Jepang (22 Juni 1945 dalam kalender Gregorius) dan ditandatangani oleh anggota-anggota Panitia Sembilan. [20] Piagam Jakarta sebagai kompromi [ sunting - sunting sumber ] Di paragraf keempat dan terakhir Piagam Jakarta, terkandung lima butir sila yang kini dianggap sebagai bagian dari Pancasila: [21] • Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya • Kemanusiaan yang adil dan beradab • Persatuan Indonesia • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Dalam Piagam Jakarta, asas "ketuhanan" dijadikan sila pertama, sementara dalam rumusan Pancasila yang dikemukakan oleh Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, "ketuhanan" merupakan sila kelima.

[22] Perbedaan terbesar antara Piagam Jakarta dengan rumusan Pancasila Soekarno adalah keberadaan frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa yang dikenal dengan sebutan "tujuh kata" ini mengakui syariat untuk Muslim.

[23] Anggota Panitia Sembilan Abdoel Kahar Moezakir kelak mengklaim dalam sebuah wawancara pada Desember 1957 bahwa anggota lain yang beragama Kristen, Alexander Andries Maramis, setuju "200%" dengan rumusan ini.

[24] Rumusan tujuh kata sendiri dianggap rancu dan tidak diketahui apakah rumusan tersebut membebankan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada perseorangan atau pemerintah. [23] Walaupun begitu, Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi dan sila pertamanya dapat ditafsirkan berbeda sesuai dengan kepentingan kelompok Islam ataupun kebangsaan. [25] Sidang Resmi Kedua BPUPK [ sunting - sunting sumber ] Sidang Resmi Kedua BPUPK dari 10 hingga 17 Juli 1945 Sesuai dengan saran dari Panitia Sembilan, BPUPK menggelar sidang resmi keduanya dari 10 hingga 17 Juli 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno.

Tujuannya adalah untuk membahas permasalahan terkait undang-undang dasar, termasuk rancangan mukadimah yang terkandung dalam Piagam Jakarta. [26] Pada hari pertama, Soekarno melaporkan hal-hal yang telah dicapai selama pembahasan pada masa reses, termasuk Piagam Jakarta. Ia juga mengabarkan bahwa Panitia Kecil telah menerima Piagam Jakarta secara bulat. Menurut Soekarno, piagam ini mengandung "segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai [BPUPK]".

[27] Pada hari kedua sidang (tanggal 11 Juli), tiga anggota BPUPK menyampaikan penolakan mereka terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Salah satunya adalah Johannes Latuharhary, seorang anggota beragama Protestan yang berasal dari Pulau Ambon. Ia merasa bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta akan menimbulkan dampak yang "besar sekali" terhadap agama lain. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tujuh kata tersebut akan memaksa suku Minangkabau untuk meninggalkan adat istiadat mereka dan juga berdampak terhadap hak tanah yang berlandaskan pada hukum adat di Maluku.

[28] Dua anggota lain yang tidak setuju dengan tujuh kata adalah Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Menurut Djajadiningrat, tujuh kata dapat menimbulkan fanatisme karena seolah memaksakan umat Islam untuk menjalankan hukum syariat.

Salah satu anggota Panitia Sembilan, Wahid Hasjim, menampik kemungkinan terjadinya pemaksaan karena adanya dasar permusyawaratan. Ia juga berkomentar bahwa meskipun ada anggota yang menganggap tujuh kalimat itu "tajam", ada pula yang menganggapnya "kurang tajam". [29] Dua hari sesudahnya, pada 13 Juli, Hasjim menggagas perubahan Pasal 4 Rancangan Undang-Undang Dasar agar Presiden Indonesia harus beragama Islam.

Ia juga mengusulkan agar Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar (yang berkaitan dengan agama) diamendemen untuk menjadikan Islam sebagai agama negara ditambah dengan klausul yang menjamin kebebasan beragama untuk kaum non-Muslim.

Menurutnya, hal ini diperlukan karena hanya agama yang dapat membenarkan penggunaan kekuatan untuk mengambil nyawa dalam konteks pertahanan nasional. [30] [31] Anggota BPUPK lainnya, Otto Iskandardinata, menentang usulan agar Presiden Indonesia harus Muslim, dan mengusulkan agar tujuh kata di Piagam Jakarta diulang dalam Pasal 29 Rancangan Undang-Undang Dasar. [32] Piagam Jakarta kembali dibahas dalam rapat yang digelar pada 14 Juli, salah satunya karena terdapat rencana untuk menggunakan isi dari piagam tersebut dalam deklarasi kemerdekaan Indonesia.

[33] Dalam rapat ini, Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo mengusulkan agar frasa "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Soekarno menolak usulan tersebut dengan argumen bahwa tujuh kata merupakan hasil kompromi: [34] “ Jadi panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin " Jakarta Charter", yang disertai dengan perkataan tuan anggota yang terhormat Soekiman, " Gentlemen Agreement", supaya ini dipegang teguh diantara pihak Islam dan Kebangsaan.

[35] ” Hadikoesoemo juga berpandangan bahwa umat Islam akan merasa dihina jika ada aturan yang berbeda untuk Muslim dan non-Muslim.

Soekarno menjawab bahwa jika frasa tersebut dihapus, akan muncul tafsir bahwa kaum non-Muslim juga wajib menjalankan syariat Islam. Hadikoesoemo menampik kekhawatiran Soekarno karena menurutnya "Pemerintah tidak boleh memeriksa agama". [34] Pada akhirnya, Hadikoesoemo berhasil diyakinkan oleh anggota lain dari golongan Islam, Abikusno Tjokrosujoso, bahwa tujuh kata sebaiknya dibiarkan seperti itu demi persatuan dan perdamaian. [34] Pada sore hari tanggal 15 Juli, Hadikoesoemo kembali mengajukan usulannya.

Karena merasa kekhawatirannya tidak dijawab dengan memuaskan, ia menyatakan penolakannya terhadap kompromi dalam Piagam Jakarta. [36] [37] Kemudian, pada tanggal 16 Juli, Soekarno membuka rapat dengan permohonan kepada kelompok kebangsaan untuk mau berkorban dengan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam batang tubuh undang-undang dasar dan juga dengan menambahkan klausul bahwa Presiden Republik Indonesia harus Muslim. [38] Kelompok kebangsaan memenuhi permohonan ini, sehingga BPUPK menyetujui sebuah rancangan undang-undang dasar yang mengandung tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29, serta sebuah klausul yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus beragama Islam.

[39] Penghapusan tujuh kata [ sunting - sunting sumber ] Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 Pada tanggal 7 Agustus 1945, pemerintah Jepang mengumumkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kemudian, pada 12 Agustus, Soekarno diangkat sebagai ketuanya oleh Panglima Kelompok Ekspedisi Selatan Marsekal Medan Hisaichi Terauchi. [40] Hanya empat dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta yang menjadi anggota PPKI, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan Wahid Hasjim.

[41] Pada mulanya anggota PPKI akan berkumpul pada 19 Agustus untuk memfinalisasi undang-undang dasar Indonesia. [40] Namun, pada 6 dan 9 Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu. Kemudian, pada 15 Agustus, Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. [42] Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus.

Kemudian, pada pagi hari tanggal 18 Agustus, PPKI berkumpul untuk mengesahkan undang-undang dasar Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Hatta mengusulkan agar tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29 dihapus. Seperti yang kemudian dijelaskan Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, pada malam hari tanggal 17 Agustus, seorang opsir kaigun (Angkatan Laut) Jepang mendatanginya dan menyampaikan kabar bahwa kelompok nasionalis beragama Kristen dari Indonesia Timur menolak tujuh kata karena dianggap diskriminatif terhadap penganut agama minoritas, dan mereka bahkan menyatakan lebih baik mendirikan negara sendiri di luar Republik Indonesia jika tujuh kata tersebut tidak dicabut.

{/INSERTKEYS}

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

{INSERTKEYS} [43] Hatta lalu menjabarkan usulan perubahannya: istilah "ketuhanan" akan diganti dengan "ketuhanan yang maha esa", [44] sementara istilah "Mukadimah" yang berasal dari bahasa Arab diganti menjadi "Pembukaan". [43] Ayat yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus Muslim juga dihapus. [45] Setelah usulan ini diterima, PPKI menyetujui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pada hari yang sama, dan tujuh kata pun secara resmi dihapus.

