HINDUALUKTA -- Secara etimologi Asta Dasa Parwa berasal dari bahasa Sanskerta, dari kata Asta yang artinya delapan, Dasa yang artinya sepuluh dan Parwa artinya bagian dalam hal ini Kitab Suci Mahabharata. Jadi dengan demikian Asta Dasa Parwa dapat diartikan sebagai delapan belas pembagian Mahabharata.
Dari 18 (delapan belas) parwa (bagian) memiliki cerita yang berbeda-beda dikarenakan dari 18 parwa sebenarnya menceritakan tentang perang antara Pandawa dan Kurawa.
Delapan belas (18) parwa dalam kitab Mahabharata antara lain adalah Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa (Stripalapraparwa), Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedikaparwa, Asramawasikaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.
Dari ke 18 parwa tersebut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut: Dalam Kitab Suci Adiparwa isinya banyak bercerita hal-hal yang berkaitan Hindu, seperti misalnya cerita perputaran gunung Mandaragiri, cerita Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, masa kecil Pandawa dan Korawa, cerita tewasnya raksasa Hidimba di tangan Bhimasena, serta cerita Arjuna mendapatkan Dropadi.
Dalam Kitab Suci Sabhaparwa bercerita tentang pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun. Dalam Kitab Suci Wirataparwa bercerita tentang masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun.
Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias. Dalam Kitab Suci Udyogaparwa bercerita tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha).
Kresna yang wirata parwa sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok. Dalam Kitab Suci Bhismaparwa bercerita tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung.
Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi Dalam Wirata parwa Suci Dronaparwa bercerita tentang pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa.
Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca. Dalam Kitab Suci Karnaparwa bercerita tentang pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain.
Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka.
Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17. Dalam Kitab Suci Salyaparwa bercerita tentang pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18.
Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa.
Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai wirata parwa. Dalam Kitab Suci Sauptikaparwa bercerita tentang pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa.
Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa.
Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa. Dalam Kitab Suci Wirata parwa bercerita tentang ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran.
Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya. Dalam Kitab Suci Santiparwa bercerita tentang pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna.
Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja. Dalam Kitab Suci Aswamedhikaparwa bercerita tentang pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira.
Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Wirata parwa yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna. Dalam Kitab Suci Asramawasikaparwa bercerita tentang kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
Dalam Kitab Suci Mosalaparwa bercerita tentang kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong.
Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana. Dalam Kitab Suci Wirata parwa bercerita tentang Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia.
Ia menolak masuk surga jika wirata parwa meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma. Lakon Wiratha Parwa ini mengisahkan ketika Pandawa menghadapi masa penyamaran satu tahun setelah sebelumnya harus mengasingkan diri ke tengah hutan selama 12 tahun. Ini akibat Puntadewa yang sangat suka bermain dadu kalah dengan Duryudana dalam adu dadu.
Saat itu menjelang sepuluh hari berakhirnya masa penyamaran. Pandawa menyamarkan diri di Negari Wiratha. Puntadewa, Kakak tertua Pandawa menyamar menjadi Lurah Pasar dengan nama Wija Kangko, Wrekudara menyamar menjadi petugas penjagal hewan ternak dengan nama Jagal Abilowo.
Janaka menjadi waria yang mengajar karawitan dan tari di Keputrian Kerajaan Wiratha. Nakula menjadi penggembala dan pengurus Kuda, namanya Kinten. Sadewa jadi penggembala hewan ternak unggas menggunakan nama Pangsen.
Layar tengah sebagai kelir utama mementaskan sidang Kerajaan Astina Pura dipimpin Duryudono yang sedang marah – marah karena misi memusnahkan Pandawa tidak pernah berhasil. “Paman Sangkuni…!” “Dalem Angger Prabu” “Paman itu sudah tua, tapi tetap saja bodho…Nggak becus, buat paman sudah saya sediakan semua fasilitas yang paman minta, uang saku, komisi, bonus meskipun belum kerja.
Apa lagi yang kurang???. Tunjangan tiap proyek juga tidak pernah telat ! Tapi mengapa proyeknya tidak pernah close ?!!! Selalu over time, over budget, bahkan never ending story !!. Proyek pertama, katanya akan meracuni Pandawa, bukan teler yang didapat Pandawa tetapi mereka malah kuat! Proyek ke dua, Pandawa dan Drupadi dibakar wirata parwa – hidup dalam edisi Balai Sigolo – golo.
Fail!!!! Bukan pandawa yang mati terbakar hidup – hidup, malah lima kere yang nggak berguna tewas. Tapi dengan bangganya sampeyan laporan proyek berhasil dengan wirata parwa dan seksama.
Karena sesuai estimasi dan selesai lebih cepat dari rencana, sampeyan minta tambahan bonus. Saya Kasih….Tapi, apa kenyataannya… Pandawa masih hidup dan sehat wal afiat. Paman minta satu kesempatan lagi untuk mengajukan proyek berikutnya, sebenarnya saya males.
Tapi karena tidak ada yang lebih dari sampeyan, paling tidak lebih licik dan cerdik, maka saya ikuti proposal dan bugdet sampeyan. Saya langsung paraf dan tanda tangan.
RKS/TOR dan HPS Proyek penjerumusan Pandawa di Hutan Amarta saya setujui …!!! Di Proposal sampeyan, dengan meyakinkannya Pandawa pasti akan tewas karena hutan itu terkenal wingit, gung liwang – liwung, banyak demit dan memedi yang siap memusnahkan jalma manusia.
Hutan itu wirata parwa dengan keangkerannya, siapapun yang ke sana, pasti hanya tinggal nama !!! Gila…gila. Proyek fail, gagal total. Budget habis, hasil nol besar. Padahal aku tahu, banyak unsur yang Paman Mark Up…Uang SPPD tidak sesuai aturan, kuitansi kosong, tiket palsu….Oakay. saya tutup mata. Karena memang tidak ada yang lebih dari Paman. Semua prajurit dan punggawa juga sesepuhku bodho semua.
Paman juga bodho, tapi kelebihan wirata parwa karena sampeyan licik dan culas saja. Yang saya dapat, pandawa lecet sedikitpun tidak. Malah dapat kerajaan Jin Amarta dan kekuatannya berlipat – lipat karena masing – masing pandawa dapat tambahan kekuatan dan kesaktian satu jin.” ”Mohon maaf angger, saya tidak akan mengulangi lagi…” ”Mblegedhesssss…………….Hanya maaf dan sorry yang bisa paman sampaikan, katakan.
Tidak adakah kata – kata yang lebih bernas !!!” Sangkuni diam seribu basa! ”Bapa Drona !!!” Duryudona mengalihkan sasaran wirata parwa Begawan Drona ”Sendika Anak Prabu…” ”Saya tahu….Sebenarnya Bapa Drona lebih sayang dan cinta kepada adik – adik pandawa daripada kepada Kurawa.
Badan dan raga paman di Astina, tetapi hati dan pikiran Paman di Amarta…, saya tahu itu. Katanya Bapa itu guru sebala guru…” Ok…sebentar…, training Bea Dulu…:) Duryudona masih dalam kemarahannya, giliran ke Pandita Druna… ”Bapak Guru, katanya sampeyan adalah Guru segala Guru…Tapi mengapa hanya mengeliminasi Arjuna saja, sampeyan tidak mampu.
Malah dia lolos terus melewata babak audisi, babak semi final, babak final dan akhirnya menjadi juara memanah antar Jawa Dwipa…Ada apa ini….????, saya sangat curiga Bapak Guru ada main dengan mereka para Pandawa. Bapak Guru…., setahu saya dan atas laporan para punggawa, semua kebutuhan Bapak Guru sudah kami penuhi. Tunjangan mengajar sudah kami lebihkan.
Biarpun Bapak Wirata parwa jarang mengajar karena kebanyakan proyek di luar, saya kasih dispensasi. Gaji tetap penuh, tunjangan tidak dipotong. Proyek wirata parwa selalu sukses, tapi giliran proyek untuk kepentingan kerajaan ….MEMBLE….Perlu contoh proyek kerajaan yang Bapak handle tapi gagal ???, wah buanyak Bapak.
Saya sebutin satu saja. Bapak pasti ingat proyek ’PEKERJAAN PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN ELIMINIASI BRATA SENA’ beberapa tahun yang lalu ??. Bapak, berapa budget yang bapak habiskan dengan janji Bratasena akan tewas di Gunung [waduh lupa namanya apa ]? Bapak bilang Bapak bisa menjerumuskan Bratasena dengan menyuruhnya mencari Kayu Susuhing Angin di Gunung itu?
Apa yang terjadi kemudian ? Bratasena tidak mati, malah pulang mendapat kesaktian berupa cincin yang bisa membuatnya mengarungi samudra !!!!! Ada proyek lain, penghilangan Bratasena di Samudra, gagal juga. Malah bratasena tambah kuat karena mendapat kesaktian dari Bethara Ananta Boga. Dapat istri cantik lagi, anaknya ananta Boga itu…Wah kurang ajarr !!!!.
Sekarang Bapak mau bilang apa ? Masih ingin kompensasi lagi, kenaikan tunjangan mengajar, dispensasi proyek pribadi ??” Pandita Druno adala professor di Astina. Dia adalah guru Pandawa dan Kurawa. Sebagai professor, selain pintar dia juga bijaksana, wise. Dia tahu, percuma menanggapi orang marah dan agak sedeng seperti Duryudono saat ini. Hanya kerena hutang budi yang tidak seberapa saja, dia mau bertahan di Kampus Sukolimo yang masuk area Astina.
Maka dengan kesabarannya, Pandita Drona hanya bilang “Mohon maaf dan mudah – mudahan masih bersarabar Anak Prabu…”. “Maaf dan sabar lagi, kapan saya dapat hasil yang saya inginkan……?”. Giliran Adipati Awangga Basukarno kena semprot. “Kakang Karno…., Saya sangat membanggakan Kakang sebagai senopati unggul di Astina.
Saya sangat percaya dengan kesaktian dan kemampuan Kakang dalam berperang. Tapi Kakang sama saja dengan yang lain, dalam hati lebih sayang pada Arjuna daripada kepada kami para Kurawa. Itulah kenapa hanya untuk seorang Arjuna saja Kakang tidak bisa mengatasi. Atau lebih tepatnya pura – pura tidak bisa mengatasinya.
Kalian semua hanya bisa ngomong kosong….!”. “Oakay Guys….!” Duryudono keluar gaya premannya, dan melanjutkan kemarahannya. “Sekarang tinggal sepuluh hari lagi Pandawa akan sukses dalam penyamarannya.
Dan kita harus mengembalikan Amarta dan separo Astina. Saya sudah kasih waktu satu tahun untuk menemukan Pandawa. Tapi hasilnya nihil. Jadi kerjaan intelejen kita itu ngapain saja ?? Budget dan Anggaran selama setahun ini, larinya kemana ????. Jangankan bagaimana Pandawa, indikasi lokasi Pandawa saja kita tidak tahu!!!. Apa yang saya harapkan lagi dari kalian…Sudah kalian istirahat yang tenang, tidur yang nyenyak, makan yang enak….Saya akan tangani sendiri Pandawa…!!!!…Minggirrrrrrrrrr”. Druyudono menghunus pedang, menerjang rapat agung.
Belum sampai keluar balairung, datang Resi dari Talkanda, Resi Bisma yang sebenarnya eyang Para Kurawa dan Pandawa. Resi Bisma mencoba menenangkan Duryudono. ”Ngger, cucuku yang paling gagah, nggantheng dan perkasa. Yang sabar nak, jangan seperti anak kecil begitu to ah. Kamu itu khan raja besar dengan kekuasaan luas, jajahan banyak, pendudukmu banyak, kekayaan alam melimpah. Ah tapi mbok ya jangan gampang marah begitu to. Yang sabarrr. Terus kamu bawa – bawa pedang terhunus wirata parwa itu, ya malu lah…Nanti apa kata orang, kemana saja punggawa dan prajuritmu yang berlimpah dan sakti – sakti itu, kok Wirata parwa turun gelanggang sendiri ???.
Sarungkan dulu pedangmu itu, duduk yang tenang kita bicarakan dengan kepala dingin apa permasalahan dan bagaimana cara mengatasinya”. Resi Bisma adalah Begawan syarat pengalaman, kesaktian, kebijaksanaan, dan kepandaiannya tiada banding. ”Cucuku Prabu, apa permasalahan yang kamu hadapi Ngger??” ”Eyang Bisma, sebenarnya simple saja.
Para punggawa kerajaan bodho semua. Atau mungkin tidak ada niat untuk bekerja secara serius dan professional. Kakek Bisma tahu, sekarang ini sepuluh hari lagi Pandawa selesai masa satu tahun penyamarannya. Dan kalau penyamaran itu sukses tanpa di ketahui oleh Kurawa, maka saya harus mengembalikan Amarta dan separo Kurawa !!!.
Wah saya tidak mau itu terjadi, karena para punggawa tidak tahu di mana Pandawa berada, saya akan mencari sendiri.” ”Kemana kamu mencari ? Apa kamu tahu kira – wirata parwa ada di mana adik – adikmu Pandawa ???” ”Tidak…!!!” ”He he.he…, la terus kamu mau ke mana ???.
Cucu Prabu, kalau masalahnya simple seharusnya solusinya tidak rumit juga. Adik – adikmu Pandawa sudah memenuhi komitmen awal yang kalian sepakati wirata parwa karena mereka kalah main dadu maka mereka sanggup menjalani konsekuensi akibat kekalahannya itu.
Mereka tidak pernah mempermasalahkan bahwa permainan dadu itu sendiri pantas digugat karena Kurawa sebenarnya bertindak curang. Iya apa tidak ???…… Sangkuni telah membuat siasat untuk mencurangi Puntadewa sehingga Puntadewa kalah.
Cucu Prabu……., Pandawa telah memenuhi janjinya, maka kamu sebaiknya juga harus bersikap legawa dan menerima kenyataan Amarta harus kamu kembalikan. Apalagi Amarta sejatinya adalah tanah dan kerajaan empunya Pandawa.
Mereka dengan susah payah dan menerjang segala risiko, memeras keringat, menahan lapar dan haus, menjalani perang tanding yang tidak ringan guna membabat hutan Amarta menjadi Kerajaan Amarta. Kemudian mereka membangunnya sehingga kegemilangannya mengalahkan Astina yang ratusan tahun lebih dulu didirikan dan dibangun…………. Astina Pura, kalau dirunut – runut, sebenarnya kamu wajib mengembalikannya bukan hanya separo kepada Pandawa tetapi seutuhnya.
Karena memang kerajaan ini hak mereka…., kamu tahu itu. Orang tuamu hanya menerima titipan saja dari Pandu, karena Pandawa masih belum akhil balik, Bapakmu yang wirata parwa Pejabat Kerajaan. Dulu janjinya, kalau Pandawa sudah akhil balik kerajaan wirata parwa dikembalikan kepada mereka. Tapi apa yang terjadi wirata parwa
Karena pengaruh adik iparnya ya Sangkuni itu, Bapakmu tidak mengembalikan kerajaan kepada Pandawa tetapi malah mengangkat kamu menjadi Raja dan Kurawa berkuasa atas tanah dan kerajaan titipan pamanmu itu. Karena itu Ngger…., menerima dan legawa lah untuk mengembalikan hak Pandawa yang memang bukan milik kalian Para Kurawa. Dengan demikian permasalahan akan selesai, dan saya jamin kalian akan mendapatkan perlakuan yang baik dari Pandawa. Toh mereka hanya meminta separo kerajaan.
Separo kerajaan lagi tetap dapat kalian miliki dengan tenang serta berketetapan hukum yang sah. Separo kerajaan Astina bukan main main, meskipun separo masih terbilang sangat luas.
Masih ribuan pulau dengan luas samudra yang tidak terkira. Barang tambang padat maupun cair, kalian tinggal mengeruk. Tidak akan habis ratusan tahun ke depan…Apa lagi yang kalian harapkan, cucuku ……….????” “Wahhhhh, Kakek ….!!! Sampeyan tidak perlu memberikan kuliah umum buat saya. Percuma, jangankan Kakek yang hanya Resi, Kepala Negara tetangga kita menguliahi kami para kurawa pun, kami tidur.