[46] Perwakilan Bali I Gusti Ketut Pudja juga mengusulkan agar " Allah" diganti dengan "Tuhan". Usulan tersebut diterima, tetapi saat konstitusi resmi dipublikasi, perubahan tersebut tak dilakukan.

[45] Tidak diketahui secara pasti mengapa PPKI menyetujui usulan Hatta tanpa adanya perlawanan dari golongan Islam. [47] Di satu sisi, komposisi anggota PPKI sangat berbeda dengan BPUPK: hanya 12% anggota PPKI yang berasal dari golongan Islam (sementara di BPUPK terdapat 24%). [48] Dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta, hanya tiga yang hadir dalam pertemuan tanggal 18 Agustus. Ketiga orang itu pun bukan berasal dari golongan Islam; Hasjim yang datang dari Surabaya baru tiba di Jakarta pada 19 Agustus.

[49] Di sisi lain, Indonesia pada masa itu tengah terancam oleh kedatangan pasukan Sekutu, sehingga yang menjadi prioritas adalah pertahanan nasional dan upaya untuk memperjuangkan aspirasi golongan Islam dapat ditunda hingga situasinya memungkinkan. [50] Keputusan untuk menghapus tujuh kata mengecewakan golongan Islam. [51] Hadikoesoemo mengungkapkan kemarahannya dalam pertemuan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa hari setelah sidang PPKI selesai.

[51] Golongan Islam juga merasa semakin tidak puas setelah PPKI pada tanggal 19 Agustus menolak usulan untuk mendirikan Kementerian Agama.

[52] Walaupun begitu, seiring dengan kedatangan pasukan Sekutu, golongan Islam memutuskan untuk memprioritaskan persatuan nasional demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. [53] Pembahasan Piagam Jakarta pada masa penangguhan UUD 1945 [ sunting - sunting sumber ] Tuntutan dari partai Islam untuk mengakui Piagam Jakarta [ sunting - sunting sumber ] Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, pada 27 Desember 1949, UUD 1945 digantikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.

Tak lama sesudahnya, pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia diberlakukan.

[54] Abikoesno Tjokrosoejoso, yang pernah menjadi bagian dari Panitia Sembilan, menerbitkan sebuah pamflet pada tahun 1953 dengan judul Ummat Islam Indonesia Menghadapi Pemilihan Umum.

Di halaman pertama, tercetak Piagam Jakarta yang dianggap sebagai cita-cita yang akan diperjuangkan. [55] Gedung Merdeka di Bandung pernah dijadikan Gedung Konstituante dari tahun 1956 hingga 1959 Pada Desember 1955, Indonesia menggelar pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante, yaitu lembaga yang bertugas merumuskan konstitusi baru. Piagam Jakarta menjadi topik yang penting bagi anggota-anggota lembaga ini.

Secara keseluruhan, Konstituante terdiri dari 514 anggota, dengan 230 dari mereka (44,8%) berasal dari blok Islam, sementara kebanyakan anggota lainnya merupakan bagian dari blok kebangsaan. [56] Blok Islam, yang secara keseluruhan terdiri dari delapan partai (yaitu Nahdlatul Ulama, Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan empat partai gurem lainnya), berpendapat bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah suatu kesalahan yang hanya dibiarkan oleh golongan Islam di PPKI akibat situasi genting pada saat itu dan juga karena Soekarno telah berjanji bahwa majelis yang dipilih rakyat akan menyelesaikan masalah ini kelak.

Abdoel Kahar Moezakir, yang pada saat itu telah bergabung dengan Partai Masyumi, menganggap penghapusan tujuh kata sebagai suatu "pengkhianatan" yang telah menghancurkan Pancasila itu sendiri karena asas-asas yang dianggap membawa akhlak mulia yang melahirkan Pancasila malah dihilangkan. [57] Partai Masyumi (yang memiliki 112 anggota dan merupakan partai Islam terbesar di Konstituante) juga menuntut pengakuan resmi atas Piagam Jakarta.

[58] Janji pengakuan pada awal 1959 [ sunting - sunting sumber ] Sementara anggota Konstituante tidak dapat menyepakati undang-undang dasar yang baru, Jenderal Abdul Haris Nasution menyatakan pada 13 Februari 1959 bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) "memelopori usaha" kembali ke UUD 1945. [59] Menurut pendapat anggota Konstituante dari Partai Masyumi Djamaluddin Datuk Singomangkuto dan teolog Belanda B.J.

Boland, Soekarno mendukung kembalinya UUD 1945 agar ia dapat menerapkan gagasan demokrasi terpimpinnya. [60] Pada 19 Februari, Kabinet Djuanda menyetujui secara bulat "Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali ke UUD 1945". Putusan ini menyatakan bahwa UUD 1945 dapat menjamin penerapan demokrasi terpimpin. Selain itu, putusan ini juga menyatakan bahwa untuk memenuhi aspirasi golongan Islam, keberadaan Piagam Jakarta diakui.

Di bagian penjelasan juga diterangkan bahwa tujuan pengembalian UUD 1945 adalah untuk memulihkan potensi nasional secara keseluruhan, termasuk dari kelompok Islam. Oleh sebab itu, pengakuan Piagam Jakarta telah ditafsirkan sebagai upaya untuk menunjukkan iktikad baik kepada para pemimpin Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh, serta politikus-politikus Islam lainnya yang bersimpati dengan ideologi yang diperjuangkan oleh Darul Islam.

Sementara itu, untuk mengembalikan UUD 1945, Soekarno telah bersepakat dengan kabinet bahwa ia akan berpidato di hadapan Konstituante di Bandung dan mengajak mereka untuk menerima UUD 1945. [61] Perdana Menteri Indonesia Djuanda Kartawidjaja (1957–1959). Pada Maret 1959, ia menjelaskan bahwa "pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945.

Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan." [62] Pada 3 dan 4 Maret 1959, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada kabinet terkait dengan Putusan Dewan Menteri, dan pemerintah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tertulis.

Sejumlah perwakilan partai Islam meminta penjelasan mengenai Piagam Jakarta. Anwar Harjono dari Partai Masyumi bertanya apakah Piagam Jakarta akan memiliki kekuatan hukum seperti halnya undang-undang dasar atau hanya diakui sebagai dokumen historis saja.

Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja menjawab bahwa meskipun Piagam Jakarta bukan merupakan bagian dari UUD 1945, piagam tersebut tetap menjadi sebuah dokumen historis yang sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia dan perumusan Pembukaan UUD 1945. Achmad Sjaichu dari Nahdhlatul Ulama juga bertanya "apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai dokumen historis saja ataukah mempunyai akibat hukum, yaitu perkataan 'Ketuhanan' dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’atnya', sehingga atas dasar itu bisa diciptakan perundang-undangan yang bisa disesuaikan dengan syari’at Islam bagi pemeluknya?" Djuanda menjawab bahwa "pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945.

Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan." [62] Kemudian, pada 22 April 1959, Soekarno menyampaikan pidatonya di hadapan Konstituante di Bandung.

Dalam pidato tersebut, ia menyerukan agar UUD 1945 diberlakukan kembali. Terkait dengan Piagam Jakarta, ia juga menjelaskan bahwa piagam tersebut dijiwai oleh "amanat penderitaan rakyat". Menurutnya, "Piagam Jakarta ini memuat lengkap amanat penderitaan rakyat yang saya sebutkan tadi yaitu: satu masyarakat yang adil dan makmur, satu negara kesatuan yang berbentuk republik, satu badan permusyawaratan perwakilan rakyat." Ia juga menyatakan bahwa Piagam Jakarta adalah suatu "dokumen historis" yang telah "mempelopori dan mempengaruhi" UUD 1945.

Atas dasar itu, Soekarno menyatakan akan menyampaikan naskah Piagam Jakarta secara resmi di hadapan Konstituante. [63] Ia lalu mengumumkan bahwa jika Konstituante menyetujui ketentuan-ketentuan ini, ketentuan-ketentuan tersebut akan diberi sebutan " Piagam Bandung", dan piagam ini akan secara resmi mengakui Piagam Jakarta sebagai suatu dokumen historis.

[64] Perdebatan mengenai Piagam Jakarta di Konstituante [ sunting - sunting sumber ] Pada sidang Konstituante berikutnya, para tokoh Islam kembali mengangkat isu soal Piagam Jakarta. [65] Salah satunya adalah Saifuddin Zuhri dari Nahdlatul Ulama yang kelak akan menjadi Menteri Agama.

Ia meminta agar pemerintah menyatakan bahwa Piagam Jakarta memiliki makna hukum dan dapat dijadikan sumber hukum untuk mengundangkan hukum Islam bagi Muslim.

[66] Di sisi lain, perwakilan dari Partai Kristen Indonesia, Johannes Chrisos Tomus Simorangkir, menyatakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah dokumen historis yang mendahului Pembukaan UUD 1945, sehingga piagam tersebut bukan dan tidak dapat dijadikan sumber hukum. [67] Abdoel Kahar Moezakir menyesalkan bahwa Piagam Jakarta diangkat lagi bukan untuk dijadikan undang-undang dasar, tetapi hanya untuk memuaskan kelompok Islam.

[68] Perwakilan dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Partai Syarikat Islam Indonesia menyatakan bahwa mereka akan mendukung pengembalian UUD 1945 jika Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 1945. Perwakilan dari Partai Syarikat Islam Indonesia juga meminta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga ditambahkan ke dalam Pasal 29 UUD 1945.

[69] Perwakilan dari Nahdlatul Ulama Zainul Arifin mengumpamakan Piagam Jakarta sebagai pelita yang menjadi sumber cahaya UUD 1945 dan menerangi jalan bangsa Indonesia. Perumpamaan cahaya ini berasal dari Surah An-Nur 24:35-36 Perdebatan mengenai Piagam Jakarta mencapai puncaknya ketika Zainul Arifin dari Nahdlatul Ulama menyampaikan pidatonya pada 12 Mei 1959. Menurutnya, yang sebenarnya menjadi landasan Republik Indonesia bukanlah Pembukaan UUD 1945, tetapi Piagam Jakarta, karena piagam tersebutlah yang dianggap telah membuka jalan menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Ia juga menggunakan perumpamaan cahaya dalam Surah An-Nur 24:35-36: Piagam Jakarta diumpamakan sebagai pelita yang menjadi sumber cahaya bagi UUD 1945 dan menerangkan jalan yang telah dan akan dilalui oleh bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, ia meyakini bahwa Piagam Jakarta sepatutnya diakui sebagai norma dasar negara dan perundang-undangannya. [70] Pandangan semacam ini ditentang oleh anggota Konstituante dari Partai Komunis Indonesia, M.A. Khanafiah, yang meyakini bahwa Piagam Jakarta hanyalah rancangan Pembukaan UUD 1945 yang tidak pernah disahkan oleh lembaga yang berwenang pada saat itu, yaitu PPKI.

[71] Pada 21 Mei, Perdana Menteri Djuanda menjawab berbagai pertanyaan anggota Konstituante terkait dengan pidato Soekarno pada 22 April. Ia menjelaskan bahwa meskipun pengakuan Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bukan berarti bahwa piagam ini langsung memiliki kekuatan hukum, piagam ini diakui telah menjiwai UUD 1945, terutama Pembukaan dan Pasal 29. [72] Kemudian ia mempresentasikan rancangan Piagam Bandung yang berisi pengakuan tersebut.

Terdapat perbedaan antara versi 21 Mei dengan versi yang dikemukakan pada bulan Februari dan April. Versi bulan Februari hanya mengakui keberadaan Piagam Jakarta, sementara versi April menambahkan keterangan bahwa Piagam Jakarta adalah suatu dokumen historis.

Versi Mei bahkan mengakui bahwa Piagam Jakarta memainkan peranan penting dalam kelahiran UUD 1945. [73] Versi Mei masih belum dapat memuaskan keinginan blok Islam. Pada 26 Mei, mereka meminta penambahan tujuh kata dalam Pembukaan dan Pasal 29 UUD 1945.

[74] Namun, pada 29 Mei, usulan ini gagal memperoleh dukungan dua pertiga anggota Konstituante: hanya 201 dari 466 anggota (atau sekitar 43,1%) yang mendukung usulan tersebut. Akibatnya, blok Islam menolak mendukung pengembalian UUD 1945. [75] [76] Setelah pengembalian UUD 1945 [ sunting - sunting sumber ] Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan Memorandum 1966 [ sunting - sunting sumber ] Soekarno ketika sedang membacakan Dekret 5 Juli 1959 Akibat kegagalan Konstituante dalam merumuskan konstitusi baru, Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan sebuah dekret yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945.

[77] Di dalam dekret ini juga terkandung pernyataan "Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut." [78] Pernyataan ini muncul salah satunya atas dorongan dari tokoh Nahdlatul Ulama Muhammad Wahib Wahab, yang kemudian diangkat sebagai Menteri Agama. [79] Pada 22 Juni 1959, DPR secara aklamasi menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945.

[80] Pada 22 Juni 1963, hari lahir Piagam Jakarta untuk pertama kalinya dirayakan. Jenderal Abdul Haris Nasution, yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan, mengumumkan bahwa Piagam Jakarta "banyak mendapat ilham daripada hikmah 52 ribu surat-surat dari alim ulama dan pemimpin-pemimpin Islam" yang dialamatkan kepada Jawa Hokokai.

[81] Kemudian, pada 5 Juli 1963 (empat tahun setelah dikeluarkannya Dekret 5 Juli 1959), Soekarno membacakan seluruh naskah Piagam Jakarta dan sesudahnya Pembukaan UUD 1945 untuk menunjukkan keterkaitan di antara kedua dokumen tersebut.

[82] Selanjutnya, pada 5 Juli 1966, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR, salah satu lembaga bentukan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin) mengeluarkan sebuah memorandum mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) lalu "menerima baik" isi memorandum tersebut dalam Ketetapan Nomor XX/MPRS/1966. Di dalam memorandum ini terkandung pernyataan mengenai peranan historis Piagam Jakarta dalam proses penyusunan UUD 1945: "Penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sesungguhnya dilandasi oleh jiwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sedangkan Piagam Jakarta itu dilandasi pula oleh jiwa pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang kini terkenal sebagai 'Pidato Lahirnya Pancasila'." Pada saat yang sama, memorandum ini juga menyatakan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila tidak boleh diubah oleh siapapun, termasuk MPR, karena "merubah isi Pembukaan berarti pembubaran Negara".

Menurut cendekiawan Muslim Indonesia Mujiburrahman, bila dibandingkan dengan Pancasila, kedudukan Piagam Jakarta dalam memorandum ini tidak jelas dan lemah, tetapi piagam ini masih disebutkan oleh memorandum tersebut. [83] Tuntutan penerapan Piagam Jakarta oleh kelompok Islam [ sunting - sunting sumber ] Menurut Mohamad Roem, kewajiban dalam tujuh kata Piagam Jakarta bukanlah kewajiban hukum, tetapi kewajiban agama yang pelaksanaannya tergantung pada masing-masing individu Pengakuan Piagam Jakarta oleh Dekret 5 Juli 1959 ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai kelompok politik.

Di satu sisi, kelompok kebangsaan dan partai-partai non-Islam serta anti-Islam mengamati bahwa Piagam Jakarta hanya disebutkan di bagian pertimbangan, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Di sisi lain, kelompok Islam berpendapat bahwa Dekret 5 Juli 1959 telah memberikan kekuatan hukum bagi tujuh kata, sehingga dengan ini Muslim akan diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam.

Bagi kelompok Islam, dekret ini juga menandakan bahwa hukum Islam khusus untuk Muslim Indonesia dapat diundangkan. [84] Politikus dari Nahdlatul Ulama Saifuddin Zuhri, yang diangkat menjadi Menteri Agama pada tahun 1962, mengumumkan pada tahun 1963 saat perayaan hari lahir Piagam Jakarta bahwa piagam tersebut telah memicu Revolusi Nasional Indonesia, memiliki status konstitusional, dan berpengaruh terhadap setiap perundang-undangan dan kehidupan ideologis bangsa.

[85] Sebagai Menteri Agama, ia juga mencoba mengarahkan bawahannya untuk melaksanakan Dekret 5 Juli 1959. [79] Pada saat perayaan hari jadi ke-40 Nahdlatul Ulama (31 Januari 1966), diadakan sebuah pawai, dan pesertanya memegang spanduk yang menuntut kembalinya Piagam Jakarta. [86] Pada bulan yang sama, Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh merumuskan sebuah rancangan Pedoman Dasar. Pasal 4 Pedoman Dasar ini menyatakan bahwa tujuan organisasi mereka adalah untuk menyatukan semua ulama dan umat dalam upaya untuk menerapkan Piagam Jakarta dan memberlakukan syariat Islam untuk Muslim di provinsi tersebut.