Kakek…!!!!!! konon khabar yang terdengar di luaran Kakek punya kesaktian linuwih. Mengerti sebelum terjadi, tajam penglihatannya, peka pendengarannya, sekarang saya mau tanya, Apakah kakek tahu di mana Pandawa saat ini berada ??? Saya hanya butuh jawaban itu, tidak kuliah umum yang panjang lebar.” “Oalah Ngger – nger…, Baiklah tapi aku tidak tahu di mana Pandawa.
Kalaupun aku tahu di mana mereka berada, aku tidak akan mengatakannya kepadamu. Tapi Duryudono, Kakek tahu bagaimana tanda – tanda suatu tempat di mana kemungkinan para pandawa ada di situ” “Bagus….!!!!!
Kalau begitu ceritakan saja tanda – tandanya…Dengan begitu seharusnya pasukan intelejen Astina dengan pasti dapat mengetahui di mana para Pandawa berada” “Begini kira – kira tanda – tanda itu.
Kalau di suatu negeri, pemimpin dan penduduknya dekat dengan Allah, kalau pemimpin dan penduduknya rajin beribadah, bersikap jujur dan wirata parwa, dapat memegang amanat masing – masing, di situlah kemungkinan besar Pundatewa berada. Kalau di suatu negeri, para pemudanya rajin bekerja, para pemudanya terampil dan wirata parwa, tidak hanya mengandalkan relasi dan koneksi serta potensi orang tua atau mertuanya untuk mendapatkan proyek, cepat bangkit dan tidak mudah putus asa, di situlah kemungkinan besar Bratasena berada.
Lalu….jika di suatu negeri, kebudayaan, kesenian tumbuh subur dan diberi tempat yang layak oleh penguasa. Pencari dan pewarta berita dapat menunaikan tugasnya dengan tenang dan bertanggung jawab tanpa takut diberangus oleh penguasa, kira – kira di situlah Arjuna bertempat tinggal. Selanjutnya, jika wirata parwa, peternakan dan perikanan di suatu negeri berkembang dengan baik. Bahan pangan nabati maupun hewani tersedia berlimpah dengan harga terjangkau, bahan bakar tersedia mencukupi dengan harga yang wajar, maka dapat diduga kuat Nakula dan Sadewa ada di situ….” Belum sempat Resi Bisma menuntaskan pituturnya, tiba – tiba, menyeruak tamu yang tidak diundang ke tengah – tengah persidangan.
“Misi, misi, misi, saya mohon ijin untuk bertemu Sang Prabu Astina Pura. Perkenalkan nama saya [wah, saya harus inget2 lagi, lupa, sebut saja raja X] X, dari kerajaan Tri Hargo. Maksud kedatangan saya ke Astina untuk mengabdi dan mengajak bersekutu Raja Astina Pura”, begitu Si Raja ini menyerocos saja tanpa perlu ditanya – tanya dulu. wirata parwa sanak…Saya Raja Astina Prabu Duryudono!
Tolong jelaskan apa maksudmu mengabdi dan mengajak bersekutu. Untuk apa dan dalam hal proyek mana ???” “Waduh….Sinuwun, kebetulan saya langsung dapat berhadapan dengan Raja Astina.
Begini Prabu…., saya dengar dari dulu Kerajaan Astina itu kerajaan besar, wilayahnya luas, pulaunya banyak, lautannya subur dengan sumber daya perikanan wirata parwa barang tambang tak terkira. Hutannya luas terbentang, penduduk berkecukupan hidupnya tanpa pernah kurang pangan dan sandang. Sudah sejak lama saya terkagum – kagum dengan kewibawaan dan kebesaran Kerajaan Astina.
Sudah sejak lama saya ingin berkunjung, belajar dan magang bagaimana menjadikan kerajaan maju dan berkembang seperti Astina. Hanya saja…, mohon maaf Prabu, saat sekarang pamornya sudah agak memudar. Ibarat Matahari, sinarnya tidak terlalu terang lagi karena memasuki senja hari dan tertutup awan mendung.
Kebesaran dan kemegahan Astina Pura tertutup dan terhalang kerajaan lain yang sebenarnya tidak terlalu besar dari sisi luas wilayah. Mungkin hanya sekitar kurang dari seperempat wilayah Astina.
Saya dengar, dulu kerajaan ini belajar dari apa yang dilakukan oleh Astina. Sekarang….kenyataanya kerajaan ini jauh meninggalkan Astina. Bahkan saya dengar banyak seniman dan hasil kesenian Astina yang lebih berkembang di Kerajaan ini, Kerajaan ini pun dengan terang – terangan mengklaim bahwa beberapa hasil seni dan budaya Astina adalah milik dan hasil karyanya….” “Hei…hei….Sampeyan yang hati – hati kalau bicara. Kalau terbukti bicara sampeyan tanpa fakta saya bisa musnahkan sampeyan saat ini juga”.
Dursasana kebakaran jenggot merasa tersinggung wirata parwa dilecehkan seperti itu. Biasa, memang wataknya untuk pukul dulu urusan belakangan.
“Sabar Raden, saya berbicara seperti ini tidak bermaksud merendahkan Astina. Justru saya ke sini untuk mengabdi dan bersekutu guna mengembalikan pamor Kerajaan Astina dibanding kerajaan tetangga ini” “Kalau begitu, katakan Negara mana itu ? Dan bagaimana kamu membantu kami ?”, sergah Duryudono meredakan ketegangan antara tamu tak diundang ini dengan adik – adiknya yang mulai naik pitam. “Baik Sang Prabu… Negara ini tidak lain adalah Wiratha. Di luar beredar khabar Negara ini lebih makmur dan berjaya daripada Astina Pura.
Di pergaulan dunia, Wiratha disebut terdepan dari pada Astina…” “Lalu, bagaimana caranya mengembalikan pamor Astina menurutmu ???” “Solusi yang paling cepat adalah dengan menyerbu dan menghancurkan Wiratha. Ini sekaligus memperluas jajahan Astina Pura… ” “Hmm….menarik juga usulanmu itu. Tapi pamrih apa kamu dengan menyerbu Wiratha ??” “Ha…ha….saya tidak pamrih apapun Prabu. Saya tidak hendak memperluas wilayah Tri Hargo, saya sudah merasa cukup dengan wilayah kerajaan saya meski tidak punya pantai dan laut.
Saya hanya dendam dan sakit hati saja dengan Raja Wiratha. Tahun lalu, lamaranku terhadap putri satu – satunya Raja Wiratha ditolak. Saya merasa dipermalukan dan sakit hati sampai dengan saat ini. Oleh karena itu, saya ajak paduka bersama menyerang Wiratha, silakan ambil harta jarahan, wilayah jajahan, dan rampasan perang lainnya. Saya cukup memaksa putri kerajaan untuk menjadi istriku saja.
Bagaimana, menarik bukan ??
Deal ???” “Wahhh, iya sangat menarik itu. Tapi seyakin apa kita bisa mengalahkan Wiratha ? Apa kamu tahu mereka punya senopati kembar yang sulit ditandingi. Raden Rupa Kenca dan Kencaka Pura ???” “Ha.ha…., jangan khawatir Prabu…Kedua senopati andalan Wiratha itu suah mampus, meninggal, was death.
Konon kabarnya dibunuh oleh Gondoruwo, tapi Raja tidak percaya dia menuduh danyang kerajaan yang membunuh. Sekarang, danyang kerajaan itu sedang menunggu vonis hukuman mati…” “Ah masak…, yang bener, kedua satria itu begitu sakti, bagaimana bisa tewas semudah itu???” “Sang Prabu…, begini ceritanya…” Dalang di layar tengah menghentikan adegan ini, cerita flashback Raja X digambarkan di pantulan bayangan pada layar dengan bantuan proyektor.
Penonton melihat kelebatan bayang – bayang adegan cerita bagaimana meninggalnya kedua senopati kembar itu. Saya akan melanjutkan tulisannya lain kali…. Di layar utama dengan bantuan proyektor dan notebook dipentaskan oleh dalang yang berada di belakang layar menghadap penonton. Di lingkungan Kerajaan Wiratha… Wiratha merupakan kerajaan yang berbatasan dengan Astina, dipimpin oleh Prabu Mastwapati.
Sang Raja mempunyai tiga putra Seta, Utara, Wratsangka dan satu putri Dewi Utari. Sang Raja mempunyai dua adik ipar Kencaka Pura dan Rupa Kenca, keduanya pejabat teras (patih) di Kerajaan Wiratha. Ini cerita Raja Tri Hargo ”Begini cerita yang saya dengar dari telik sandi saya Prabu”, kata Raja Tri Hargo kepada Prabu Duryudono. Saat itu, Kencaka Pura menggoda Salindri (Salindri adalah nama samaran Drupadi, dia bekerja sebagai pelayan putri kerajaan Dewi Utari).
Kelakukuan Kencaka Pura yang akan wirata parwa Salindri ini tiba – tiba dipergoki seseorang atau sesuatu. Entah bagaimana ceritanya yang jelas Kencaka Pura mencoba melawan si penyerang. Tetapi Kencaka Pura tidak kuasa melawan. Akhirnya death, mati, tewas, binasa. Kencaka Pura terbunuh.
Adik Kencaka Pura, Rupa Kenca berikutnya yang terpesona dengan kecantikan rupa dan body Salindri. Kepincut…. ”Wa la dalah….ada cewek cantik sendirian di tengah taman. Gua gebet juga nih cewek.”, begitulah pikir Rupa Kenca(RP). Maka mulailah RP menggoda Salindri. ”Suit…suit….”, mula – mula dengan siulan kecil. “Ehm.ehm…, sang putri…boleh dunk kenalan ??” “Ki sanak…, ya boleh saja orang cuman kenalan kok nggak boleh to ya ??
Namaku Salindri, di Wiratha aku bukanlah seorang putri, hanya pelayan dan danyang di keputren saja kok.” “Oh begitu…., tapi cantik mu mengalahkan dewi Ratih di Kahyangan lo…”, RP mulai merayu… “Terimakasih raden…, saya permisi dulu…” ”Na.na.,sebentar to. Kok buru – buru amat, mbokya kita tuker – tukeran No HP dulu ntar tak SMS yo…?” ”Waduh…ndak usah Raden, saya ini hanya pelayan keputren kok.
Ya ndak punya HP to, buat apa…” ”Oh…Hari ini, gak punya HP ???? Tapi biarlah gpp, kita kenalan aja. Ntar tak beliin HP. Aku ini punggawa Kerajaan Wiratha, Pejabat Teras. Patih…Jadi, tahu sendiri lah. Proyekku banyak, aku punya anggaran sendiri yang bisa aku kelola. Jangankan cuman HP, tinggal batuk aja, ibaratnya Vendor – vendor akan kasih apa yang aku sebut. Ya.ya., kita kenalan yuukk? Atau gini deh, kalau kamu nggak mau kenalan, ya uwis kita sir – siran aja, pacaran kata anak jaman sekarang.
Okay ya ?” ”Walah…Raden ini lo, ndak usah ya Raden. Saya ini sudah ada yang punya, saya sudah bersuami…” “Ahhh…suami khan bisa diatur nanti…, Wirata parwa to suamimu ??? Kira – Kira pangkatnya apa ? Dan siapa lebih ganteng, aku apa suamimu ???. Ya sudah, kalau pacaran nggak mau, kita kawin saja. Gimana ??”, Sambil mengedipkan mata RP mulai kurang ajar “Wah.jangan Raden, saya tidak bisa wirata parwa itu tidak mungkin terjadi” “Sekali lagi…aku ini pejabat lo, aku bisa maksa siapapun unuk menuruti kemauanku, termasuk kamu yang hanya batur, pelayan, abdi keputren” “Jangan Raden…” “Mau apa tidak ??” “Tidak bisa Raden…” “We lah, kamu minta tak rudapaksa ya…?
Baiklah kalau begitu, cara halus nggak bisa. Aku pakek cara kasar….!!!” RP mulai memaksa Salindri dengan cara kasar. Tapi tiba – tiba ketika RP sudah mulai memaksa Salindri dan ketika baru memegang tangan Salindri, RP mulai menjerit – jerit kesakitan. Kemudian mati dengan luka sobek di leher dan mata melotot. Tidak ketahuan siapa yang membunuh ”Begitulah Prabu, kedua senopati andalan Wiratha sudah tewas”, Raja Tri Hargo menutup ceritanya.
”Jadi sekarang adalah saat yang pas untuk menyerang Wiratha guna memperluas jajahan Astina. Saya tidak minta apa – apa sebagai imbalan. Silakan kerajaan dan semua harta rampasan menjadi milik Paduka dan Kerajaan Astina. Oakay ??. Saya hanya pingin Dewi Utari. Saya juga dendam kepada Raja Wiratha, mengapa lamaranku ditolak” ”Hemmm, tawaran yang menarik.”, Jawab Prabu Duryudono yang memang silau dengan harta dan kekuasaan.
”Aku setuju dengan ajakan dan tawaranmu, sekarang siapkan pasukanmu. Prajurit Astina akan menyerang Wiratha dari perbatasan utara, silakan Pasukan Tri Harga menyerbu dari perbatasan selatan…” ”Ha.ha…ha…, kham begitu Prabu.
Baik, sendika dhawuh… saya dan pasukan Trihargo berangkat sekarang…”. Raja Tri Hargo lengser dari pisowanan. ”Cucu Prabu…” Resi Bisma mencoba menyela pembicaraan. ”Ya Kakek Prabu, ada usulan apa lagi ? Sudah ada TOR nya apa belum ???” ”Hemmm…kamu itu lo, pejabat tertinggi kerajaan kok ya orientasinya proyek terus.!. Cucu Prabu, baiknya kamu pikir sekali lagi mengenai penyerangan ke Wiratha ini. Tidakkah ini akan menambah musuh baru, padahal Raja Wiratha itu terhitung kerabat dekat.
Astina. Lagi pula, kok kamu meladeni omongan Raja Tri Hargo yang baru kamu kenal. Hanya dengan janji – janji manis saja kamu terhanyut. Kamu tidak dibius apa dihipnotis to??? Tidakkah kamu mikir, sebenarny itu tadi Raja penakut, Raja licik, sekaligus culas.
Wong lamarannya ditolak kok mencak – mencak. Kalau dia jantan dan berani ya akan dihadepi sendiri to Raja Wiratha itu.
Itu tadi nyari temen, sebab dia tidak bisa ngerjain sendiri, itu tadi cuman makelar.Kok kamu ikuti….Raja itu tadi takut darah, takut repot, makanya nyari teman. Makanya cucu, kamu sebaiknya….
” ”Sudah – sudah…Kakek diam saja, aku tidak memerlukan nasihat dan petuahmu. Proyek ini akan aku kerjakan sendiri, kalau kakek mau ya ikut, kalau tidak yak wirata parwa nggak usah ngrecoki” ”We lah….ya sudah, tidak ada gunanya aku di sini. Aku pamit pulang ke Talkanda. Drona, Karna, Sangkuni, aku pulang dulu. Percuma meeting kalau sudah tahu hasilnya harus ikut Boss terus…Permisi…” Resi Bisma pun keluar dari balairung kerajaan Astina. Layar tengah menyorot adegan persidangan di Kerajaan Wiratha.
Raja Maswapati memimpin dan mengadili persidangan terhadap Salindri, abdi keputren, yang dituduh melakukan pembunuhan terencana terhadap dua senopati Kerajaan Raden Rupa Kenca dan Kencaka Pura. “Salindri…., apa pembelaanmu atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap adik – adik iparku ?”,mulailah Prabu Matswapait mencecar Salindri layaknya hakim tunggal.
-Prabu Wirata parwa “Ampun paduka, ijinkanlah hamba membela diri guna mendapatkan keringanan hukuman atas musibah ini. Sejatinya, di malam kematian Raden Kencaka Pura dan Rupa Kenca tersebut, saya dalam posisi membela diri.
Karena pada saat itu keduanya berniat memaksa hamba untuk melayani nafsu mereka. Saya tidak mau Paduka, Raden Kencaka Pura marah besar kemudian mematikan lampu taman dan memaksa saya, entah bagaimana jadinya tiba – tiba saja saya mendengar jeritan Raden Kencaka Pura, kemudian saya melarikan diri.
Dalam pelarian saya dicegat oleh Raden Rupa Kenca yang berniat sama. Saya sudah sempat dipegangnya, saya tidak dapat melakukan apa – apalagi ketika Raden Rupa Kenca mendekap tubuh saya. Yang hamba lakukan hanya dapat merintih, menangis dan memohon pertolongan yang Maha Widi.