[87] Politikus Muslim Mohamad Roem mengambil sikap yang lebih moderat. Dalam sebuah pidato yang ia sampaikan di Medan pada Februari 1967, ia menegaskan bahwa umat Islam wajib menerapkan syariat Islam terlepas dari apakah tujuh kata dimasukkan ke dalam Pembukaan UUD 1945 atau Dekret 5 Juli 1959. Menurutnya, kewajiban ini bukanlah kewajiban hukum, tetapi kewajiban agama, dan pelaksanaan kewajiban ini bergantung kepada masing-masing pribadi. [88] Kemudian, saat sidang MPRS pada Maret 1968, kelompok Islam meminta agar Piagam Jakarta juga dimasukkan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), tetapi upaya ini gagal akibat penolakan dari kelompok militer, Kristen, dan kebangsaan.

[89] Perdebatan antara kelompok Islam dan Kristen terkait makna historis Piagam Jakarta [ sunting - sunting sumber ] Lambang Partai Katolik. Partai ini meyakini bahwa Piagam Jakarta tidak pernah memiliki kekuatan hukum di Indonesia Setelah sidang MPRS pada Maret 1968, perdebatan mengenai Piagam Jakarta kembali mencapai puncaknya dengan diterbitkannya artikel-artikel oleh kelompok Kristen dan Islam.

[89] Majalah Katolik Peraba menerbitkan sejumlah artikel yang mengkritik argumen pendukung Piagam Jakarta. Dalam salah satu artikel tersebut, Partai Katolik berpendapat bahwa Piagam Jakarta tidak pernah memiliki kekuatan hukum karena piagam tersebut hanyalah rancangan Pembukaan UUD 1945.

Partai Katolik bahkan mengutip Sayuti Melik (salah satu anggota PPKI) yang menyatakan bahwa tidak ada bukti Panitia Sembilan pernah menandatangani rancangan Pembukaan yang dirumuskan pada 22 Juni 1945, dan hanya Mohammad Yamin yang menyebut rancangan ini dengan sebutan Piagam Jakarta. Oleh sebab itu, menurut Partai Katolik, tidak ada yang salah dengan keputusan PPKI untuk menghapus tujuh kata.

[90] Sehubungan dengan Dekret 5 Juli, Partai Katolik menafsirkan kata "menjiwai" sebagai pernyataan bahwa Pembukaan UUD 1945 berasal dari Piagam Jakarta. Walaupun begitu, Partai Katolik menegaskan bahwa istilah ini tidak menjadikan tujuh kata sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia, karena jika hal tersebut diasumsikan benar, maka Piagam Jakarta bukan menjiwai, tetapi malah menggantikan Pembukaan UUD 1945. Selain itu, bagi Partai Katolik, penggunaan frasa "kami berkeyakinan" menandakan bahwa keyakinan tersebut hanyalah keyakinan Soekarno saja dan tidak memiliki kekuatan hukum.

[91] Redaksi majalah Peraba juga menyatakan bahwa pihak yang menuntut pengakuan Piagam Jakarta telah bertentangan dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka juga menegaskan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak ada kaitannya dengan Piagam Jakarta. Mereka merujuk pada sejarah ketika Soekarno dan Hatta diculik dan didesak oleh para pemuda untuk mempercepat proklamasi.

Para pemuda ini tidak ingin kemerdekaan Indonesia dikait-kaitkan dengan Jepang, sehingga mereka menolak penggunaan Piagam Jakarta untuk mengumandangkan proklamasi, mengingat piagam tersebut merupakan hasil dari badan bentukan Jepang, BPUPK.

[92] Di sisi lain, politikus-politikus Muslim mencoba menunjukkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Piagam Jakarta. Tokoh Muslim Hamka berpendapat bahwa sebelum Piagam Jakarta, gerakan kemerdekaan Indonesia terpecah menjadi dua golongan, yaitu Islam dan kebangsaan.

Keduanya tidak saling menghormati, dan Hamka meyakini bahwa kompromi Piagam Jakarta-lah yang berhasil membuat kedua kelompok ini bersatu. Namun, tujuh kata dalam Piagam Jakarta kemudian malah dihapus satu hari setelah kemerdekaan. Bagi Hamka, ini adalah tindakan yang tidak jujur atau bahkan curang dari pihak golongan kebangsaan.

[90] Sementara itu, Menteri Agama Indonesia Muhammad Dahlan menyampaikan sebuah pidato saat hari jadi Piagam Jakarta pada tahun 1968 yang menyatakan bahwa piagam tersebut merupakan sebuah langkah menuju kemerdekaan yang kemudian menjadi penggerak dan sumber inspirasi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Dahlan juga meyakini bahwa isi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sejalan dengan isi Piagam Jakarta, dan ia juga mengklaim bahwa piagam tersebut sebenarnya menandai akhir dari pergerakan kemerdekaan Indonesia pada abad ke-20.

[89] Selain itu, Dahlan menegaskan bahwa Dekret 5 Juli 1959 dan Memorandum DPRGR yang telah diterima oleh MPRS menjadikan Piagam Jakarta sebagai sumber hukum. [93] Pandangan militer mengenai Piagam Jakarta sendiri terpecah. Abdul Haris Nasution, yang telah menjadi Ketua MPRS, menyatakan di sebuah seminar yang diselenggarakan di Kota Malang, Jawa Timur, pada Juli 1968 bahwa ia menolak gagasan pendirian negara Islam, tetapi ia mendukung keinginan umat Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta.

[94] Namun, ketika Pemuda Mahasiswa dan Pelajar Islam ingin merayakan hari jadi Piagam Jakarta pada tahun 1968, mereka tidak mendapatkan izin dari Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta. Pemerintah saat itu juga meminta pegawai negeri sipil untuk tidak membuat pernyataan apapun mengenai Piagam Jakarta dan meminta mereka untuk tidak mengikuti perayaan hari jadi Piagam Jakarta.

Pada tahun berikutnya, Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura Kolonel Soemadi melarang perayaan hari jadi Piagam Jakarta karena menurutnya ideologi negara sudah jelas tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. [95] Upaya menerapkan Piagam Jakarta melalui peraturan perundang-undangan [ sunting - sunting sumber ] Semenjak akhir tahun 1960-an, para perwakilan dari golongan Islam mulai mencoba menerapkan isi Piagam Jakarta melalui peraturan perundang-undangan.

[96] Namun, mereka masih harus menentukan apa makna dari kewajiban menjalankan syariat Islam. [97] Seorang mantan pegiat Masyumi yang bernama Mohammad Saleh Suaidy menyatakan bahwa pada akhir 1960-an, Piagam Jakarta dapat direalisasikan dengan: (1) menyelesaikan rancangan hukum perkawinan Islam yang masih dibahas DPR; (2) mengatur pengumpulan dan pembagian zakat dan jika sistem ini berhasil, rancangan undang-undang mengenai zakat dapat diusulkan ke DPR; (3) menyatukan kurikulum pesantren di seluruh negeri; (4) meningkatkan keefisienan dan koordinasi dakwah; (5) mengaktifkan kembali Majelis Ilmiah Islam untuk mengembangkan konsep-konsep penting dalam agama Islam.

[98] Pada 22 Mei 1967, Departemen Agama mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Peraturan Perkawinan Ummat Islam kepada DPRGR. [99] Di bagian penjelasan, tercantum pernyataan bahwa dengan adanya Dekret 5 Juli 1959, Piagam Jakarta dianggap sebagai bagian dari undang-undang dasar. Namun, pada Februari 1969, Fraksi Partai Katolik di DPRGR menyatakan penolakannya terhadap rancangan undang-undang ini. Mereka mengeluarkan sebuah memorandum yang membuat sebuah dikotomi antara negara kebangsaan atau negara Islam.

Menurut mereka, jika rancangan undang-undang ini disahkan, berarti landasan negara akan diganti dengan Piagam Jakarta. [100] Pada akhirnya Presiden Indonesia saat itu Soeharto menarik rancangan undang-undang tersebut pada Juli 1973.

[101] Secara keseluruhan, pada masa Orde Baru, pemerintah berupaya menanamkan ideologi Pancasila, sehingga mereka tidak memberi ruang untuk pembahasan mengenai Piagam Jakarta.

[102] Pada tahun 1973, semua partai Islam dilebur menjadi satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru juga mewajibkan semua partai politik untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.

[103] 1988: pembentukan peradilan agama dan ketakutan akan Piagam Jakarta [ sunting - sunting sumber ] Mohammad Natsir mengkritik reaksi kelompok Kristen terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama Pada 1988, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama.

Partai Demokrasi Indonesia dan fraksi partai kebangsaan lainnya merasa khawatir bahwa pemerintah melalui rancangan undang-undang ini akan menerapkan syariat Islam. [104] Teolog Yesuit Franz Magnis-Suseno memperingatkan bahwa tujuan penghapusan tujuh kata dari Pembukaan UUD 1945 dimaksudkan untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok yang dapat memaksakan kehendak mereka kepada kelompok lain.

[105] Pada awal Juli 1989, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) meminta agar setiap warga Muslim dapat dengan bebas memilih peradilan sipil atau agama, karena menurut mereka perbedaan antara Pancasila dan Piagam Jakarta adalah Pancasila tidak mewajibkan pelaksanaan syariat Islam.

[106] Soeharto menjawab kritik dengan pernyataan bahwa rancangan undang-undang ini hanya ingin mewujudkan gagasan Pancasila dan UUD 1945, dan menurutnya rancangan undang-undang ini tidak ada kaitannya dengan Piagam Jakarta. [104] Para tokoh Muslim juga menampik keterkaitan antara rancangan undang-undang peradilan agama dengan Piagam Jakarta.

[107] Mohammad Natsir menyatakan bahwa kelompok Kristen telah bertindak intoleran terhadap aspirasi-aspirasi umat Islam semenjak dikeluarkannya "ultimatum" untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945.

Menurutnya, jika aspirasi umat Islam terus menerus dijegal oleh penolakan kelompok Kristen, umat Islam bisa merasa seperti warga kelas dua. [108] Di sisi lain, cendekiawan Muslim Nurcholis Madjid dapat memahami mengapa kelompok Kristen menyatakan penolakan mereka. Menurutnya, kecurigaan bahwa Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan upaya untuk mewujudkan Piagam Jakarta dipicu oleh trauma politik dari masa lalu.

Ia lalu mengajak semua untuk melupakan trauma masa lalu dan memandang rancangan undang-undang tersebut sebagai suatu proses nasional. [109] Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga menyatakan bahwa mereka bisa memahami ketakutan masyarakat terkait rancangan undang-undang tersebut dan Piagam Jakarta, karena mereka mengamati bahwa dalam sejarah telah terjadi beberapa upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dengan agama.

[110] Tuntutan pengembalian Piagam Jakarta pada awal Reformasi (1999–2002) [ sunting - sunting sumber ] Desakan partai Islam [ sunting - sunting sumber ] Setelah tumbangnya Soeharto dan pencabutan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat pada tahun 1998, kembali muncul seruan untuk mendirikan negara Islam dan mengembalikan Piagam Jakarta.

[111] Pada Oktober 1999, MPR untuk pertama kalinya menyelenggarakan sidang untuk mengamendemen UUD 1945. [112] Kemudian, saat Sidang Tahunan MPR pada tahun 2000, dua partai Islam, yaitu PPP dan Partai Bulan Bintang (PBB, penerus Partai Masyumi), memulai kampanye untuk menambahkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam Pasal 29 UUD 1945. [113] Berdasarkan usulan ini, rumusan Pancasila di Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah.

[114] Pasal 29 sendiri berbunyi: [115] • Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. • Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Politikus dari PBB M.S. Kaban menjelaskan bahwa pandangan fraksi partainya didasarkan pada Dekret 5 Juli 1959.

Menurutnya, dekret ini telah menerangkan bahwa Piagam Jakarta dan UUD 1945 merupakan suatu kesatuan. Ia juga menampik kekhawatiran bahwa pembahasan Piagam Jakarta akan mengakibatkan disintegrasi nasional.

[116] Habib Rizieq, pendiri Front Pembela Islam, menulis bahwa jika Piagam Jakarta dijadikan bagian dari undang-undang dasar, hal ini akan memperbaiki apa yang ia anggap sebagai sebuah kesalahan sejarah Kongres Mujahidin Indonesia I yang diselenggarakan pada Agustus 2000 juga menyerukan agar Piagam Jakarta menjadi bagian dari undang-undang dasar dan agar syariat Islam diberlakukan sebagai hukum negara. [117] Upaya untuk mengembalikan Piagam Jakarta turut didukung oleh Front Pembela Islam (FPI).

Pendiri FPI Habib Rizieq menerbitkan sebuah buku yang berjudul Dialog Piagam Jakarta pada Oktober 2000. Dalam buku ini, ia menyatakan bahwa jika Piagam Jakarta dijadikan bagian dari undang-undang dasar, hal ini akan memperbaiki sebuah kesalahan sejarah dan menjadi landasan moral yang kuat untuk negara Indonesia.

[118] Rizieq mengamati bahwa Soekarno sendiri menganggap Piagam Jakarta sebagai hasil dari perundingan yang sangat alot antara golongan Islam dan kebangsaan, dan menurutnya Soekarno telah menandatangani piagam tersebut tanpa keraguan. [119] Ia menolak pendapat bahwa pengembalian Piagam Jakarta akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Menurutnya, Piagam Jakarta adalah jalan tengah antara dua keinginan yang sangat berbeda, yaitu keinginan golongan Islam untuk mendirikan negara Islam dan keinginan golongan kebangsaan untuk mendirikan negara sekuler.

Bagi Rizieq, peniadaan Piagam Jakarta merupakan pengkhianatan demokrasi dan penumbangan konstitusi, yang membuat banyak orang kecewa dan sedih. Pengembalian tujuh kata ke dalam undang-undang dasar dianggap oleh Rizieq sebagai obat yang dapat memulihkan hak yang telah dirampas.

Dengan ini, Rizieq yakin bahwa konflik ideologi di Indonesia bisa diselesaikan. [120] Salah satu juru bicara untuk Fraksi PPP, Ali Hardi Kiai Demak, menyatakan pada tahun 2002 bahwa sebenarnya sudah ada perundang-undangan yang berlandaskan syariat Islam, seperti Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), Undang-Undang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU No.

17 Tahun 1999), Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat (UU No. 38 Tahun 1999), serta Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (UU No. 44 Tahun 1999). Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa perkembangan-perkembangan ini sepatutnya diterima secara resmi dengan memasukkan Piagam Jakarta ke dalam Pasal 29 UUD 1945. [113] Di MPR pada saat itu juga terdapat sebuah fraksi yang disebut " Perserikatan Daulatul Ummah" (PDU).

Fraksi ini terdiri dari berbagai partai kecil yang berhaluan Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ummat, Partai Kebangkitan Ummat, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Daulat Rakyat, dan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi.

[121] Atas desakan dari FPI, Hizbut Tahrir, dan Majelis Mujahidin Indonesia, Fraksi PDU menuntut agar tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam ayat kedua Pasal 29 UUD 1945, sementara yang ingin diamendemen PBB dan PPP adalah ayat pertama. [122] Kemudian, saat MPR menggelar sidang terakhirnya untuk mengamendemen konstitusi pada tahun 2002, PBB dan PDU secara resmi meminta agar tujuh kata dimasukkan ke dalam Pasal 29.

[114] Penolakan Piagam Jakarta [ sunting - sunting sumber ] Lambang Muhammadiyah. Penolakan Muhammadiyah terhadap usulan untuk memasukkan tujuh kata ke dalam Pasal 29 UUD 1945 telah mengecewakan Laskar Jihad di Kota Surakarta Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menentang dimasukannya Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945. [123] Organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga menolak usulan PBB dan PDU tahun 2002 terkait amendemen Pasal 29. [124] Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan pada September 2001 bahwa penerapan kembali Piagam Jakarta hanya akan membebankan negara yang baru saja terancam bubar.

[125] Beberapa cendekiawan Muslim lainnya, seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Masdar F. Mas'udi, dan Ulil Abshar Abdalla, juga menolak usulan tersebut. [126] Penolakan dari Muhammadiyah sendiri sangat mengecewakan Laskar Jihad di Kota Surakarta, Jawa Tengah. [127] Piagam Madinah: usulan alternatif dari Fraksi Reformasi [ sunting - sunting sumber ] Sehubungan dengan amendemen Pasal 29(1) UUD 1945, fraksi-fraksi berhaluan kebangsaan (seperti Fraksi PDIP, Partai Golongan Karya, Kesatuan Kebangsaan Indonesia, dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa) dan Fraksi Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia (TNI/POLRI) ingin mempertahankan pasal tersebut sebagaimana adanya, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.".