Saya benar – benar tidak tahu apa yang terjadi karena gelap gulita waktu itu Tiba – tiba saja Raden Rupa Kenca menjerit dengan tubuh berlumuran darah, wirata parwa. …” “Wah.kamu mengada – ada, terus siapa yang membunuh mereka berdua ??? Yang ada hanya kalian berdua saat itu???” “Memang paduka, setahu saya hanya kami berdua baik dengan Kencaka Pura maupun Rupa Kenca, tidak ada manusia yang lain.
Hamba kira Gonduruwo yang membunuh mereka Sang Prabu….” “Edannn…kamu malah semakin ngelantur, bagaimana Gonduruwo bisa membunuh kedua pejabat teras kerajaan itu ? Mereka berdua adalah andalan kerajaan Wiratha karena kesaktian dan trengginasnya mereka. Salindri…!!! Bagaimanapun kamu saya anggap telah melakukan pembunuhan atau paling tidak kalau kamu tidak mengakui membunuh, kamu telah menyebabkan mereka terbunuh.
Meskipun berdasarkan keterangan telik sandi kerajaan, wirata parwa berniat mendongkel aku dari kursi Raja, tetap pembunuhan wirata parwa tidak dapat dibenarkan karena itu kamu harus dihukum.” “Mohon ampunan Paduka….” “Untuk menebus kesalahanmu dan peringatan terhadap pelaku kriminal berat yang lain, kamu akan dihukum gantung…!!!” “Duh Paduka….tidak kah ada pertimbangan dari apa yang sudah saya lakukan dan pengabdian saya untuk kerajaan sehingga saya harus menerima hukuman seberat ini??
Mohon kemurahan paduka….” “Hmmmmmm….Salindri, memang selama ini kamu selalu berbuat baik dan tidak ada catatan kriminal sebelumnya. Putriku Dewi Utari pun memohon – mohon agar aku memberikan pengampunan kepadamu. Tetapi…hukum negara harus ditegakkan dengan tanpa pandang bulu, siapapun yang berbuat salah entah itu Raja, anak nya, kerabatnya, pejabat nya siapapun harus dihukum.
Aku tidak ingin kewibawaan dan kehormatanku tercederai karena bersikap pilih kasih. Tidak ada yang bisa melawan hukum entah itu uang, hubungan darah, atau tekanan politik lainnya. Karena itu Salindri…siap – siaplah pada waktunya nanti kamu akan digantung sebagai hukumanmu.” ”Aduhhhh sinuwun, kasihanilah saya, sebagai perempuan yang lemah tanpa pernah berlatih kanuragan, olah perang maupun belajar kesaktian, bagaimana mungkin saya bisa membunuh kedua Senopati Perang Kerajaan tersebut dengan tangan saya sendiri ??
Tidakkah itu jadi pertimbangan sinuwun…???Lalu bagaimana dengan harga diri saya wirata parwa secara semena-mena dengan rudapaksa akan dirampas begitu saja oleh kedua satria tersebut hanya untuk memuaskan nafsu mereka ? Tidak kah mereka pantas mendapat hukuman juga Sang Prabu….? Lalu bagaimana dengan kebijakan kerajaan yang secara tertulis harus melindungi perempuan dari kekerasan dan pelecehan ???
Mohon kebijaksanaan sang prabu yang saya kenal sebagai orang Raja yang bijak” ”Hmmmm, sudah – sudah !….kamu mulai menggurui aku” ”Mohon ampun paduka….” ”Baik…juga dengan pertimabangan tangisan Putriku, hukumanmu aku ringankan. Kamu harus minggat sekarang juga dan jangan pernah kembali ke Wiratha. Kamu sudah menjadi wirata parwa dan penyebab malapetaka kerajan” ”Beribu – ribu terimakasih atas kebijaksanaan dan kemurahan paduka.
Tetapi perkenankan saya menawar lagi paduka, saya mohon waktu tujuh hari lagi sebelum saya pergi dari Wiratha ????” ”Berikan aku alasan, mengapa harus tujuh hari yang kamu perlukan. Begitu lama…” ”Masih banyak tugas dari Putri Utari yang belum saya selesaikan Paduka, waktu tujuh hari hamba rasa mencukupi.
Hubungan kami sudah begitu dekat, saya perlu menyiapkan perpisahaan ini demi kebaikan kami berdua Raja. Terlebih lagi, masih ada beberapa tanggungan hutang dan kewajiban saya kepada para tetangga di Keputren. Karena itu hamba rasa, waktu tujuh hari merupakan waktu minimum yang hamba perlukan untuk menyelesaikan semua itu Paduka.” ”Hmmm, ya sudah aku kabulkan permitaanmu.
Sekarang, kembalilah ke keputren. Keperluanmu di sini sudah selesai…” ”Mohon pamit Wirata parwa Belum sempat Salindri mengundurkan diri dari pendopo persidangan, prajurit pintu gerbang perbatasan kerajaan tanpa dipanggil memasuki pendopo dengan tergopoh – gopoh dan terlihat sangat ketakutan.
”Mohon ampun sinuwun, Kerajaan Trihargo yang dipimpin Rajanya Susarman (hore…! akhirnya aku inget nama Raja ini) bersekutu dengan kerajaan Astina sudah sampai tapal batas kerajaan dan sebagian sudah menjebol pertahanan gerbang perbatasan. Mereka melakukan pengrusakan dan penyerangan Sinuwun. Para kawula, petani, pedagan, nelayan dan para buruh yang sejatinya tidak mengerti apa – apa telah menjadi korban Sang Prubu…” ”We la dalah…kurang ajarrr…………….!
Dasar kedua raja itu tidak mengerti tata krama, menyerang tanpa tantangan dan pemberitahuan. Wajar saja kalau mental preman menjadi pejabat, ya seperti itu jadinya.
Seta…, Wratsangka,…Siapkan pasukan, aku sendiri yang akan memimpin menghadapi amukan raja yang kurang pendidikan ini. Utara…, kamu jaga keputren dan kerajaan, ambil pasukan secukupnya untuk mendampingimu. Jangan sampai prajurit musuh mendekati kerajaan apalagi keputren…” ”Sendika wirata parwa Kanjeng Rama”, jawab Seta, Wratsangka, dan Utara serentak. Maka terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara Wiratha dengan sekutu antara Astina dan Trihargo.
Singkat kata dalam pertempuran itu Raja Matswapati berhadapan dengan Prabu Susarman. Raja Matswapati kalah dan berhasil diringkus dan ditawan Prabu Susarman. Di tengah alun – alun Wiratha, Matswapati menjadi bulan – bulanan Prabu Susarman. Di lain pihak, dari belakang kerajaan Pasukan Astina menyerbu dengan dipimpin oleh Adipati Alengko, Raden Basukarno.
Wiratha pun jebol Di tengah alun – alun Wiratha, Raja Matswapati diringkus Prabu Susarman dan menjadi bulan – bulanan. Raja Matswapati dihajar dan dipermalukan, menjadi tontonan bala tentara Trihargao dan Hastina.
Kabar ini didengar dan diketahui Wijo Kangka. Bergegas Wijo Kangka menemui adiknya yang tertidur di pasar kerajaan, Jagal Abilawa. Dengan sapa lemah lembut yang menjadi pembawaannya Wija Kangka membangunkan adikknya. ”Bilawa.adikku yang sentosa badannya, mengapa kamu enak – enak tidur di pasar sementara kerajaan Wiratha dilanda peperangan dan sekarang di ambang kehancuran.
Tidak pantas dan bukan pada tempatnya, kamu sebagai warga kerajaan seolah tanpa ada rasa peduli terhadap kondisi negara ini. Bilawa., bangunlah adikku. Kerahkan tenaga dan keahlianmu untuk cawe – cawe menyelamatkan Kerajaan….” Bilawa wirata parwa bangun. ”Waa….aku tidak tidur…., biarpun mataku terpejam batinku terjaga.
Aku tahu semua apa yang terjadi sampai dengan saat ini. Tapi aku wegah, aku tidak sudi membela Raja dan pemerintahannya yang tidak peduli dengan nasib rakyat yang dipamonginya. Tanpa disuruh, aku akan membela Raja dengan raga dan nyawaku jikalau Rajanya mengerti kesulitan dan penderitaan rakyatnya.
Tapi apa yang terjdi sekarang ??? Pemerintah dan elite kerajaan hanya memikirkan diri dan golangannya. Mereka wirata parwa mencari jalan gampang untuk menyelesaikan permasalahan. Mereka tahu rakyat mengalami kesulitan, tetapi mereka malah menambah kesulitan rakyatnya. Wirata parwa tidak mau dan tidak mampu mengendalikan harga – harga kebutuhan pokok rakyatnya. Bahan pangan semakin mahal, persediaan sangat terbatas dan sulit dicari.
Bahan bakar semakin langka….Harganya naik terus. Sementara para pedagang spekulan bermain sesuka hati dengan menangguk untung tak kepalang tanggung. Para penasehat kerajaan dan pengawal rakyat di dewan pertimbangan kerajaan bersikap seperti anak kecil. Yang mereka pikirkan hanya kenaikan gaji, peningkatan tunjangan dan pelesiran ke negara tetangga dengan menggotong sanak famili atas biaya negara.
Pemerintahan macam apa seperti ini ???? Apa yang harus dibela kalau sudah seperti ini ???. Biarlah Wiratha hancur, mungkin lebih baik begitu. Bisa jadi lebih baik nasibnya kalau menjadi jajahan negara lain. Daripada diperintah bangsa sendiri, tetapi kenyataanya kebanyakan rakyat semakin hari semakin miskin.
Untuk apa diperintah bangsa sendiri kalau pemerintah hanya berpihak kepada yang kuasa dan yang punya harta saja ?? Kalau aku bela keadaan ini, maka yang aku bela hanyalah kepentingan mereka semata. Apa Kakang mau menanggung dosaku karena membela Pemerintahan yang lalim itu ??? Biarlah Kakang, negara ini hancur. Kita bisa meninggalkan negara ini kalau kita mau” ”Aduh…adikku, Kakang mengerti apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Kakangpun merasakan hal yang sama. Tetapi adikku…., saat ini bukan hanya Raja dan pemerintahan yang sedang terancam bahaya.
Rakyat kebanyakan lah yang lebih menderita. Para petinggi kerajaan dan pedagang besar dengan mudah menyelamatkan diri adikku. Sebagian mereka sudah mengungsi, meninggalkan kerajaan. Sementara rakyat kecil, petani, nelayan, pedagang pasar tak kuasa menahan derita dan tidak ada kemampuan untuk menghindar dari amukan tentara Tri Hargo dan Hastinapura.
Mereka kehilangan harta yang tidak seberapa, terlebih lagi mereka kehilangan rasa aman dan kedamaian yang selama ini mereka rasakan, sejelek apapun pemerintahan mereka saat ini. Bilawa…., kamu juga harus ingat bahwa hampir setahun kita numpang di Wiratha, bukan hanya di kerajaan tetapi wirata parwa juga menumpang di rakyatnya. Aku sebagai lurah pasar, sekecil apapun merasakan subsidi pedagang pasar itu sebagai kompensasi atas jasaku sebagai lurah.
Adikku, kamu wirata parwa sebagai jagal peternakan sapi dan kerbau, juga merasakan cipratan rejeki pedagang ternak dan daging kota ini. Oleh karena Bilawa, kok ya ironis kalau kita hanya enak kepenak melihat penderitaan para kaum bawah ini.
Bilawa…, baiklah kalau kamu tidak sepakat dengan pendapat Kakang ini, biar Kakang yang maju ke medan perang dengan segala keterbatasan yang Kakang miliki. Teruskan istirahat dan tidurmu dengan nyaman.” ”Waa……….ya sudah, sudah….Dari dulu sampai nanti mati aku menghormati Kakang sebagai ganti Bapakku di dunia. Karena itu, mohon doa restu, biar aku labrak para perusuh kerajaan Wiratha.
Aku pamit!” Bilawa menuju medan perang, dengan sekali terjang Prabu Susarman dapat dikalahkan Bilawa dan tewas di tengah alun – alun Wiratha.
Prabu Matswapati dapat dibebaskan Bilawa. Saat bersamaan dengan ditawannya Prabu Matswapati oleh Prabu Susarman. Mengetahui pertahanan Kerajaan yang sudah hampir jebol, Utara yang seharusnya mempertahankan kerajaan dan keputren bergegas memasuki keputren untuk mengajak adiknya melarikan diri, tetapi ditolak oleh Dewi Utari.
Di keputren selain Dewi Utari dan danyang – danyangnya juga ada Wrahatnala (yang sebenarnya adalah Raden Arjuna) sebagai pengajar tari dan karawitan. ”Utari….adikku, sekarang kondisi kerajaan sudah sangat genting dan nyaris jebol. Pasukan kerajaan Wirata parwa sudah tidak bisa bertahan lagi akibat serbuan dari kedua sisi kerajaan. Karena itu Utari, segeralah bergegas kita melarikan diri dari kerajaan…” ”We lah dalah.Kakang, mungkin memang pasukan kerajaan sudah kocar – kacir dan terpukul mundur.
Tetapi khan masih ada Kakang Utara, senopati andalan Wiratha yang masih segar bugar. Mengapa Kakang tidak menghadapi perang itu ??” ”Utari, pasukan musuh terlalu kuat untuk dihadapi, pasukan dari dua kerajaan besar yang bersekutu dengan persenjataan lengkap tidak akan tertandingi adikku.
Oleh karena itu daripada kita tertawan atau gugur, sebaiknya segera kita melarikan diri.” ”Ooo…, jadi Kakang Utata takut ? Baiklah…silakan minggir aku akan maju sebagai senopati kalau begitu. Utari tidak akan takut mati untuk membela kehormatan dan keutuhan kerajaan, meskipun aku hanya seorang wanita.
Setidaknya akupun pernah belajar beladiri dan strategi perang.” Wrahatanala yang mengikuti percakapan kakak adik itu menengahi. ”Permisi putri dan Raden. Rasanya tidak pantas kalau Putri Utari maju perang sementara Raden Utara sabagai senopati kerajaan hanya diam menunggu atau bahkan melarikan diri” ”Hey…Wrahatnala, ini bukan perkara berani atau tidak berani.
Kerajaan sudah hampir runtuh, sementara kekuatan musuh sangat besar. Lagipula kalau aku maju perang, tidak ada lagi kusir yang bisa mengendalikan kereta perangku.” ”Mohon maaf Raden, kalau saya yang menjadi kusirnya Raden dalam peperangan ini, bagaimana ?” ”Wee…lah, kamu khan hanya seorang wandu, banci yang hanya bisa mengajar tari dan karawitan.
Mana bisa kamu menjadi kusir kereta perang??” ”Mudah – mudahan bisa Raden, setidaknya saya berani mempertaruhkan nyawa di medan perang ini.
Saya dulu pernah menjadi kusir kereta perang Raden Arjuna, penengah pandawa itu. Jadi saya punya pengelaman dalam hal itu” ”We…la dalah, apa benar kamu pernah menjadi wirata parwa Arjuna, cucuku itu ??”. Dilihat dari silsilah Para Pandawa sebenarnya adalah Cucu Buyut Prabu Matswapati dan dengan demikian adalah cucu Raden Utara.
Saya akan susulkan silsilah nya ini lain kali (kalau sudah ingat atau menemukan…maklum sudah lupa – lupa ingat). ”Benar Raden, karena itu mari kita coba saja kalau Raden memang berani menjadi panglima perang menghadapi Kerajaan Trihargo ini” Sebenarnya Raden Utara ngeri hati untuk terjun dalam peperangan kali ini, mengingat gabungan tentara dari dua kerajaan penyerbu rasanya sudah tidak mungkin dikalahkan lagi. Apalagi Prabu Matswapatipun sudah menjadi tawanan Prabu Susarman.
Namun karena rasa malu kepada adik dan abdi keputren, ditekatkan hatinya untuk berperang. Syahdan di medan perang dengan dikusiri oleh Wrahatnala, Raden Utara tidak mampu menunjukkan keahlian berperang layaknya Senopati Kerajaan disebabkan perasaan ngeri dan takut melihatan lautan pasukan musuh yang tak terkira banyaknya. Konsentrasinya buyar. Melihat gelagat ini, wirata parwa Wrahatnala pun mengusulkan untuk ganti posisi. ”Wrahatnala, benar kamu bisa menjadi senopati perang ini?” ”Mudah – mudahan Raden, asal Raden Utara bersedia menjadi kusirnya” ”We lah…la masak aku jadi kusir, aku ini khan putra dan senopati Kerajaan.
Masak aku menjadi kusirmu seorang banci pengajar tari?? Yang benar saja. Aku tidak sudi ….!!!” Masih dengan congkaknya Raden Utara mendebat. ”Benar Raden, tetapi sekarang ini di medan perang, bukan di Keputren.
Dan kali ini saya sebagai Senopati karena Raden tidak mampu. Di medan perang ini tidak ada Putra Raja atau abdi dalem keputren. Yang ada hanyalah panglima perang dan kusir kereta. Kalau raden tidak bersedia menjadi Panglima Perang maka pilihannya menjadi kusir. Atau kita kembali ke keputren dengan Raden Utara menanggung malu dihadapan adinda dan danyang-2 keputren wirata parwa ”Hemmm…ya sudah, sudah, biar aku jadi kusir saja kali ini.
Tapi jangan bilang siapa – siapa kalau aku menjadi kusir lo ya…” ”Sendika dawuh Raden.” ”Ayo naikklah kereta, biar aku kusirnya” ”Tapi Raden, saya tidak membawa senjata apapun.
Saya perlu senjata untuk menghadapi musuh yang bersenjata lengkap itu. Mari kita ke tegalan samping alun – alun kerajaan untuk mengambil perlengkapan perang dulu” ”O begitu, baiklah terserah kamu maunya gimana” Sampailah mereka di tegalan sebelah timur alun – alun yang menjadi arena pertempuran. Di tegalan yang rimbun dengan semak wirata parwa dan tanaman basah itu terdapat salah satu pohon asam dengan daun yang lebat.
Di pucuk tertinggi pohon asam itu tergantung bungkusan putih menyerupai pocong. Bungkusan itu berisi senjata – senjata andalan Arjuna di antaranya Pasopati dan Pulanggeni yang berupa senjata panah. Kedua senjata ini unik dan mudah dikenali sebagai senjata andalan Arjuna, hanya Arjuna yang punya.
”Raden Utara, di pucuk pohon asem itu Raden lihat tergantung pocong kain putih, tolong Raden memanjat dan mengambilnya buat saya” ”We lah…kurang ajar. Aku ini Putra Raja lo, Senopati Kerajaan. Masak suruh pethekelan menek pohon asam.Ah yang benar saja kamu Wrahatnala…” ”Raden Utara, mohon diingat.
Sekarang saya wirata parwa perang dan Raden adalah kusir. Tugas Kusir adalah melayani dan mengikut perintah Senopati selama di medan perang. Sekarang Sang Senopati meminta kusir untuk mengambil bungkusan senjata di pucuk pohon asam itu, bagaimana ?
Kalau tidak mau, ya kita kembali ke keputren.” ”Walah, kena lagi…Ya sudah aku panjat, tapi kamu jangan bilang siapa – siapa kalau aku manjat pohon asam buat kamu ya.” ”Sendika dawuh Raden” Raden Utara mendapatkan pocong bungkusan kain putih.
Dibukalah pocong itu oleh Wrahatnala. ”Hey….Wrahatnala, aku kenal betul senjata – senjata itu. Pasopati, pulanggeni, dan keris itu……….Itu punyanya cucuku Arjuna. Dari mana kamu mendapatkannya, kamu wirata parwa mencuri nya ya. Hayo ngaku, kalau tidak mengaku biar aku sendiri yang menghajar kamu saat ini juga di tempat ini juga” ”Sabar Raden, Eyang Utara….Sebenarnya saya adalah cucunda Arjuna.” Berceritalah Wrahatnala mengenai dirinya yang sebenarnya, alasan penyamaran yang dimulai dari permainan dadu Puntadewa dengan Duryudona, sampai dengan dimana saja saudara – saudaranya yang lain saat ini.
Hanya saja, Wrahatanala memohon agar rahasia ini disimpan baik – baik sampai batas waktunya yang tinggal wirata parwa hari ke depan. ”Waduh cucuku, ternyata kalian sangat dekat dengan kami.
Kok kami tidak tahu ??? Waduh…jadi Kangko itu, Bilawa itu, kinten pangsen itu??. Wah yo kok kami ini bodho sekali, kami ini keterlaluan telah menyia – nyiakan kalian. Jadi Salindri itu Drupadi. Waduh Drupadi…Drupadi, hampir saja Rama prabu membunuhmu dengan tangannya sendiri….Terimakasih Gusti, Kamu telah menyelamatkan kami dari kecerobohan dan kebodohan ini. Ya sudah Wrahatnala, karena kamu Arjuna. Mari cucuku, aku kusiri kereta perang ini.
Aku jadi mantap sekarang mengendalikan kereta dengan panglima perang kamu cucuku” ”Mari, Eyang. Permisi saya naik keretanya” ”Ayo, silakan naik. Kamu senopati sekarang, aku kusirnya.” Situasi di medan perang. Di sisi depan istana kerajaan, Bilawa berhadapan dengan pasukan Tri Hargo, meskipun Raja Susarman sudah tewas, Tri Hargo masih memiliki ratusan senopati dan ribuan pasukan perang. Bilawa mengamuk dengan gada rujak polo. Bilawa dibantu separo kekuatan Wiratha yang menjaga perbatasan belakang kerajaan.
Setelah sempat kehilangan harapan karena Raja Wiratha tertawan, kali ini Pasukan Wiratha kembali mendapatkan semangat dan kekuatannya. Kelihatannya peperangan mengarah kepada kemenangan pasukan Wiratha. Perlahan, setapak demi setapak pasukan Tri Hargo mundur ke garis perbatasaann belakang istana. Di sisi depan istana, Pasukan Hastina yang dikomandani oleh Prabu Basukarno semakin mendekati pintu gerbang istana. Separo pasukan Wiratha mencoba bertahan semampunya.
Dengan sorak sorai kemenangan barisan Hastina sudah bisa menjangkau gerbang benteng istana dengan anak panah. Sampai Wrahatnala menunjukkan kesaktiannya dalam membelah barisan musuh dan melepas anak panah yang mengacaukan pertahanan musuh. Satu anak panah dilepaskan, sekejap kemudian berubah menjadi hujan ribuan anak panah di udara.
Barisan perang Hastina dibuat kalang kabut dalam sekejap. Banyak diantara para prajurit tidak siap menghadapi serangan semacam ini. Dalam sesaat ratusan prajurit tersungkur. Kehebohan dan kepanikan melanda pasukan penyerbu.
Di sisi lain, barisan Wiratha serasa mendapat second wind. Mereka bersorak – sorak menyambut senopati baru. Semangat mereka bertambah dan berlipat untuk terus merengsek mendesak mundur musuh. Pasukan Hastina mencoba mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai.
Namun hujan panah terasa tidak akan berhenti. Mereka melindungi diri dari hujan panah dengan tameng menutup kepala mereka. Namun dari depan, pasukan berkuda wiratha dengan tombak – tombak dan gada ditangan maju, menerjang, menyambar, memukul dan membabat. Terkejud Senopati Karno melihat situasi ini, maka diapun mengerahkan kesaktiannya. Dilepaskan lah anak panah oleh Karno. Seketika pula, hujan anak panah dari Wrahatnala berhenti. Berganti sora sorai ada di pihak Astina. Kembali lagi Wrahatnala melepaskan dan membuat hujan panah.
Senopati Karno berniat menangkis, namun dari kejauhan tingkah Sang Senopati terlihat oleh Wrathatnala, Secepat kilat Wrahatnala melepaskan anak panah tepat menyambar Busur Panah Senopati Basukarno, patah berkeping dua. Sebenarnya ini adalah pertanda bagi Basukarno mengenai siapa sebenarnya yang dihadipnya. ”He.he…” Prabu Basukarno tertawa dalam hati. Dia paham siapa di seberang sana yang dihadapinya. Tak lain adalah adik sepergurannya dalam olah anak panah, Arjuna. Arjuna juga adik kandung seibu dari Basukarno.
Basukarno tersenyum dan mengguman ”He.he….he…Saya tahu siapa anak ini? Hmm iya adikku, aku tahu ternyata kamu. Hmm bagus, aku lega sekarang. Ternyata kalian adik – adikku Pandawa selamat dan baik – baik saja. Kalau kakang tega, Kakang bongkar rahasia kalian yang hanya tinggal dua hari ini. Maka habislah kalian. Tapi kalian tahu, bagaimanapun Kakang tidak akan mencelakakan kalian dengan cara nista seperti ini.
Ya sudah Arjuna, kali ini cukup sampai di sini wirata parwa bertarung. Ada masanya kita akan bertemu lagi, mungkin di perang besar nanti. Aku tunggu adikku ”. Setelah melepaskan anak wirata parwa penyapu hujan panah Wrahatnala, Prabu Basukarno memerintahkan pasukan Astina mundur.
Maka pasukan Astina mundur kembali ke Kerajaan Astina. Tinggal lah pasukan Wiratha yang bersorak karena kemenangannya ini. Di belakang istana, pasukan Tri hargo pun tidak mampu mempertahankan pukulan balik dari Bilawa. Keadaan mereka lebih parah, kehilangan Raja dan puluhan senopati. Maka penyerbuan wirata parwa Wiratha dari kedua sisi, gagal. Malam hari menjelang akhir penyamaran Para Pandawa. Setelah para penyerbu berhasil diusir dari perbatasan menjelang pergantian hari ini.
Belum sempat Bilawa, Wrahatnala, Wijakangko beristirahat untuk memulihkan wirata parwa. Kerajaan merasa perlu merayakan kemenangan Prajurit Wiratha yang gilang gemilang ini. Kerusakan, kehancuran, dan rasa penderiataan rakyat akibat perang beberapa hari wirata parwa, menjadi urusan nomor dua untuk dipulihkan.
Raja Matswapati berpendapat semangat dan harga diri rakyat dan kawula perlu dipulihkan dulu dengan perayaan untuk menyuntikkan semangat dan rasa percaya diri di hati serta pikiran mereka. Perayaan ini sangat perlu untuk pemulihan rasa percaya diri itu atas nama kebangsaan dan kenegaraan Wiratha maupun kepada pemerintah kerajaan. Perayaan ini sekaligus untuk menyambut Sang Senopati Utara dari perbatasan depan Wiratha. Semua punggawa, senopati, putri dan danyang – danyang hingga kawula rakyat kecil diundang ke balairung istana kerajaan yang memang tidak tersentuh perang sehingga kemegahannya sebagai bagian Istana kerajaan Wiratha tetap terasa.
Hadir pula wirata parwa paseban agung di hadapan Sang Raja, adalah Kangka, Bilawa dan Salindri. Sementara Wrahatnala dan putra mahkota Utara belum terlihat. Raja Matswapati memulai pidatonya dengan mengungkapkan rasa bangga hatinya karena putra mahkota Kerajaan berhasil memundurkan pasukan Hastina Pura. Begitulah yang disangka dan dibanggakannya.
Kepada semua yang hadir tak henti – hentinya Sang Prabu memuji keberanian dan ketangkasan putra mahkota Raden Utara yang sepengetahuannya berhasil memukul mundur pasukan Hastina dari arah depan istana. Menurut khabar yang sampai ke telinganya, lawan yang dihadapi oleh Utara bukan lawan yang sembarangan, Adipati Karno. Seorang senopati dengan kemampuan dan kehlian perang tanpa tanding.
Adipati Karno terkenal dengan kehlian memanah yang mencapai taraf sempurna. Juga diberikan senjata sakti oleh wirata parwa, Bethara Surya, berupa keris Kyai Jalak yang dapat mencari musuh dan memusnahkannya dengan bertindak wirata parwa sesuai dengan keinginan Sang Adipati. Karno juga mempunyai anak panah, senjata kunta pemberian Sang Bethara Guru. Tetapi itu semua tidak berarti di hadapan Utara, putra kesayangannya.
Kenyataannya Utara dapat mengatasi semua kesaktian Adipati Karno. Ini wirata parwa saja prestasi yang luar biasa. Ini prestasi yang patut dibanggakan dan harus dihargai oleh para kawula dan raktyat Wiratha seluruhnya. Prabu Matswapati ingin menunjukkan kepada rakyatnya bahwa Negara dan kerajaan dalam kondisi aman terkendali, pemerintahan sangat dapat diandalkan untuk dapat mengatasi permasalahan apapun yang perlu dihadapi.
Jadi tidak beralasan jika tersembul sedikitpun rasa tidak puas kepada pemerintahan. Semua yang hadir ramai bersorak dan mengamini kata demi kata Sang Prabu, meskipun banyak di antara mereka tahu situasi sebenarnya di lapangan bagaimana. Namun mayoritas di antara yang hadir adalah lingkaran dekat kerajaan yang sudah terlanjur menempati posisi enak – kepenak. Mereke sudah terlanjur menikmati fasilitas dan kemapanan yang bahkan turun – temurun. Terlalu berisiko bagi mereka jika mereka berani menentang apa wirata parwa dikatakan Sang Raja.
Bagi kebanyakan mereka, apapun yang terjadi di luar sana tidak mereka pedulikan yang penting Bapak senang. Hingga giliran Raja Matswapati menumbukkan pandanganya kepada Kangka yang seolah tidak senang dengan suasana yang terjadi. Dari sikap dan pandangan mata Wija Kangko terlihat tidak sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Sang Raja. Wirata parwa, yang sebenarnya adalah Puntadewa, terkenal sepanjang hidupnya tidak pernah berdusta. Karena sikap luhurnya ini, Yang Maha Kuasa karena sayangnya, memberikan kelebihan kepadanya.
Puntadewa mempunyai darah berwarna putih, tidak merah selayaknya jalma manusia yang lain. Dimulai pada masa akhil baliknya, jika wirata parwa kaki Puntadewa tidak menyentuh tanah karena sucinya jiwa dan raganya. Di Wiratha, Kangka cukup dikenal sang Raja karena keahliannya bermain dadu.
Beberapa kali Sang Raja bermain dan diajari sukan dadu oleh Kangka. Maka wajah Kangka di perayaan kali ini pun tidak asing bagi Sang Raja. “Kangka…,aku menangkap dan melihat kesan kamu tidak suka dengan suasana perayaan saat ini. Ada apa ??? Kamu khan menyaksikan sendiri bagaimana Utara memimpin pasukan kerajaan Wiratha mengundurkan prajurit – prajurit Astina yang dipimpin Basukarno” “Mohon wirata parwa Paduka, apa yang paduka katakan sebenarnya tidak benar” “Hey….!!
Tidak benar bagaimana ??” “Sebenarnya yang mengalahkan Hastina bukan sang putra Utara, tetapi Wrahatnala ” “Ah …ngawur kamu, bagaimana Wrahatnala si banci itu sanggup perang tanding apalagi mengalahkan Karno??!!
Jelas anakku Utara yang maju perang dan dia yang menang!!!” “Bukan paduka, yang menang perang Wrahatnala” “Bangsat….Kamu berani melawan aku ??!!” Raja Matswapati meluap kemarahannya.
Merasa dikilani dadanya, diremehkan martabatnya, dipermalukan harga dirinya. “Yang menang Utara….Iya apa tidak ???!!” “Bukan, Wrahatnala yang mampu mengatasi prajurit Hastina” Raja Matswapati tidak mampu lagi menahan amarahnya. Disambarnya cupu (pot) tanaman hias didekatnya, dilemparkanya ke Kangka. Tepat mengenai pelipis Wija Kangko, pelipis pecah mengucurkan darah segar berwarna putih.
Belum sempat darah putih suci yang mengalir deras membasahi bumi wiratha yang amis ini, Salindri yang berada di samping Kangka wirata parwa telapak tangannya untuk menampung, menadah darah suci itu.
“Salindri…!!!” Bentak Raja Matswapati. “Apa yang kamu lakukan, mengapa kamu tadahkan tanganmu seperti itu…? Sudah biarkan Kangka, tidak usah kamu ikut-2an mengurus. Sudah sewajarnya dia mendapatkan wirata parwa setimpal karena menentang Raja….” “Aduh….Sinuwun Prabu, mohon maaf atas wirata parwa hamba.