[128] Sementara itu, Fraksi PPP, PBB, dan PDU menginginkan agar tujuh kata dimasukkan ke dalam tersebut sehingga menjadi berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". [128] Di sisi lain, dua partai berhaluan Islam yang tergabung dalam "Fraksi Reformasi", yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan (PK, kini disebut Partai Keadilan Sejahtera), mengajukan alternatif yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya".

[129] Usulan ini mendapatkan dukungan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). [130] Usulan Fraksi Reformasi diberi julukan " Piagam Madinah" karena dianggap mencerminkan piagam dengan nama yang sama yang disusun oleh Nabi Muhammad untuk mengatur hubungan antaragama.

[129] Pakar hukum tata negara Indonesia Arskal Salim berkomentar bahwa Piagam Madinah akan menciptakan sistem yang sangat mirip dengan sistem millet (sistem yang mengizinkan masing-masing umat agama untuk menjalankan hukum mereka sendiri) di Kesultanan Utsmaniyah. [131] Fraksi PK menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan mengapa mereka mendukung Piagam Madinah alih-alih Piagam Jakarta. Pertama, Piagam Jakarta dirasa masih belum final, dan piagam tersebut bukan dianggap sebagai satu-satunya cara yang sah untuk menjalankan syariat Islam di Indonesia.

Kedua, naskah Piagam Jakarta diyakini hanya berlaku untuk Muslim, dan ini dianggap tidak sejalan dengan Islam yang berupa "rahmatan lil alamin" (rahmat bagi seluruh alam). Ketiga, bila dibandingkan dengan Piagam Jakarta, Piagam Madinah dinilai lebih sesuai dengan Islam, karena Piagam Madinah mengakui kebebasan hukum masing-masing agama, sementara Piagam Jakarta hanya memberi keistimewaan hukum bagi satu agama saja. [132] Sementara itu, Presiden PK pada saat itu Hidayat Nur Wahid berpendapat bahwa peran Piagam Jakarta sebagai kompromi antara dua golongan sudah selesai.

[130] Salah satu tokoh PK, Mutammimul Ula, juga menjelaskan bahwa partainya sebagai partai kecil ingin menghindari sentimen yang terkait dengan Piagam Jakarta. Menurutnya, Piagam Madinah juga menjalankan syariat Islam seperti halnya Piagam Jakarta.

Dengan usulan alternatif Piagam Madinah, partainya dapat mempertimbangkan situasi politik nasional saat itu yang tidak mendukung pemberlakuan Piagam Jakarta, sekaligus memenuhi aspirasi pemilih PK yang menginginkan penegakan syariat Islam melalui amendemen Pasal 29 UUD 1945.

[133] Kegagalan upaya mengembalikan Piagam Jakarta lewat amendemen [ sunting - sunting sumber ] Pada tahun 1999, Badan Pekerja MPR menugaskan persiapan materi pokok-pokok amendemen kepada Panitia Ad Hoc I, yaitu sebuah panitia yang terdiri dari 45 anggota dengan perwakilan proporsional dari semua fraksi di MPR. [112] Tiga alternatif rancangan untuk mengamendemen Pasal 29 (tidak ada perubahan, Piagam Jakarta, dan Piagam Madinah) dibahas oleh panitia ini pada Juni 2002. [134] Ketiga alternatif ini dirangkum oleh tabel berikut: [135] Fraksi Pendukung Rancangan Bunyi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Partai Demokrasi Kasih Bangsa, TNI/POLRI Alternatif Pertama (tidak ada perubahan) "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, Perserikatan Daulatul Ummah Alternatif Kedua (Piagam Jakarta) "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan, Partai Kebangkitan Bangsa Alternatif Ketiga (Piagam Madinah) "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya" Sumber: Salim 2008, hlm.

104 Mengingat ketiga alternatif ini tidak ada yang mendapatkan dukungan mayoritas, Yusuf Muhammad dari PKB mengusulkan sebuah kompromi pada 13 Juni. Ia menggagas agar dalam rumusan tujuh kata, istilah "kewajiban" diganti menjadi "kesungguhan", sehingga rancangan kalimatnya berbunyi "dengan kesungguhan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". [136] Kompromi ini juga gagal memperoleh dukungan mayoritas, sehingga ia mengusulkan agar ayat pertama Pasal 29 dibiarkan sebagaimana adanya, tetapi ayat kedua diamendemen menjadi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya".

[137] Setelah pembahasan panjang yang tak kunjung membuahkan hasil, ketiga alternatif ini diajukan ke Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2002 untuk melalui mekanisme pemungutan suara. Perwakilan dari Fraksi PDU dan PBB sekali lagi menegaskan pentingnya mengembalikan kesatuan Piagam Jakarta dan UUD 1945 dengan memasukkan tujuh kata ke dalam Pasal 29.

Hartono Marjono dari PDU bahkan mengklaim bahwa penentang usulan ini telah dipengaruhi oleh propaganda dan kampanye Zionis. [138] Walaupun begitu, usulan ini gagal mendapatkan dukungan mayoritas. [139] Usulan mengenai Piagam Madinah juga ditolak. [140] Fraksi PKB bahkan berubah haluan dan mendukung agar Pasal 29 dipertahankan sebagaimana adanya. [141] Walaupun kedua usulan partai-partai Islam gagal mendapatkan dukungan mayoritas, usulan-usulan ini masih didukung oleh banyak orang Muslim di Indonesia.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh surat kabar Kompas pada Agustus 2002, usulan Piagam Madinah didukung oleh 49,2% responden, sementara usulan Piagam Jakarta mendapat dukungan dari 8,2% responden. Jika keduanya digabung, 57,4% dapat dikatakan mendukung amendemen Pasal 29 UUD 1945, sementara hanya 38,2% yang ingin agar pasal tersebut dibiarkan seperti sebelumnya. [131] Lihat pula [ sunting - sunting sumber ] Wikisource memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini: • ^ Nama resmi badan ini sebenarnya adalah "Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan".

Nama ini tidak mencakup "Indonesia" karena badan ini pertama kali dibentuk oleh Angkatan Darat ke-16 Jepang yang hanya berwenang di Jawa, dan maklumat yang mengumumkan pendirian badan ini juga hanya menyebut wilayah Jawa. Angkatan Darat ke-25 yang berwenang di Sumatra baru mengizinkan pembentukan BPUPK untuk Sumatra pada 25 Juli 1945.

Di sisi lain, Angkatan Laut Jepang yang memiliki wewenang di Kalimantan dan Indonesia Timur tidak mengizinkan pembentukan badan persiapan kemerdekaan. Lihat Kusuma & Elson 2011, hlm. 196-197, catatan kaki 3 Catatan kaki [ sunting - sunting sumber ] • ^ Hosen 2007, hlm.

60. • ^ Benda 1958, hlm. 153. • ^ Formichi 2012, hlm. 75. • ^ Anshari 1976, hlm. 14. • ^ Elson 2009, hlm. 108-109 & catatan kaki 24. • ^ Kusuma & Elson 2011, hlm. 196-197, catatan kaki 3. • ^ Hosen 2007, hlm. 61. • ^ Anshari 1976, hlm. 37. {/INSERTKEYS}

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

• ^ Butt & Lindsey 2012, hlm. 227. • ^ Kusuma 2004, hlm. 80. • ^ Elson 2009, hlm. 111-112. • ^ Boland 1971, hlm. 22. • ^ Taniredja & Suyahmo 2020, hlm. 245. • ^ Elson 2009, hlm.

112. • ^ Fealy & Hooker 2006, hlm. 47. • ^ Madinier 2012, hlm. 76. • ^ Hosen 2007, hlm. 62. • ^ Boland 1971, hlm. 25. • ^ a b Schindehütte 2006, hlm. 229-230. • ^ Schindehütte 2006, hlm. 230. • ^ Jegalus 2009, hlm. 25. • ^ Elson 2009, hlm. 113.

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

• ^ a b Boland 1971, hlm. 27. • ^ Elson 2009, hlm. 112-113. • ^ Salim 2008, hlm. 64. • ^ Schindehütte 2006, hlm. 125. • ^ Elson 2009, hlm. 114. • ^ Elson 2009, hlm. 115. • ^ Boland 1971, hlm. 29. • ^ Anshari 1976, hlm. 28-29. • ^ Elson 2009, hlm. 115-116. • ^ Anshari 1976, hlm.