Sebagai istri, hamba berkewajiban merawat suami saya yang kesakitan ini. Lagi pula, sayang sekali bagi saya, darah suci ini kalau sampai menetes membasahi bumi. Oleh karena itu darah suami saya, saya tadah dengan tangan hamba sendiri.” “Wah….terserah kamu saja. Toh siang nanti kamu harus menjalani hukuman mati akibat pembunuhan atas Patih Kerajaan Kencaka Pura dan Rupa Kenca” Malam telah melewati pertengahannya, hari sudah berganti, tidak lama lagi fajar timur akan menjelang.
Di luar balairung terdengar sorak sorai gemuruh layaknya tembok bata yang rubuh. Senopati perang telah kembali dengan membawa kemenangan. Bukan Utara yang memimpin pasukan, tetapi Wrahatnala yang di depan. Rombongan ini memasuki balairung istana. Heran Sang Raja melihat pemandangan ini, namun rasa bangga wirata parwa putranya menutupi semuanya. Disambut, dipeluk dan diciumnya putra kesayangan yang menurutnya telah menang perang.
“Ha…ha…ha….Selamat datang sang senopatiku, Utara….aku bangga padamu karena Adipati Karno yang sakti mandra guna itu telah kamu kalahkan anakku. Tidak perlu menunggu lama, segera kamu aku angkat jadi raja menggantikanku Utara…” “Mohon maaf Rama, ijinkan hamba matur…” “Ya….bagimana ??” “Rama Prabu, sejatinya bukan saya yang memimpin pasukan dan mengundurkan musuh.” “Loh….la siapa ? Wrahatsangka ??? Atau Seto barangkali ???” “Juga bukan adik – adik saya itu …” “La terus siapa ???” “Wrahatnala…” “Ah kamu bercanda, yang benar saja.
Bagaimana mungkin si wandu itu bisa memimpin pasukan Wiratha????” “Kepareng matur Rama Prabu, sebenarnya Wrahatnala itu tidak lain adalah Cucu buyut Rama sendiri, ya cucu saya Si Permadi” “Hey…??Gimana ?? Buyutku Permadi ???” “Sendika Rama, terus Kangka yang Ramanda lukai kepalanya tak lain adalah Puntadewa ya Yudistira, Bilawa adalah Bratasena dan dua wirata parwa tukang kuda dan pemelihara unggas kerajaan itu tak lain adalah Nakula dan Sahadewa, sinuwun…” Perasaan Prabu Matswapati saat itu campur aduk tidak karuan.
Antara rasa malu yang dalam karena membanggakan keluarga sendiri yang ternyata salah dan kebahagian yang luar biasa karena cucu – cucu buyutnya dalam keadaan selamat dan dalam perlindungan kerajaannya meskipun tidak sengaja dilakukannya.
Prabu Matswapati juga meratapi dan menyesali diri, mengapa pikiran dan rasanya begitu tumpul. Mengapa mata batinnya begitu tuli dengan situasi dan keadaan negerinya. Mengapa ia tidak tanggap ing sasmita melihat darah putih mengucur yang belum kering itu. Seharusnya dia tahu bahwa di jagad ini hanya Yudisthira yang mempunyai keistimewaan seperti itu.
Mestinya dia juga merasa bahwa Bilawa yang menyelamatkan jiwanya adalah kerabat sangat dekatnya. Ciri fisik Bilawa mungkin bisa ditutupi, tetapi sikap dan sifatnya yang tetap konsisten, tanpa pamrih, tidak punya rasa takut, dan apa adanya itu seharusnya sudah mencukupi untuk menandakan bahwa dia Bratasena.
Di luar sana fajar baru telah menyemburat dari ufuk ujung timur. Sebentar lagi wirata parwa surya akan menunaikan kewajibannya, menerangi jagad bahana, dunia seisinya. Memberikan penerangan kepada siapapun yang mau, tanpa pilih kasih dan tanpa pamrih. Dunia berganti hari, sepenggal hari lagi jatah umur siapapun, apapun yang didunia berkurang.
Prabu Matswapati, merasakan siraman terang pada hati dan pikirannya. Keangkuhan dan kesombongan yang mengiringi kekuasaan serta kewenanganya perlahan sirna, tunduk tawaduk. “Waduh – waduh buyut – buyutku, mendekatlah kemari angger.
Eyang ingin memeluk kalian satu per satu. Tiga belas tahun tidak melihat wajah teduh dan damai kalian, rasanya seperti sudah seumur hidupku. Drupadi, Yudistira, Bilawa, Nakula, Sadewa…Ah hemmm.
Sini – sini ngger, aku ingin melihat dan menikmati wajah wirata parwa satu persatu, cucu – cucuku. Ah hmmm, betapa bodonya eyang buyut ini. Kalau dilihat umur, aku ini ya sudah sepuh, tetapi hati dan batinku rasanya kok semakin tumpul. Kalau ditilik jabatan dan kekuasaan, aku ini ya Raja gung binathara, harusnya kebijakan dan welas asih yang eyang buyut kedepankan tetapi kenyataanya hanya congka dan arogan. Buyut – buyutku., rasanya umur eyang tidak akan lama lagi, harusnya eyang tambah prestiti ngesti ngabekti kepada gusti.
Tetapi yang eyang terlalu terlena dengan mukti duniawi. Uyut….maafkan aku ya ngger…Wah dosa apa yang eyang sandang.hemmm” Bagai banjir bah, penyesalan dan ratapan raja matswapati mengalir seolah tanpa henti. Gungun – gungun menangis seperti bayi. wirata parwa – sudah eyang.” Yudistira dengan lemah lembut menghibur Sang Prabu.
”Eyang buyut…tidak perlu disesali terlalu lama apa yang terjadi kemarin – kemarin. Eyang, kami semua sedikitpun tidak merasa eyang sakiti, kami harusnya berterima kasih karena Wiratha telah memberikan tempat perlindungan yang sempurna bagi kami berenam, sehingga kami lulus ujian yang sangat berat ini eyang.
Namun kami tidak bisa melakukan apa – apa kecuali dengan tenaga dan keringat kami. Hamba dan adik wirata parwa adik hamba, mohon ketulusan dan keluasan hati Paduka untuk memberikan ampunan atas apa yang telah kami perbuat di Wiratha Eyang…” ”Duh Pandawa….
pandawa….begitu luhur budimu cucu – cucuku. Pantes kalau kalian adalah putra Pandu. Ya sudah, hari sudah berganti siang. Sudah waktunya kita menata diri setelah pertempuran dan kekacauan ini.
Hanya satu yang ingin eyang sampaikan. Disaksikan semua yang hadir di sini, disaksikan jagad seisinya, Yang Maha Kuasa, para dewata dan malaikat, eyang berjanji.
Nanti saat perang baratayudha digelar, negara Wiratha seisinya, Raja, para putra, para senopati, prajurit, semuanya Eyang pertaruhkan untuk mendukung kalian para Pandawa sebagai balas budi atas jasa – jasa kalian mengatasi serbuan Hastina dan Triharga ” Janji Prabu Matswapati ini ditepati, semua putra senopati Wiratha gugur membela pandawa dan kebenaran pada hari – hari pertama perang besar Baratayuda Jaya Binangun.
Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata.
Jika mereka ketahuan, maka mereka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di Wirata Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka. Bima menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa. Lalu Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi bernama Wrahanala. Nakula menjadi seorang penggembala kuda bernama Grantika dan Sadewa menjadi penggembala sapi bernama Tantipala.
Dropadi menjadi seorang perias bernama Sarindri, melayani ratu Sudesna. Alkisah patih Wirata, Kicaka jatuh cinta kepada Sarindri dan ingin menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat penyamaran mereka ketahuan. Kematian Kicaka didengar oleh raja Susarma dari Trigarta yang kemudian datang membujuk para Korawa menyerbu Wirata yang dalam keadaan sangat lemah. Lalu negeri Wirata diserang para Korawa dari Astina. Para Pandawa ikut berperang membela Wirata.
Serangan Korawa gagal, mereka kalah oleh orang-orang yang tidak dikenal dan membuat mereka curiga. Setelah perang usai, kedok Pandawa terbuka. Tetapi mereka sudah bersembunyi genap selama setahun, jadi tidak apa-apa. Wirataparwa diakhiri dengan kisah perkawinan Abimanyu, anak Arjuna, dengan Utari, puteri raja Wirata. • Abimanyu • Ambika • Ambalika • Arjuna • Bahlika • Banowati • Bima (Wrekodara) • Bisma (Dewabrata) • Citrānggada • Dewapi • Dretarastra • Dropadi • Dursala • Dursasana • Duryodana • Gandari • Gangga wirata parwa Gatotkaca • Irawan • Janamejaya • Kunti • Laksmana • Laksmanakumara • Madri • Nakula • Pancakumara ( Pratiwindya, Sutasoma, Satanika, Srutasena, Srutakarma) • Pandu • Parikesit • Pratipa • Sadewa • Santanu • Satyawati • Wicitrawirya • Widura • Wikarna • Yudistira • Yuyutsu Keluarga Yadu (Yadawa) • Amba • Babruwahana • Bagadata • Bajradata wirata parwa Barbarika • Burisrawa • Citrānggadā • Drestadyumna • Dropadi • Drupada • Jarasanda • Jayadrata • Kakudmi • Karna • Kicaka • Mucukunda • Rukmi • Salya • Sangkuni • Satyajit • Somadata • Srikandi • Sudesna • Susarma wirata parwa Sweta • Uluka • Utamoja • Utara • Utari • Wirata (Matsyapati) • Wratsangka • Wrehadbala • Wresasena • Yudamanyu Lain-lain • Halaman ini terakhir diubah pada 20 Februari 2022, pukul 01.04.
• Teks tersedia di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya. • Kebijakan privasi • Tentang Wirata parwa • Penyangkalan • Tampilan seluler • Pengembang • Statistik • Pernyataan kuki • • Web icon An illustration of a computer application window Wayback Machine Texts icon An illustration of an open book. Books Video icon An illustration of two cells of a film strip.
Video Audio icon An illustration of an audio speaker. Audio Software icon An illustration of a 3.5" floppy disk. Software Images icon An illustration of two photographs. Images Donate icon An illustration of a heart shape Donate Ellipses icon An illustration of text ellipses. More Hamburger icon An icon used to represent a menu that can be toggled by interacting with this icon.
Wirataparwa Kitab Wirataparwa merupakan kitab keempat dari seri Astadasaparwa.
Kitab ini menceritakan kisah penyamaran para Pandawa beserta Dropadi. Sesuai dengan perjanjian yang sah, setelah 12 tahun masa pengasingan, maka pada tahun ke 13 Pandawa mesti tidak diketahui keberadaannya selama 1 tahun penuh, apabila gagal maka pengasingan akan diulangi lagi selama 12 tahun berikutnya.
Pandawa kemudian melakukan penyamaran dan menuju ke kerajaan Wirata. Yudistira menyamar sebagai Brahmana dengan nama Kanka dan menemani raja bermain dadu setiap harinya. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak bernama Valala salah satu kegiatannya adalah menemani Raja bergulat. Arjuna memanfaatkan Kutukan Bidadari Urwasi dengan menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala.
Mengajarkan tari dan musik pada Putri Uttara (kakaknya juga bernama Uttara, namun dipewayangan jawa yang perempuan menjadi Utari). Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran “Grantika” atau Dharmagranthi. Sadewa pun memilih peran sebagai seorang gembala sapi bernama Tantripala. Droupadi menyamar sebagai dayang istana bernama Sailandri melayani ratu Sudhesna. Kichaka adalah kakak dari ratu Suhesna, Pengaruhnya ia di Istana adalah luar biasa, bahkan masyarakan menyatakan bahwa Ia adalah raja yang sebenarnya dari kerajaan Matsya daripada Wirata sendiri.
Ia naksir Droupadi. Ia menolak dengan halus dengan menyatakan bahwa Suaminya adalah Gandharwa yang membunuh siapa saja yang bersikap tidak sopan terhadapnya. Kichaka tidak mempercayai itu dan tetap merayu Droupadi. Droupadi menyatakan berkeberatan dengan tindakan kakak ratu tersebut.
Ratu permulaan membelanya, namun kakaknya dengan berbagai cara berbicara dengan adiknya betapa menderitanya Ia karena merindukan Droupadi. Akhirnya mereka membuat rencana untuk menjebak Droupadi. Ia menjebak Droupadi untuk datang kerumah Kinchaka membawakan Minuman dan makanan, Droupadi menolak dan meminta agar dikirim orang lain, Ratu marah sehingga terpaksa droupadi kesana.
Benarlah! Wirata parwa dalam keadaan mabu dan bernafsu memaksanya, mendorongnya, menendangnya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak senonohnya dihadapan yang hadir di rumah Kichaka. Ia melupakan bahaya terbongkarnya penyamaran dan pergi ketempat Bhima menceritakan keadaan itu.
Mereka kemudian melakukan rencana, bahwa malam keesokan harinya Droupadi akan membawa Kichaka ke ruang tari. Disana Bhima sudah menunggunya. Saat itu yang seimbang bertarung gulat dengan Kichaka hanyalah Bhima dan Balarama saja.
Perkelahian terjadi dan Kichaka tewas. Droupadi membangunkan penjaga dan menceritakan gangguan dari Kichaka padahal telah diberitahu bahwa suami Gandharwanya akan menghabisi siapapun yang mengganggunya sambil menunjukan mayat Kichaka yang remuk mengecil yang hanya dapat dilakukan oleh bukan kekuatan manusia biasa. Cerita kematian Kichaka berkembang dimasyarakat kerajaan Matsya dan sangat menakutkan bagi mereka bahwa Wirata parwa yang begitu cantiknya mempunyai suami Gandarwa yang pencemburu sehingga berpotensi menyakiti siapa saja terutama keluarga kerajaan.
Droupadi di minta di usir dari kerajaan Wirata, padahal tinggal 1 bulan saja dari akhir masa pembuangan 12 tahun plus 1 para Pandawa. Sementara itu mata-mata Duryodana hampir mulai menyerah untuk menemukan Pandawa dan mereka mendengar kabar bahwa Kichaka tewas ditangan Gandharwa yang Istrinya diganggu. Mereka tahu yang dapat membunuh Kichaka adalah Cuma dua orang di muka bumi ini.
Salah satunya adalah Bima dan Duryodana juga yakin bahwa istri Gandharwa itu wirata parwa Droupadi. Akhirnya Duryodana sampai pada rencana untuk menyerang Wirata. Melihat sifat Pandawa, mereka pasti akan menolong kerajaan Wirata wirata parwa ucapan terima kasih dan apabila Pandawa tidak ada di sana, paling tidak pundi kekayaan Duryodana menjadi meningkat.
Raja Trigarta, Susarma juga hadir saat itu dan kerajaan tersebut sudah lama merasa terganggu dengan Kichaka, saat ini Kichaka telah tiada sehingga Wirata dalam keadaan lemah. Diputuskan Raja Susarma akan menyerang dari Selatan dan Hastina dari Utara. Yudistira, bertindak seperti pikiran Duryodana, kecuali Arjuna mereka semua membatu Kerajaan Matsya beserta seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan wirata parwa tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana.
Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Brihanala (banci, samaran Arjuna) sebagai kusir.
Di medan perang, Uttara sangat ketakutan melihat pasukan Kurawa yang saat itu dlihatkan ada Bhisma, Drona, Kripa, Awatama, karna, Durydana dan ribuan lainnya. Ia membuang busur dan lari, kemudian dikejar oleh Brhidnala kemudian dipaksa masuk Kereta. Sesampainya mereka di dekat sebuah pohon Uttara diminta naik keatas untuk mengambil persenjataan Pandawa yang disembunyikan di sana.
Kemudian Brihanala menyentakan Busur Gendewanya yang bunyinya bergema di seluruh tempat. Bunyi itu sangat menakutkan pasukan Kourawa Kemudian ia meniupkan Terompetnya, Dewadatta yang berkumandang dan makin menggentarkan pasukan Kourawa.
Saat itu mereka berteriak-teriak bahwa Pandava datang berkali2. Trompet itu menandakan berakhirnya masa pengasingan yang jatuh tempo satu hari sebelumnya.
Bhisma juga memberitahukan pada Duryodana bahwa menurut pengetahuannya dan juga para ahli perbintangan maka tahun ke 13 masa pengasingan telah berakhir kemarin. Duryodana di sarankan untuk segera berdamai, wirata parwa ia menolak dan mengatakan tidak akan menyerahkan bahkan satu desapun kepada Pandawa serta memerintahkan mereka untuk segera berperang.