29. • ^ Anshari 1976, hlm. 56. • ^ a b c Elson 2009, hlm. 116. • ^ Kusuma 2004, hlm. 329. • ^ Salim 2008, hlm. 65-66. • ^ Elson 2009, hlm. 117. • ^ Madinier 2012, hlm. 77. • ^ Elson 2013, hlm. 379. • ^ a b Elson 2009, hlm. 119. • ^ Anshari 1976, hlm. 46. • ^ Salim 2008, hlm. 68. • ^ a b Elson 2009, hlm. 120. • ^ Boland 1971, hlm. 36. • ^ a b Elson 2009, hlm. 121. • ^ Jegalus 2009, hlm. 45. • ^ Anshari 1976, hlm.

42. • ^ Anshari 1976, hlm. 65. • ^ Elson 2009, hlm. 122. • ^ Anshari 1976, hlm. 64. • ^ a b Elson 2009, hlm. 127. • ^ Boland 1971, hlm. 106. • ^ Elson 2009, hlm. 126. • ^ Boland 1971, hlm. 90. • ^ Boland 1971, hlm.

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

82. • ^ Madinier 2012, hlm. 319. • ^ Elson 2013, hlm. 393. • ^ Madinier 2012, hlm.

pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan

79. • ^ Anshari 1976, hlm. 79. • ^ Anshari 1976, hlm. 79-80. • ^ Boland 1971, hlm. 92. • ^ a b Boland 1971, hlm. 93. • ^ Anshari 1976, hlm. 83. • ^ Anshari 1976, hlm. 84. • ^ Boland 1971, hlm. 94. • ^ Boland 1971, hlm. 95. • ^ Anshari 1976, hlm. 84-85. • ^ Anshari pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan, hlm.

86. • ^ Anshari 1976, hlm. 86-87. • ^ Boland 1971, hlm. 96. • ^ Elson 2013, hlm. 397-398. • ^ Anshari 1976, hlm. 88. • ^ Anshari 1976, hlm. 89. • ^ Anshari 1976, hlm. 89-90. • ^ Anshari 1976, hlm. 90-91. • ^ Boland 1971, hlm. 98. • ^ Jegalus 2009, hlm. 31. • ^ Salim 2008, hlm. 86. • ^ a b Mujiburrahman 2006, hlm.

130. • ^ Anshari 1976, hlm. 95. • ^ Anshari 1976, hlm. 26. • ^ Anshari 1976, hlm. 113. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 108. • ^ Boland 1971, hlm. 101. • ^ Anshari 1976, hlm. 107. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 107. • ^ Salim 2008, hlm. 146. • ^ Boland 1971, hlm.

160-161. • ^ a b c Mujiburrahman 2006, hlm. 109. • ^ a b Mujiburrahman 2006, hlm. 110. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 112. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 111. • ^ Mujiburrahman pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan, hlm. 113. • ^ Abdillah 1997, hlm. 50. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 114. • ^ Jegalus 2009, hlm. 66. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 115. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 117. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 160.

• ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 161. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 163. • ^ Butt & Lindsey 2012, hlm. 230. • ^ Salim 2008, hlm. 49. • ^ a b Abdillah 1997, hlm. 33. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 195. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 196. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 199. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm.

198. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 200. • ^ Mujiburrahman 2006, hlm. 202. • ^ Jegalus 2009, hlm. 62, 68. • ^ a b Elson 2013, hlm. 404. • ^ a b Salim 2008, hlm. 95. • ^ a b Butt & Lindsey 2012, hlm. 232. • ^ Jegalus 2009, hlm.

196. • ^ Elson 2013, hlm. 411. • ^ Hosen 2005, hlm. 425. • ^ Fealy & Hooker 2006, hlm. 234. • ^ Fealy & Hooker 2006, hlm. 235. • ^ Fealy & Hooker 2006, hlm. 236. • ^ Salim 2008, hlm. 97. • ^ Salim 2008, hlm. 98. • ^ Salim 2008, hlm. 89. • ^ Salim 2008, hlm. 93. • ^ Hosen 2007, hlm. 93-94. • ^ Jahroni 2008, hlm.

69. • ^ Hosen 2005, hlm. 426. • ^ a b Salim 2008, hlm. 90, 104. • ^ a b Salim 2008, hlm. 99-100. • ^ a b Salim 2008, hlm. 101. • ^ a b Salim 2008, hlm. 174. • ^ Salim 2008, hlm. 100. • ^ Hosen 2005, hlm. 432. • ^ Salim 2008, hlm. 103, 108. • ^ Salim 2008, hlm. 104. • ^ Salim 2008, hlm.

102. • ^ Salim 2008, hlm. 103. • ^ Elson 2013, hlm. 418-419. • ^ Elson 2013, hlm. 418. • ^ Salim 2008, hlm. 106.

• ^ Salim 2008, hlm. 101-102. Daftar pustaka [ sunting - sunting sumber ] • Abdillah, Masykuri (1997), Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy (1966–1993), Hamburg: Abera • Anshari, Saifuddin (1976), The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentleman’s Agreement between the Islamic and the Secular Nationalists in Modern Indonesia (Disertasi), Montreal: McGill University • Benda, Harry (1958), The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942–1945, Den Haag dan Bandung: W.

Van Hoeve • Boland, B.J. (1971), The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Den Haag: Martinus Nijhoff • Butt, Simon; Lindsey, Tim (2012), The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis, Oxford: Hart Publishing • Elson, R.E. (2009), "Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945", Indonesia, 88: 105–130 Parameter -month= yang tidak diketahui akan diabaikan ( bantuan) • Elson, R.E. (2013), "Two Failed Attempts to Islamize the Indonesian Constitution", Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 28 (3): 379–437 • Fealy, Greg; Hooker, Virginia (2006), Voices of Islam in Southeast Asia.

A Contemporary Sourcebook, Singapura: ISEAS • Formichi, Chiara (2012), Islam and the Making of the Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in 20th Century Indonesia, Leiden: KITLV Press • Hosen, Nadirsyah (2005), "Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate", Journal of Southeast Asian Studies, 36 (3): 419–440 • Hosen, Nadirsyah (2007), Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia, Singapura: ISEAS • Jahroni, Jajang (2008), Defending the Majesty of Islam: Indonesia’s Front Pembela Islam 1998–2003, Chiang Mai: Silkworm Books • Jegalus, Norbertus (2009), Das Verhältnis von Politik, Religion und Zivilreligion untersucht am Beispiel der Pancasila, München: Herbert Utz Verlag • Kusuma, A.B.

(2004), Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia • Kusuma, A.B.; Elson, R.E. (2011), "A Note on the Sources for the 1945 Constitutional Debates in Indonesia" (PDF), Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde, 167 (2–3): 196–209 • Madinier, Rémy (2012), L’Indonesie, entre démocratie musulmane et Islam intégral: histoire du parti Masjumi (1945–1960), Paris: Karthala • Mujiburrahman (2006), Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order, Leiden/Amsterdam: Amsterdam University Press • Salim, Arskal (2008), Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, Honolulu: University of Hawaii Press • Schindehütte, Matti (2006), Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft – Religion als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens, Hamburg: Abera Verlag • Taniredja, Tukiran; Suyahmo (2020), Pancasila Dasar Negara Paripurna, Jakarta: Kencana Bacaan lanjut [ sunting - sunting sumber ] • Anshari, Endang Saifuddin (1997), Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945–1959) (edisi ke-3), Jakarta: Gema Insani Press • Anshari, Saifuddin (1979), The Jakarta Charter 1945: The Struggle for an Islamic Constitution in Indonesia, Kuala Lumpur: ABIM • Hilmy, Masdar (2010), Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism, Singapura: ISEAS • Indrayana, Denny (2008), Indonesian Constitutional Reform, 1999-2002: An Evaluation of Constitution-making in Transition, Jakarta: Penerbit Buku Kompas • Kim, Hyung-Jun (1998), "The Changing Interpretation of Religious Freedom in Indonesia", Journal of Southeast Asian Studies, 29 (2): 357–373 Parameter -month= yang tidak diketahui akan diabaikan ( bantuan) • Halaman ini terakhir diubah pada 30 April 2022, pukul 01.16.

• Teks tersedia di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

• Kebijakan privasi • Tentang Wikipedia • Penyangkalan • Pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan seluler • Pengembang • Statistik • Pernyataan kuki • •Jakarta - Ada berbagai persiapan dilakukan para pejuang sebelum mengumumkan hari kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, salah satunya membentuk panitia sembilan.

Panitia tersebut dibentuk pada sidang kedua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), yakni 10-16 Juli 1945. Latar belakang pembentukan panitia sembilan karena rumusan dasar negara Indonesia oleh BPUPKI belum juga terbentuk. Maka dari itu, BPUPKI istirahat selama sebulan penuh dan digantikan sementara oleh panitia sembilan. Sesuai dengan namanya, tim ini terdiri dari sembilan orang. Adapun, panitia sembilan diketuai oleh Ir Soekarno dan didampingi oleh wakilnya Drs Mohammad Hatta.

Kemudian, anggotanya adalah -K.H.A Wahid Hasyim -Abdulkahar Muzakir -Drs Moh Yamin -H Agus Salim -Ahmad Subarjo -Abikusno Cokrosuyoso -A.A Maramis 2. Tujuan Panitia Sembilan Panitia sembilan adalah tim kecil yang dibentuk BPUPKI guna mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Dengan adanya tim ini, diharapkan Indonesia bisa meraih kemerdekaan sesegera mungkin. Baca juga: 4 Pilar Negara Kebangsaan Indonesia, Ini Pengertian Lengkapnya 3. Tugas Panitia Sembilan Panitia sembilan bertugas untuk menampung berbagai aspirasi tentang pembentukan dasar negara Indonesia. Selain itu, tim ini juga mengemban tugas untuk membahas serta merumuskan dasar negara Indonesia.

Dari tugas tersebut, pada tanggal 22 Juni 1946 panitia sembilan berhasil melahirkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Piagam tersebut berisi rumusan lima dasar negara Indonesia, yakni -Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya -Kemanusiaan yang adil dan beradab -Persatuan Indonesia -Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan -Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Akhirnya, Rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara 1945 berhasil disusun dan diambil dari Piagam Jakarta hasil Panitia Sembilan dengan beberapa perbaikan.

(pay/erd)
Anggota panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta yaitu Ir Soekarno, Moh. Hatta, KH. Wachid Hasyim, Mr. Achmad Soebardjo, Mr Muhammad Yamin, Abdul Kahar Mudzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. A.A Maramis, dan H. Agus Salim. Piagam ini dirumuskan oleh kesembilan tokoh tersebut pada tanggal 22 Juni 1945. Kemudian daripada itu untuk membnetuk suatu pemerintah negara indonesia merdeka yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umumn, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara republic Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia .
Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara a) Masa Persidangan Pertama BPUPKI (29 Mei 1945-1 Juni 1945) Pada tanggal 1 Maret 1945 dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu zyunbi Tyoosakai, yang beranggotakan 62 orang, terdiri dari Ketua/Kaicoo adalah Dr.

K.R.T Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Muda/ Fuku Kaicoo Ichibangase (orang jepang) dan seorang ketua muda dari bangsa Indonesia R.P. Soeroso. Sidang pertama diawali pembahasan mengenai bentuk negara Indonesia, yang akhirnya disepakati berbentuk “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI). Setelah terjadi kesepakatan tentang bentuk negara, selanjutnya adalah merumuskan konstitusi Negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut maka agenda selanjutnya adalah mendengarkan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan didirikan, oleh beberapa anggota BPUPKI sebagai berikut : • Sidang 29 Mei 1945, Mr.

Prof. Mohammad Yamin berpidato mengemukakan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia yang diberi judul “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, yaitu : “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3.

Peri ke-Tuhanan;4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”. Setelah menyampaikan pidatonya, Mr. Mohammad Yamin menyampaikan usul tertulis naskah rancangan dasar negara yang hampir mirip dengan versi popular saat ini yaitu : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kebangsaan Persatuan Indonesia 3.

Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia • Sidang tanggal 31 Mei 1945, Mr. Soepomo menguraikan teori- teori negara dan selanjutnya dalam kaitannya dengan filsafat negara Indonesia, Mr.

Soepomo mengusulkan hal-hal sebagai berikut : 1) Negara tidak menyatukan diri dengan golongan terbesar, terkuat, tapi mengatasi semua golongan besar atau kecil. Dalam negara yang bersatu seperti itu maka urusan agama diserahkan pada golongan – golongan pemeluk agama yang bersangkutan.

2) Hendaknya para warga negara beriman takluk kepada Tuhan. Setiap waktu selalu ingat pada Tuhan. 3) Negara Indonesia hendaknya berdasarkan kerakyatan, dalam susunan pemerintahan negara Indonesia harus dibentuk sistem badan permusyawaratan.

Kepala Negara akan terus berhubungan erat dengan Badan Permusyawaratan, dengan begitu kepala negara senantiasa tahu dan merasakan rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Kepala negara terus menerus bersatu jiwa dengan rakyat. 4) Dalam penyelenggaraan bidang ekonomi hendaknya ekonomi negara bersifat kekeluargaan.

Kekeluargaan merupakan sifat masyarakat timur yang harus dijunjung tinggi. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dijadikan dasar ekonomi negara Indonesia yang makmur, bersatu, berdaulat, adil. 5) Negara Indonesia hendaknya melakukan hubungan antar negara, antar bangsa. Soepomo mengajarkan supaya negara Indonesia bersifat Asia Timur Raya, sebab Indonesia menjadi bagian kekeluargaan Asia Timur Raya Dalam pidatonya, Mr.

Soepomo mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dinamakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", memberikan penekanan pada karakteristik negara persatuan, kebersamaan atau populer sebagai pada tanggal 22 juni 1945 panitia sembilan juga telah berhasil merumuskan konsep rancangan integralistik.

Secara garis besar dalam sidang ini Mr. Soepomo menyampaikan rumusan Pancasila yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Keseimbangan Lahir dan Batin; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Rakyat”. • Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yaitu :”1. Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme); 2.

Peri Kemanusiaan (Internasionalisme); 3. Mufakat (Demokrasi); 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan yang Berkebudayaan”. Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI yang pertama, sebelum BPUPKI mengalami masa reses selama satu bulan lebih.

Sebelum dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggotakan 8 orang, yang bertugas untuk mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.

b) Lahirnya Piagam Jakarta Selama masa reses (2 Juni – 9 Juli 1945), panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usulan tentang rumusan rancangan dasar negara yang sudah selesai. Akan tetapi, terdapat dua golongan yang berbeda pandangan dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yaitu golongan Islam dan golongan Kebangsaan.

Satu golongan menghendaki agar Islam menjadi dasar negara, sementara itu golongan yang lain menghendaki paham kebangsaan sebagai inti dasar negara. Akibat perbedaan pandangan ini, maka sidang Panitia Kecil bersama anggota BPUPKI yang seluruhnya berjumlah 38 orang menjadi macet.

Karena sidang macet, Panitia Kecil ini kemudian menunjuk sembilan orang yang selanjutnya dikenal dengan Panitia Sembilan yang bertugas menampung berbagai aspirasi tentang pembentukan dasar negara. Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil merumuskan dasar negara yang diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter oleh Mr. Mohammad Yamin yang merupakan persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan yang dilaporkan dalam sidang BPUPKI kedua tanggal 10 Juli 1945.

Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan). Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri Bangsa". Piagam Jakarta berisi: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia c) Masa Persidangan Kedua BPUPKI (10-16 Juli 1945) Sidang kedua BPUPKI diawali dengan di baginya anggota BPUPKI dalam panitia-panitia kecil, yang membahas tentang Perancang Undang-Undang Dasar, Pembelaan Tanah Air serta Ekonomi dan Keuangan. Pada tanggal 13 Juli 1945 Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar telah berhasil merumuskan rancangan Undang-Undang Dasar, yang kemudian hasilnya dilaporkan kepada Panitia Perancang Undang-Undang Dasar.

Selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum tiga masalah pokok yaitu : 1) Pernyataan tentang Indonesia Merdeka 2) Pembukaan Undang-Undang Dasar 3) Batang Tubuh Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan sebagai “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Sidang BPUPKI kedua ini pada tanggal 16 Juli 1945 menerima secara bulat seluruh Rancangan Hukum Dasar, yang sudah selesai dirumuskan sebagai Rancangan Hukum Dasar Negara Indonesia yang akan didirikan, yang memuat di dalamnya Jakarta Charter sebagai Mukaddimahnya.

Tanggal 17 Juli 1945 BPUPKI telah menyelesaikan tugas yang telah diamanatkan dan kemudian dibentuk badan baru yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau “Dokuritsu Zyumbi Iinkai” sumber : modul belajar mandiri pppk ppknPembelajaran 3. Konsep Kajian Keilmuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945kemdikbud

Perumusan Dasar Negara (Sidang Panitia Sembilan)




2022 www.videocon.com