Kemudian Duryodana, sang putera Mahkota dillindungi bersama kumpulan sapi2 yang hendak dijadikan hasil kemenangan saat itu.
Arjuna tampil seorang diri melawan seluruh pasukan Korawa. Sebelum mengejar Duryodana Arjuna menyalami para Gurunya dan Bhisma dengan membidik Panah dekat kaki mereka. Saat ia mengejar Duryodana, seluruh pasukan bergerak melindungi Duryodana, Arjuna membuat Karna keluar dari arena, Ia mengalahkan Drona, Kripa, Aswatama dan akhirnya berperang Melawan Bisma.
Pertempuran antara Bisma dan Arjuna disaksikan para Dewa. Kemudian Arjuna mengeluarkan sebuah panah yang membuah mereka semua menjadi tak sadarkan diri. Kemudian ia merenggut semua pakaian merka. Kumpulan pakaian itu sebagai tanda kemenangan di hari itu.
Pasukan korawa pulang kandang dengan kekalahan memalukan ditangan satu orang, Arjuna. Peristiwa kemenangan Arjuna atas serangan Hastinapura tersebut telah membuat Utara berubah menjadi seorang yang pemberani. Ia ikut terjun dalam perang besar di Kurukshetra membantu pihak Pandawa. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha.
Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Saat batas waktu penyamaran telah melebih batas waktu, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan buruk. Wirata merasa bersalah karena telah memperlakukan mereka dengan kurang baik. Ia pun menyerahkan putrinya, Utaraa kepada Arjuna sebagai tanda penyesalan dan minta maaf.
Namun Arjuna menolaknya karena ia telah mengajar tarian dan kesenian pada mereka (dua uttara), untuk itu Utaraa (putri) pun diambil sebagai menantu untuk dinikahkan dengan Abimanyu, putranya yang tinggal di Dwaraka. Wirata pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha. Saat itu ada utusan dari Duryodana yang meminta mereka. Versi jawa Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan rajanya bernama Matsyapati.
Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka. Ketika naskah Wirata parwa disadur ke wirata parwa bahasa Jawa Kuna, tokoh Utaraa pun diganti namanya menjadi Utari, misalnya dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157. Ketika kisah MahaBharata dipentaskan dalam pewayangan, para dalang lebih suka memakai nama Wirata parwa daripada Utaraa. Perkawinan Abimanyu dan Utari dalam pewayangan dihiasi dengan tipu muslihat.
Ketika keduanya masih pengantin baru, paman Gatutkaca dari pihak ibu yang bernama Kalabendana datang menjemput Abimanyu untuk dibawa pulang karena istri pertamanya, yaitu Sitisundari putri Kresna merindukannya. Mendengar ajakan itu, Abimanyu langsung bersumpah di hadapan Utari bahwa dirinya masih perjaka dan belum pernah menikah. Ia bahkan menyatakan jika ucapannya adalah dusta maka kelak ia akan mati dikeroyok senjata.
Gatutkaca yang membela Abimanyu memukul Kalabendana. Pukulan tidak sengaja itu justru menewaskan pamannya tersebut. Kelak dalam perang Baratayuda, Abimanyu benar-benar tewas dalam keadaan dikeroyok musuh. Sementara itu, arwah Kalabendana juga datang menjemput keponakannya dengan cara memegang senjata Konta milik Karna dan menusukkannya ke pusar Gatutkaca.
Di saat itu pula, tiba utusan Duryodana yang menyatakan bahwa tindakan Arjuna itu telah membongkar penyamaran mereka dan minta Pandawa untuk mengasingkan diri kembali selama 12 tahun, karena telah terbongkar sebelum waktunya.
Yudistira tergelak tertawa, dan melalui utusan tersebut untuk menyampaikan pesan bahwa Yang terhormat kakek Bisma dan Mereka-mereka yang belajar perbintangan sangat mengetahui bahwa 13 tahun itu telah berlalu sebelum Arjuna meniupkan Terompet kerangnya dan menyentilkan tali gendewa yang membuat pasukan kurawa kucar-kacir ketakutan. ________________________________________ Search for: • Recent Posts • Variations in Indonesian Mahabharata • Mahabharata: The Myth of the Death of Bhisma, Drona, Karna, Duryodhana • Shocking secrets of the Pandavas and Draupadi from Mahabharat • Dwaraka (Dwarawati), Kota Sang Krishna yang Tenggelam • Soma: Scandalous Sex Life of the Founding Father • Shakuntala: Wirata parwa Indian Womanhood • A King’s Lust and the Birth of Vyasa’s Mother • The Tragic Trio: Madri • The Tragic Trio: Amba • The Bheel Mahabharata and Tale of Draupadi and Sex with Visuka the Snake King • Solar Eclipse And Hindu Mythology • ASWAMEDHA PARVA • 9th House – Bhikshashanam • 5th House -Putrika Putra Dattaputra yoga • WOMEN IN HINDU SCRIPTURES • On Two Wirata parwa of Revenge • KRISHNA’S LAST DECEIT • YUDHISTHIRA • The Story of Durdasa • DURYODHANA’S BURDEN OF DESTINY • Archives • January 2014 (3) • November 2013 (1) • June 2013 (6) • March 2012 (46) • February 2012 (17) • January 2012 (1) • September 2011 (2) • August 2011 (2) • May 2011 (2) • April 2011 (3) • February 2011 (1) • January 2011 (18) • December 2010 (4) • November 2010 (23) • July 2010 (3) • June 2010 (3) • April 2010 (13) • March 2010 wirata parwa • February 2010 (6) • January 2010 (6) • December 2009 (2) • Categories • Agama (1) • Bali (1) • Budaya / Culture (7) • Budi Pekerti (1) • English Language (4) • Folktales (4) • History/Sejarah (1) • Indonesia (25) • Jawa (3) • Jawa Tengah (1) • Kediri (2) • Mahabharata (47) • Mahabharata (95) • Nyoman S.
Pendit (18) • Sastra (1) • Uncategorized (23) • Wayang (63) • Meta • Register • Log in • Entries feed • Comments feed • WordPress.com • Wayang Nusantara
[EN] In the thirteenth year, the Pandavas disguised as ordinary people and served in the kingdom of Wirata.
Yudhisthira became Kangka, a legal advisor. Bhima became a cook named Wirata parwa. From this word 'balawa' comes the word 'belawa' in the Balinese language, those who are in charge of cooking during piodalan day in a temple or when there are other ceremonies. Arjuna became a transvestite (because of being cursed by Urwasi) for a year.
Nakula and Sahadewa disguised as caretakers of cows and horse keepers. Meanwhile, Drupadi became the queen’s servant. The story in Wirata Parwa was very touching. This Parwa also tells about the murder of Kicaka, the prince of Wirata who tried to rape Drupadi. In Balinese Di tahun ketiga belas, para Pandawa menyamar menjadi rakyat biasa dan mengabdi di kerajaan Wirata.
Yudhisthira menjadi Kangka, seorang penasihat hukum. Bhima menjadi tukang masak bernama Balawa. Dari kata ‘balawa’ inilah muncul kata ‘belawa’ dalam bahasa Bali, yaitu mereka yang bertugas memasak tatkala piodalan di pura atau ketika ada upacara lain.
Arjuna menjadi seorang banci (karena dikutuk oleh Urwasi) selama setahun. Nakula dan Sahadewa menjadi pengurus wirata parwa dan pemelihara kuda. Sementara itu, Wirata parwa menjadi pelayan ratu. Kisah dalam Wirata Parwa sangat mengharukan. Dalam Parwa ini dikisahkan juga tentang pembunuhan Kicaka, sang pangeran Wirata yang mencoba memperkosa Drupadi.Di Kerajaan Wiratha, Prabu Matswapati sedang bimbang karena belum mendapatkan seseorang sebagai jago Kerajaan Wiratha untuk melawan jago dari Kencarupa yaitu Rajamala.
R Seta yang ditunjuk untuk mencari orang sebagai jago Wiratha belum juga muncul, padahal waktu yang ditentukan tinggal satu hari lagi. Jika sampai pada waktu yang telah ditentukan dirinya belum mendapatkan jago untuk Wiratha, itu artinya Prabu Matswapati sendiri yang akan maju ke blabar kawat sebagai jago Wirata parwa melawan Rajamala jago dari Kencapura.
Ditengah suasana hati Prabu Matswapati yang sedang gundah itu datanglah Raden Seta yang sudah membawa serta seseorang yang bertubuh kekar tinggi besar yang tak lain adalah Jaka Bilawa putra Ki Jagal Walakas dari desa Pejagalan. Sang Prabu Matswapati merasa wirata parwa karena Jaka Bilawa telah menyatakan kesanggupannya sebagai jago Wiratha. Maka segeralah berangkat Jaka Bilawa dengan diantar oleh Raden Seta menemui Patih Kincaka Rupa dan Rupakenca.
Di tempat lain Patih Kincakarupa dan Rupakenca beserta Raden Rajamala sedang berunding menyusun rencana merebut kekuasaan Wiratha dari tangan Prabu Matswapati dengan cara adu jago manusia. Dengan cara ini Patih Kincakarupa yakin akan dapat merebut kekuasaan Wiratha dengan mengandalkan kesaktian Rajamala.
Kemudian datanglah Raden Seta dan Bilawa. Maka wirata parwa perang tanding jago Wiratha dan jago Kencapura dan sebagai taruhannya adalah Negara Wiratha, siapa yang jagonya kalah harus pergi dari wiratha. Melihat kejaadian itu Dwijakangko yang menyaksikan pertarungan dari jauh segera meminta kepada Kedi Wrahatnala untuk membantu Bilawa dengan melepaskan senjata Kyai Bramaskara ke dalam sendang Watari.Sehingga air sendang yang telah berubah menjadi panas dan beracun tidak bias menghidupkan Rajamala lagi.
Ketika Rajamala tewas oleh Bilawa diceburkan lagi ke dalam sendang watarijasadnya justru hancur lebur. Melihat jagonya telah tewas Patih Kincakarupa dan Rupakenca mengamuk mengejar Bilawa. Tapi di tengah jalan bertemu dengan emban Salindri,wanita yang telah lama mampu mencuri hatinya karena kecantikannya. Wirata parwa Kincakarupa memaksa akan memperistri Salindri. Salindri yang tidak bias mengelak, beralasan agar Patih Kincaka menemui suaminya yang berujud gandarwa penunggu regol kerajaan Wirata pada malam hari.
Patih Kincakarupa yang telah mabuk kepayang menyanggupi permintaan Salindri dengan ditemani Rupakenca .Tepat pada tengah malam datanglah kedua ksatria itu di deket regol batas kota Wiratha.
Bilawa yang sudah dimintai tolong sebagai gandarwa oleh Salindri pun telah bersiap menunggu. Dan kedua ksatria itupun tewas seketika dihajar oleh gandarwa penjelmaan Bilawa.Gegerlah wirata parwa Wiratha atas tewasnya kedua ksatria tersebut, dan sampailah berita itu ke telinga Prabu Matswapati. Di negeri Astina Prabu Duryudana menerima saran dari kakeknya yaitu Resi Bisma agar segera menjemput para pandawa yang sedang menjalani hukuman dari kurawa selama 13 tahun karena kalah dalam pertarungan dadu.Dan Resi Bisma meminta Duryudana agar menyerahkan Negara Amarta kepada para Pandawa.
Datanglah Raja Trigarto Prabu Susarma mengajak Prabu Duryudana agar menggempur Kerajaan Wiratha yang telah lemah karena semua senopati Wiratha telah gugur. Prabu Susarma yang sebenarnya merasa sakit hati kepada Prabu Matswapati karena lamarannya kepada Dewi Utari ditolak telah berhasil mempengaruhi Prabu Duryudana dengan meyakinkan bahwa Pendawa yang dicari – cari sekarang berada di negeri tersebut.
Berangkatlah pasukan Astina dan pasukan Trigarto menggempur Wiratha. Di negeri Wiratha Prabu Matswapati merasa bersedih atas kematian kedua senopatinya yaitu Kincakarupa dan Rupakenca oleh Salindri. Dan sebagai hukuman Salindri harus pergi dari Wiratha. Tiba – tiba Wiratha kedatangan mungsuh yang tak lain adalah dari Astina dan Trigarto.
Putra – Wiratha tidak ada yang mampu mengalahkan musuh maka tampil lah Bilawa ke medan perang dan berhasil membunuh Prabu Susarma. Raden Utara yang tampil bersama Wrahatnala berhasil mengalahkan Kurawa. Prabu Matswapati merasa gembira putra – putranya mampu mengalahkan musuh.Dwijakangko menceritakan kejadian yang sebenarnya bahwa yang dapat mengalahkan musuh adalah Bilawa dan wrihatnala.
Prabu Matswapati merasa tersinggung oleh ucapan Dwijakangko. Di pukullah Dwijakangko dengan bungkul di jidatnya hingga berdarah. Di saat itu datanglah Bilawa ,Wrahatnala,Salindri Pingten dan Tangsen.Penyamaran pendawa selama satu tahun di negeri Wiratha itupun berakhir. • ► 2016 (2) • ► November (2) • ▼ 2013 (25) • ▼ Agustus (25) • LAMPAHAN MURWA KALA • PEMENTASAN BERBAGAI JENIS WAYANG • PAKEM WAYANG SEBAGAI TUNTUNAN PEDHALANGAN • LAKON KANOMAN DAN KASEPUHAN • DASAR-DASAR ETIKA PEDHALANGAN • PENGETAHUAN TENTANG RICIKAN WAYANG • PAKEM RADYA PUSTAKA • MENATA WAYANG PURWA • PENJELASAN SERAT SASTRAMIRUDA • JENIS - JENIS PEMENTASAN WAYANG • BENTUK WAYANG PURWA • NEGARA, KAHYANGAN DAN KASATRIYAN • WANDA WAYANG PURWA • PERLENGKAPAN DAN PIRANTI PERTUNJUKAN • DALANG SEBAGAI GURU MASYARAKAT -3 • DALANG SEBAGAI GURU MASYARAKAT -2 • DALANG SEBAGAI GURU MASYARAKAT -1 • WAHYU TOPENG WAJA.3 • WAHYU TOPENG WAJA .2 • “ WAHYU TOPENG WAJA “.1 • CAKEPAN ADA ADA GIRISA • SEMAR MBARANG JANTUR • WIRATHA PARWA • WEJANGAN DEWARUCI • WEJANGAN GATHUTKACA WINISUDA
Yudhistira mengumpulkan semua orang yang sampai saat itu masih menjadi pengikutnya.
Dia meminta ijin untuk meninggalkan mereka dan pergi. Pandava harus menyamar dan tak ada seorang pun yang boleh mengetahui keberadaan mereka.
Yudhistira sangat sedih dan hampir tak sadarkan diri karena memikirkan perpisahan dengan orang-orang yang telah setia padanya. Pandava memutuskan pergi ke kerajaan Matsya karena rajanya yang baik dan dermawan.
Mereka memikirkan masak-masak tentang penyamaran dalam pengasingan di tahun ketigabelas itu. Yudhistira menyamar sebagai brahmana bernama Kanka dan akan menjadi teman bagi sang raja. Bhima menyamar sebagai juru masak dan juga pegulat bernama Valala. Arjuna sebagai seorang guru tari yang juga pandai bermain music dan menyanyi bernama Brihanala. Nakula menjadi pengurus kuda bernama Damagrathi. Sadheva sebagai Tantripala yang ahli dalam mengurus sapi.
Sedangkan Drupadi menyamar sebagai seorang ahli tata rias wanita bernama Sairandhri. Mereka pun mulai menyusuri sungai Yamuna menuju kota Virata.
Para pandava menyembunyikan senjata mereka yang mereka bungkus dengan kulit di sebuah pohon sami. Yudhistira memoho pada para dewa untuk menjaga senjata pandava yang akan mereka ambil satu tahun lagi.
Pandava segera meninggalkan tempat itu setelah menggantung senjata mereka. Mereka memutuskan nama yang akan dipakai saat kejadian-kejadian darurat muncul yaitu Jaya, Jayesa, Vijaya, Jayatsena, dan Jayadbala. Saat fajar tiba, Yudhistira lebih dulu mulai penyamarannya. Raja Virata sangat bahagia dengan kedatangannya.
Ia sangat menghormati Yudhistira dan memintanya tinggal di Virata. Yudhistira mengajukan syarat yaitu tidak akan memakan makanan yang telah disentuh oleh siapapun serta makan hanya saat malam hari selama setahun. Raja Virata dengan senang hati menyetujui permintaan Yudhistira. Beberapa hari kemudian Bhima memasuki kota Virata dengan membawa sendok besar. Dia memperkenalkan dirinya pada sang raja dengan nama Valala yang pandai memasak dan juga seorang pegulat.
Raja mengijinkan Bhima tinggal di istananya dan mengawasi seluruh dapur istana. Raja sangat bahagia atas kedatangannya. Bhima pun bahagia karena ia menikmati tugas-tugas yang dilimpahkan padanya. Drupadi memasuki Virata dan menyamar menjadi Sairandhri. Semua orang mengagumi kecantikannya. Ia memasuki istana dan menghadap sang ratu, Sudesna.
Ia meminta ijin untuk tinggal sebagai seorang tata rias. Dia mengaku sebagai istri dari wirata parwa gandharva yang sedang mendapatkan kutukan selama setahun. Bila ia dihina, maka suaminya akan membunuh orang yang menghinanya. Tapi ratu khawatir kecantikan Sairandhri akan menggoda suaminya.
Drupadi tidak akan menyakiti sang ratu. Ia akan selalu berada di ruangan dalam istana dan tidak akan dilihat oleh siapa pun.tapi dia punya dua permintan bahwa ia tidak akan memakan makanan sisa dan tidak akan memijit kaki orang lain. Sang ratu menyetujui permintaannya.
Ada seorang pegulat dari negeri asing yang telah mengalahkan semua pegulat di Virata. Ia sangat sombong. Atas saran Yudhistira, Virata memanggil Bhima untuk bertanding.
Pertarungan pun berlangsung dengan sengit. Akhirnya Bhima mengangkat musuhnya dan memutar-mutarnya hingga tak sadarkan diri. Bhima kemudian membunuhnya. Sang raja sangat senang dengan kekuatan Bhima. Raja menjadi lebih menyayanginya. Saat itu adalah tahun ketigabelas masa pengasingan Pandava. Suatu malam Radheya sedang tertidur.
Dewa Surya yang penuh cinta wirata parwa putranya yang malang, mengunjunginya dalam mimpi. Ia menyamar menjadi brahmana. Ia memberitahu Radheya bahwa besok Dewa Indra akan datang untuk meminta Kavaca dan Kundalanya. Surya menyarankan agar Radheya tidak memberikan kedua benda itu. Tapi Radheya tidak bisa menolak permintaan seseorang yang datang padanya pada tengah hari ketika ia telah selesai memuja Surya.
Ia terikat pada janjinya, meskipun ia harus memberikan nyawanya. Dewa Surya tidak bisa berbuat apa-apa.
Ia hanya berpesan agar Radheya meminta anugerah dari Dewa Indra setelah ia memberikan Kavaca dan Kundalanya yaitu SAKTI-nya.kemudian Radheya terbangun dari mimpinya. Saat itu tengah hari. Radheya telah selesai melakukan pemujaannya dan ia sedang menunggu Indra. Kemudian datang seorang brahmana yang meminta sedekah. Ia meminta Kavaca dan Kundala milik Radheya.
Radheya menawarkan hal yang lain, tapi brahmana itu tidak mau. Radheya berkata pada brahmana itu kalau ia tahu bahwa brahmana itu adalah dewa Indra. Kemudian dengan bangga Radheya memberikan Kavaca dan Kundalanya. Ia bahagia karena ia mengorbankan hidupnya demi Dharma.
Dewa Indra menyuruh Radheya untuk meminta anugerah padanya. Kemudian Radheya meminta anugerah Sakti-nya dewa Indra. Dewa Indra memberikan anugerah yang diminta Radheya. Senjata itu hanya bisa digunakan sekali saja, setelah itu akan kembali lagi pada dewa Wirata parwa.
Kemudian Indra pun pergi meninggalkan Radheya. Dalam perjalanan kembali dari ruangan kakaknya, ia masuk ke taman Sudesna. Ia tercengang melihat Sairandhri. Ia menginginkan Sairandhri untuk menjadi istrinya. Sairandhri menolak lamaran Kicaka dan memperingatkan Kichaka bahwa ia adalah istri dari lima gandharwa.
Jika kelima suaminya mengetahui hal ini maka mereka akan membunuh Kichaka. Lalu Sairandhri pergi. Sudesna mendengar bahwa adiknya sakit parah dan beristirahat di tempatnya. Ia menderita karena keinginannya. Sang ratu mengutus Sairandhri untuk mengambilkan anggur di tempat Kichaka. Sairandhri menolak dan memperingatkan ratu bahwa ia nanti akan dihina oleh kicaka.
Sudesna marah dan tetap menyuruh Sairandri pergi. Sairandhri mematuhi perintahnya dan pergi menuju istana Kichaka. Kichaka telah menunggu kedatangan Sairandhri. Wirata parwa mendekati Sairandhri dan mencoba memegang tangannya, tapi Drupadi mendorongnya ke tanah dan mencoba untuk melarikan diri.
Ia pergi ke kediaman sang raja. Bhima yang kebetulan berada di tempat itu sangat marah, tapi Yudhistira menghentikannya dengan pandangan mata karena waktunya tidak tepat. Drupadi sangat marah pada Yudhistira. Ia meminta keadilan sang raja, tapi raja tidak bisa berbuat apa-apa dan menyuruh Drupadi pergi dari tempat itu. Yudhistira sangat marah dengan tindakan sang wirata parwa.
Kemudian ia memberitahu Drupadi wirata parwa segera pergi dari aula. Dengan pandangan seperti api pada orang –orang yang berada di aula dan pada Yudhistira khususnya, Drupadi pergi dari aula itu.
Malam itu ketika semua orang telah tertidur, Drupadi bangun dari tempat tidurnya dan menuju tempat Bhima tidur. Ia membangunkan Bhima dan menceritakan pada Bhima bagaimana Kichaka telah menyakitinya. Bhima berjanji bahwa ia akan membunuh Kichaka.
Drupadi sangat senang dengan Bhima. Ia meninggalkan Bhima dan berjalan tergesa-gesa ke ruangannya. Saat itu mendekati tengah malam. Bhima dan Drupadi wirata parwa kedatangan Kichaka di aula menari.
Kichaka datang dengan hati yang bahagia. Ia mendekati seseorang yang duduk di kursi dan ketika ia memegang tangannya, itu wirata parwa tangan seorang pria. Bhima bangkit dari tempat duduknya. Ia menjambak rambut Kichaka dan mendorongnya ke lantai. Pertarungan terus berlanjut hingga akhirnya Kichaka di bunuh oleh Bhima.
Sairandhri sangat bahagia dengan semua ini. Sekarang Duryodhana tahu dimana Pandava tinggal, yaitu di kerajaan Matsya. Kerajaan Matsya menjadi makmur dan kaya yang sesuai dengan petunjuk Bhisma. Selain itu berita kematian Kichaka, hanya Bhima yang mampu melakukannya. Duryodhana dan pasukannya wirata parwa segera menyerang Virata dan akan mengambil seluruh hartanya. Perang dimulai. Keempat Pandava bergerak dengan cepat.
Beberapa saat kemudian, Trigarta dan Susarma telah menjadikan raja Matsya sebagai tawanan. Bhima segera menyelamatkannya dan menangkap Susarma. Yudhistira menyuruh Bhima untuk melepaskan Susarma. Susarma pergi meninggalkan mereka dengan wajah merah karena malu. Ternak-ternak sudah dikembalikan. Musuh sudah dikalahkan. Mereka menginap di tenda dan akan kembali ke Matsya setelah matahari terbit.
Pada hari setelah serangan Trigarta, Kaurava menyerang kota Matsya dan mencuri sapi-sapi. Disana hanya ada putra bungsu Virata yaitu Bhuminjaya atau dikenal dengan nama Uttara Kumara. Tetapi Uttara Kumara tidak bisa bertarung tanpa seorang kusir yang hebat.
Kemudian Sairandhri memberitahu putrid Uttara bahwa Brhannala adalah kusir Arjuna saat ia mengalahkan Indra. Putri Uttara segera memberitahu adiknya. Pangeran Uttara bersedia menuju medan perang bersama Brhannala sebagai kusirnya.
Mereka berangkat menuju arah kemana Kaurava membawa ternak-ternak mereka. Arjuna telah sampai di pohon Sami. Ia menyuruh pangeran memanjat pohon itu untuk mengambil Gandivanya. Brhannala menjelaskan pada pangeran bahwa ia sebenarnya adalah Arjuna. Pangeran sangat bingung.
Arjuna juga menceritakan keberadaan saudara-saudaranya di istana. Pangeran sangat menyesal dan merasa malu terhadap dirinya sendiri. Ia bersujud wirata parwa kaki Arjuna dan meminta maaf atas semua hinaan yang telah dilontarkan padanya.
Kemudian Arjuna naik ke kereta. Ia member hormat pada Gandiva dan mengambilnya. Kereta itu berbalik kembali ke kemah musuh. Arjuna bergerak cepat ke medan perang dengan membawa Gandivanya dan meniup terompet kerangnya, Devadatta. Drona merasa bahagia mendengar suara Devadatta.ia mengatakan bahwa mereka harus mengembalikan sapi-sapi itu dan kembali ke Hastinapura. Tapi Radheya menolaknya. Semangatnya wirata parwa menggebu-gebu ingin bertarung dengan Arjuna.
Ia mengatakan bahwa orang yang pulang tanpa bertarung adalah pengecut. Krpa menasihatinya bahwa ia terlalu sombong akan kemampuannya yang sebnarnya tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan Arjuna. Asvatthama juga membela ayah dan pamannya. Ia mengatakan bahwa Radheya terlalu sombong akan kekuatannya. Asvatthama meletakkan panah dan busurnya dan duduk terdiam diatas keretanya. Bhisma membenarkan kata-kata Drona, Krpa dan Asvatthama. Kemarahan Asvatthama reda setelah mendengar kata-kata Bhisma. Bhisma menasihati Duryodhana, Arjuna berani menampakkan dirinya karena ia tahu bahwa masa pembuangannya telah berakhir.
Bhisma meminta pada Dhuryodhana agar ia mengembalikan kerajaan para Pandava dan berdamai dengan mereka. Wajah Duryodhana pucat karena mimpinya mengirim Pandava kembali ke hutan telah sirna. Ia marah dan tidak akan mengembalikan kerajaan Pandava.
Mereka harus perang. Bhisma segera mengatur formasi pasukan dengan formasi Vajra Vyuha. Arjuna tersenyum melihat formasi yang diatur oleh kakeknya. Ia melihat panji kakeknya yang akan membuat hati para musuh gentar. Arjuna meluncurkan panahnya di kaki Drona, Krpa dan Bhisma untuk memberikan salam dan meminta ijin unuk bertempur. Perang di mulai. Arjuna mengejar pasukan yang membawa sapi-sapi ke Hastinapura. Beberapa saudara Duryodhana tidak mampu menghalanginya.
Arjuna melepaskan panahnya untuk melepaskan sapi-sapi. Sapi-sapi Virata kembali ke kota. Arjuna wirata parwa mendekati Duryodhana. Arjuna berusaha untuk tidak melukai Drona. Ia melawan dua saudara Duryodhana. Arjuna meminta pangeran untuk membawanya ke tengah medan perang. Arjuna tidak gentar dengan semua pasukan Dhuryodhana meskipun ia hanya sendiri.
Ia bertarung dengan Radheya cukup lama. Tetapi pada akhirnya Radheya mengakui bahwa ia kalah. Tubuhnya dipenuhi panah Arjuna. Ia harus pergi dari medan perang. Raja Virata memasuki kota dengan kemenangan setelah mengalahkan Trigarta. Ia disambut oleh istri dan putrinya. Puti Uttara menceritakan tentang serangan pasukan Kaurava dan pangeran Uttara seorang diri menghadapinya dengan Brhannala sebagai kusirnya.
Yudhistira menenangkannya. Tidak ada yang bisa mengalahkannya selama Brhannala yang menjadi kusirnya. Seorang penggembala memberitahu Virata bahwa pangeran telah menang.
Raja mengajak Yudhistira bermain dadu. Virata sangat bangga pada puteranya. Yudhistira berkata pada Virata bahwa keberuntungan sang pangeran karena bersama Brhannala. Raja tidak senang dengan kata-kata Yudhistira dan ia memukul dahi Yudhistira dengan piring hingga dahinya berdarah. Ia menengadahkan tangannya dan tidak membiarkan setetes darah pun jatuh ke tanah.
Drupadi datang dan mengusap alisnya dengan kain sutera dan mencoba menghentikan pendarahannya. Para Pandava bangun pagi-pagi sekali. Mereka pergi ke aula istan dan memperkenalkan diri mereka pada Virata bahwa mereka adalah lima Pandava dan istri mereka, Drupadi. Virata sangat terkejut. Ia bersujud di kaki Pandava. Pangeran Uttara datang dan mengatakan pada ayahnya bahwa Arjunalah yang telah melawan Kaurava dan membawa kemenangan pada Virata.
Raja Virata memeluk Arjuna dan memberikan putri Uttara padanya. Arjuna menerimanya dan ia jadikan sebagai menantunya yaitu menjadi istri Abhimanyu. Di seluruh kota, semua orang membicarakan tentang Pandava. Yudhistira mengrim pesan pada oranorang yang berada di pihaknya, yang paling pertama adalah Krsna dan Drupada. Mereka segera menuju Virata. Krsna datang bersama Balarama, Subhadra dan Abhimanyu.
Pertemuan Pandava dan Krsna sangat mengharukan. Pernikahan Abhimanyu akan segera dilangsungkan. Semua raja berada disana untuk menghadiri pernikahan itu yang dirayakan dengan semarak.
Para Pandava sangat bahagia. Mereka mengakhiri tiga belas tahun masa pembuangan yang penuh penderitaan dengan melihat anak-anak mereka bahagia. Kebahagiaan semua orang sangat mendalam saat hari wirata parwa Abhimanyu. Pendiri dari Purva Mimamsa adalah Rsi Jaimini (400 SM) yang merupakan murid dari Maha Rsi Vyasa. Wirata parwa menulis kitab Mimamsa Sutra yang menjadi sumber pokok ajaran Mimamsa. Dalam perkembangannya, muncullah kitab komentar terhadap Mimamsa Sutra yang ditulis oleh Sabaraswamin.
Komentar ini diterangkan dengan cara berbeda oleh Kumarila Batta dan pengikut Prabhakara, dimana pokok ajaran mereka pada prinsipnya tidak berbeda. Mimamsa dibedakan menjadi dua, yaitu Purva Mimamsa dan Uttara Mimamsa yang disebut juga dengan Vedanta.
Purva Mimamsa atau Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda, suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang hanya berurusan dengan masalah mantra dan Brahmana saja.
Disebut Purva Mimamsa karena ia lebih awal (purva) dari pada Uttara Mimamsa (Vedanta), dalam pengertian logikadan tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis. Bagi Jaimini, kitab suci Veda secara praktis hanyalah Tuhan semata, dan Veda yang abadi tersebut tidak memerlukan dasar apapun untuk sandarannya.
Tak ada pewahyu Ilahi, karena Veda itu sendiri merupakan otoritasnya, yang merupakan satu-satunya sumberpengetahuan Dharma kita. Dalam sistem Mimamsa tak diperlukan adanya Tuhan. Sutra pertama dari Mimamsa sutra berbunyi: “Athato Dharmajijnasa”, yang menyatakan keseluruhan tujuan dari sistemnya yaitu: satu keinginan untuk mengetahui Dharma atau kewajiban, yang terkandung dalam pelaksanaan upacara-upacara dan kurban-kurban yang diuraikan oleh kitab suci Veda.
Dharma itu sendiri memberikan ganjarannya. Sistem filsafat Mimamsa termasuk dalam kelompok astika yang ajarannya didasarkan sepenuhnya pada kitab suci Veda. Mimamsa mengakui kewenangan Veda sebagai kitab suci yang mengandung kebenaran sejati. Sebagai filsafat, Mimamsa mencoba menegakkan keyakinan keagamaan Veda.
Kesetiaan atau kejujuran yang mendasari keyakinan keagamaan Veda terdiri dari bermacam-macam unsur, yaitu: 1). Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian dan menikmati hasil dari ritual di sorga, 2).
Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang melestarikan dampak dari ritual yang dilaksanakan, dan 3). Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan dalam hidup ini bukanlah suatu wirata parwa.
Pengikut Buddha tidak mengakui adanya roh dan kenyataan dunia. Pokok pembicaraan pada sistem Mimamsa ialah pengukuhan kewibawaan Veda bagian Brahmana yang menekankan pada upacara keagamaan, maka dari itu Mimamsa juga disebut dengan Karma Mimamsaatau Dharma Mimamsa, karena kitab Brahmana merupakan karma kanda dari Veda. Pembicaraan mengenai upacara keagamaan sudah ada pada jaman Brahmana dan sebagai hasilnya sudah termuat dalam kitab Kalpasutra, Mimamsa juga membahas ilmu tentang suara dan mantra, tetapi perhatian pokok Mimamsa adalah penggunaan meditasi dengan ritual.
Tujuan utama sistem filsafat Wirata parwa adalah untuk mempertahankan dan memberikan landasan filsafat ritualisme bagi kitab suci Veda. Dukungan diberikan dalam dua cara, yaitu (1) dengan memberikan sebuah metodologi interpretasi agar ajaran-ajaran Veda yang rumit mengenai ritual-ritual bisa dipahami, wirata parwa dan diikuti tanpa suatu kesulitan, dan (2) dengan menyediakan suatu justifikasi filsafat ritualisme.
Dukungan ini dikembangkan berdasarkan nalar untuk memperkuat posisi Veda sebagai kitab suci sabda Tuhan. Selain itu, tujuan Mimamsa adalah menyusun aturan-aturan cara menerangkan isi Veda yang sebenarnya atau untuk menegakkan dharma.
Ajaran Mimamsa bersifat pluralistis dan realistis, artinya sistem filsafat ini menerima adanya kejamakan jiwa dan pengadaan asas benda yang menyelami alam semesta ini, serta mengetahui bahwa objek-objek pengamatan ini adalah maya.
Mimamsa menolak pandangan Budha dan advaita yang menyatakan bahwa dunia ini maya. Mimamsa juga percaya adanya jiwa, sorga, neraka dan para dewa yang semuanya ini dapat dicapai melalui upacara yang tepat menurut kitab suci Veda. Jiwa dan unsur-unsur materi pembentukan dunia ini menurut Mimamsa bersifat permanen atau kekal. Semua benda yang ada di dunia ini ditentukan oleh hukum karma. Mimamsa tidak mengakui adanya Tuhan, sedangkan mengenai teori tentang atom sama dengan yang dikemukakan oleh Vaisesika, akan tetapi berbeda mengenai atom-atom tersebut.
Menurut Mimamsa atom-atom tidak membutuhkan pengaturan dari Tuhan, melainkan diatur oleh hukum karma. Tidak ada penciptaan dan penghancuran dunia ini, karena keberadaan dunia ini adalah kekal.
Metafisika Mimamsa bersifat prularistis dan realistis, artinys peecaya adanya jumlah jiwa yang tak terhitungdan dunia yang nyata, tetapi keduanya berbeda. Mimamsa percaya dengan hanya realitas seperti kenyataan adanya energi, moral, sorga, neraka dan sebagainya yang tidak dapat diketahui melalui pengalaman indriya. Menurut Mimamsa bahwa setiap benda di dunia ini memiliki suatu kekuatan tertentu yang ada di dalamnya. Kekuatan itu disebut sakti, yang tidak dapat dilihat dengan mata.
Contohnya: sebuah benih (kacang hijau) yang memiliki suatu kekuatan di dalamnya sehingga benih tersebut dapat tumbuh kecambah. Kecambah tersebut tidak wirata parwa tumbuh apabila ada yang mengganggu biji tersebut sehingga rusak. Ini berarti ada hubungan erat antara benda (biji kacang hijau) dengan kekuatan atau sakti. Selain pada benih, kekuatan yang tidak tampak itu juga dapat kita lihat pada api dangan kekuatan sinar membakarnya, dan kekuatan yang ada pada air.
Dharma wirata parwa umum menurut Mimamsa adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber dari Veda atau kebajikan-kebajikan yang bersifat keagamaan yang mengandung tuntunan-tuntunan kesusilaan yang mutlak. Dharma tidak akan mendatangkan pahalanya secara langsung melainkan dengan perantaraan, artinya walaupun seseorang telah melakukan upacara keagamaan dengan benar dan berdasarkan kemurnian kesusilaan, ia tidak akan secara langsung memetik buah dari perbuatannya itu.
Sebab semua tindakan mengenai upacara hanya bersifat sementara, tidak abadi. Oleh karena itu upacara tidak mungkin mempunyai hubungan langsung dengan hasilnya. Pelaksanaan upacara adalah suatu kelompok tindakan yang akan berakhir bila tindakan telah selesai dilakukan, sehingga pahala itu tidak akan diperoleh setelah upacara itu dikerjakan, melainkan harus menunggu beberapa waktu.
Terlebih untuk mencapai sorga, sebab sorga akan diperoleh bila orang itru telah meninggal dunia. Timbul pertanyaan apa yang dapat mengantarkan pahala tersebut sehingga tepat sasaran? Mimamsa mengemukakan suatu ajaran yang disebut Apurva. Kata Apurva berarti tenaga yang tidak tampak. Suatu acara yang telah dilakukan seseorang akan melahirkan tenaga atau daya yang tidak tampak di dalam jiva orang yang melakukan ritual tersebut.
Tenaga atau daya ini akan terus bertahan, sehingga pahala yang sesuai dengan perbuatan itu menjadi masak. Dengan demikian dapat dikatakan Apurva adalah suatu jembatan yang menghubungkan ritual dengan buahnya. Pahala tersebut dapat dinikmati dalam hidup di dunia ini dan juga di alam akhirat.
Dalam ajaran Mimamsa dinyatakan ada 4 katagori, yaitu: substansi, kualitas, aktivitas dan sifat umum. Ada 9 substansi, yaitu: tanah, air, api, wirata parwa, akasa, akal, waktu, ruang dan jiwa. Kumarila Bhatta menambahkan 2 substansi lagi yaitu: tamas atau kegelapan dan sabda atau suara.
Substansi dalam ajaran Mimamsa dapat diamati, umpamanya debu yang tampak dalam sinar matahari. Sesungguhnya katagori-katagori tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dapat dikatakan bahwa semuanya mewujudkan kesamaan di dalam perbedaan atau benda-benda. Adanya kesamaan kualitas dengan substansi, maka kita dapat menyebutkan kualitas dari substansi itu, misal: unga mawar adalah merah.
Bila direnungkan tentulah substansi tidak sama secara mutlak, umpama bunga mawar tidak sama dengan merah, akan tetapi tidak benar juga bahwa substansi berbeda mutlak dengan kualitas, umpama mawar tidak dapat dibedakan secara mutlak dengan merahnya.
Keduanya secara bersama-sama mewujudkan suatu satu-kesatuan, yaitu di mana ada mawar disana ada merah. Menurut Mimamsa jiva berbeda dengan tubuh, indriya dan budhi. Jiva jumlahnya sangat banyak dan tak terhitung, tiap tubuh ada satu jiva. Semua jiva memiliki kesadaran bersifat kekal, berada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.
Disamping menjadi subjek pengetahuan, jiva juga menjadi objek pengetahuan, artinya kesadaran akan adanya objek mengandung di dalamnya kesadaran akan adanya pribadi. Pribadi itu segera dinyatakan oleh objek yang dikenal, umpamanya di dalam ucapan ‘Aku melihat sebuah meja’.
Ucapan ini bermaksud menyatakan adanya ‘meja’ dan sekaligus menyatakan adanya ‘Aku’. Demikianlah pribadi sekaligus menjadi subjek dan objek pengetahuan, hal ini disebabkan karena dalam pribadi ada dua unsur yaitu: unsur substansi dan unsur kesadaran.
Yang dimaksud unsur substansi adalah pribadi yang menjadi objek pengetahuan, sedangkan unsure kesadaran ialah pribadi yang menjadi subjek pengetahuan.
Menurut Mimamsa yang mengemudikan tubuh adalah jiva. Pada mulanya tujuan hidup manusia menurut Mimamsa adalah mencapai sorga, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Mimamsa menyatakan bahwa tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah kelepasan.
Veda menurut Mimamsa tanpa memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan. Mimamsa tidak memberikan tempat kepada Tuhan didalam sistemnya. Dunia bukan diciptakan oleh Tuhan, sebab dunia tidak berawal dan berakhir.
Tidak ada penciptaan dan peleburan, alasannya adalah seandainya dunia ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pengasih, maka tidak mungkin di dunia ini ada penderitaan. Namun Mimamsa bukan bersifat atheis, karena Mimamsa percaya dengan adanya Veda yang bersifat kekal yang di dalamnya terdapat deva-deva sebagai manifestasi Tuhan. Dalam usaha membuktikan kewenangan Veda, Mimamsa membahas secara berhati-hati tentang alam dari ilmu pengetahuan, dunia, dan kriteria dari kebenaran dan kesalahan, dan sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya.
Tujuan Mimamsa tentang sumber, alam dan keterbatasan dari ilmu pengetahuan terkait dengan beberapa hal atau masalah wirata parwa sangat menarik akan dibahas di bawah ini! Sistem Mimamsa seperti sistem filsafat India lainnya menerima dua jenis pengetahuan, yaitu: immediate dan mediate. Immediate ialah pengetahuan yang terjadi tiba-tiba, langsung dan tak terpisahkan, sedangkan mediate ialah pengetahuan wirata parwa diperoleh melalui perantara atau media.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang lain dan tidak dipengaruhi oleh keadaan yang salah. Objek pengetahuan immediate haruslah sesuatu yang ada atau zat, bila objek pengetahuan itu dikaitkan dengan indriya-indriya kita, maka dalam jiva kita akan muncul pengetahuan kita, maka dalam jiva kita muncul pengetahuan immediate tentang hal tersebut.
Bila objek ini dikaitkan dengan indriya, mula-mula muncul kesadaran tentang objek itu. Yang kita ketahui bahwa objek itu sendiri adalah benda, seperti apa adanya, tetapi belum dapat dimengerti. Pengetahuan yang berdasarkan apa yang tidak dapat ditentukan terlebih dahulu serta datangnya secara tiba-tiba disebut Nirvikalpa pratyaksa atau alocana-jnana. Bila pada tingkatan berikutnya kita menginterpretasikan arti dari objek itu berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, sampai kita mengerti wirata parwa mengenai benda itu, itulah persepsi yang sudah kita tentukan yang dinyatakan dengan pertimbangan-pertimbangan, pengetahuan semacam ini disebut Savikalpa pratyaksa.
Pengetahuan yang didapat dari indriya adalah pengetahuan yang sebenarnya tentang dunia yang dibentuk oleh bermacam-macam benda. Walaupun tahap pertama tidak dikenal secara tegas, yang kemudian pada tahap kedua dikenal secara lengkap walaupun masih dalam tahap awal.
Dalam tahap kedua, pikiran hanya memperkirakan dengan mempergunakan bantuan pengalaman sebelumnya, apa yang muncul, tapi bukan berasal dari khayalan.
Selanjutnya hendaklah diakui bahwa semua bentuk penglihatan berisi interpretasi pikiran di dalamnyadan tidak diperlukan suatu khayal atau ilusi terhadap apa yang dilihat.
Demikian pula dengan objek dunia yang bervariasi ini memiliki sifat yang berbeda-beda yang telah memberikan gerak pertama kepada pikiran bila kita menyadarinya. Kumarila Bhatta mengajarkan hanya enam alat pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan (pramana), sedangkan Prabhakara hanya mengakui lima.
Enam alat pengetahuan itu adalah: pratyaksa (pengamatan), anumana (penyimpulan), upamana (perbandingan), sabda (kesaksian), arthapatti wirata parwa tanpa bukti), dan anupalabdhi (tanpa persepsi). Anupalabdhi hanya diakui oleh Kumarila Bhatta.
Pengamatan dan penyimpulan dalam Mimamsa sama dengan yang dikemukakan oleh Nyaya. Pandangan Mimamsa mengenai perbandingan berbeda dengan pandangan Nyaya. Nyaya mengakui perbandingan adalah sumber pengetahuan yang unik, tetapi Mimamsa selain menerima perbandingan sebagai sumber yang berdiri sendiri, menerima pula perbandingan sebagai perasaan atau hal yang sangat berbeda.
Menurut Mimamsa, pengetahuan muncul dari perbandingan bila kita tahu bahwa objek yang diingat adalah persis seperti yang diterima. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diklasifikasikan dalam persepsi, wirata parwa objek yang dikenal sama.
Sabaraswanin mendefinisikan upamana sebagai pengetahuan tentang suatu objek yang tidak diterima sama dengan objek lain yang dikenalnya.
Yang pertama terdapat dalam bentuk tertulis atau lisan dari seseorang, sedangkan yang kedua menyatakan kekuatan dari pada pada itu sendiri. Kekuatan atau kekuasaan memberikan informasi tentang adanya suatu objek (siddharta-wakya) atau memberikan arah untuk penampilan suatu perbuatan (widhayaka-wakya). Mimamsa tertarik pada kekuatan Veda yang wirata parwa bersifat pribadi, karena Veda memberikan arah untuk melakukan upacara keagamaan.
Veda dipandang sebagai kitab yang mengandung perintah untuk melakukan kewajiban dan bersifat kekal. Kata-kata yang ada di dalam Veda bukan disusun oleh manusia, dan Tuhan, karena susunan kata-kata itu bersifat khas dan tetap. Inilah yang membedakan Veda dengan hasil tulisan manusia. Veda menyatakan dirinya sendiri dan memiliki kebenaran di dalam dirinya sendiri, oleh karena itu apa yang dikatakan Veda adalah benar.
Veda juga tidak bertentangan dengan alat-alat pengetahuan yang lain. Alat-alat pengetahuan yang lain berhubungan dengan dunia yang dapat diamati, sedangkan Veda berhubungan dengan dunia yang tidak dapat diamati. Arthapatti adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat diperlukan terhadap sesuatu wirata parwa sulit dipahami melalui beberapa penjelasan yang berlawanan satu dengan yang lainnya. Bila kita memberikan suatu penjelasan wirata parwa suatu benda yang belum pernah dilihat wujudnya kepada seseorang, hendaklah kita menjelaskan benda yang dimaksud itu dengan benda lain wirata parwa sudah dikenal, sehingga orang itu mudah dapat mengartikannya.
Pengetahuan yang diperoleh dari peristiwa ini bukanlah merupakan suatu kesimpulan dan bukan pula merupakan suatu bentuk perbandingan. Anupalabdhi adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan terhadap suatu objek dikarenakan bendanya memang tidak ada. Misalnya ada orang yang bertanya ‘bagaimana saya tahu tentang ketidakadaan itu, maka jawabannya adalah cobalah lihat dan katakana apakah ada meja di kamar itu’.
Orang itupun tidak dapat mengatakan tentang hal itu karena benda itu memang tidak ada. Oleh Mimamsa dikatakan bahwa ketidakadaan meja di kamar itu diketahui karena tidak adanya pengamatan terhadap benda itu, sehingga ia tidak dapat memahami mengenai benda tersebut. Mimamsa tidak percaya dengan adanya penciptaan atas dunia ini.
Mimamsa tidak percaya dengan adanya Tuhan yang kekuasaannya berada diatas atau minimal setara denagan Veda. Menurut Mimamsa Veda itu sendiri mendasari kebenaran yang abadi atau hukum-hukum tentang adanya perintah Veda. Veda itu sendiri menyiapkan ciptaan dari apa yang baik dan apa yang salah. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang mengabdi pada kesetiaan terhadap perintah-perintah Veda. Ritual atau upacara yadnya harus dilaksanakan karena berkaitan dengan Veda, bukan dengan tujuan-tujuan yang lain.
Pengorbanan yang dilakukan jaman Veda dikalkulasi untuk wirata parwa Dewi Matahari, Dewa Hujan dan dewa-dewa yang lain, atau untuk memenangkan perang dan mengusir penyakit. Mimamsa merupakan kelanjutan dari pada sistem keagamaan yang bersumber dari Veda, maka dari itu upacara keagamaan secara detail lebih mendapat tempat daripada dewa-dewa itu sendiri, yang secara perlahan-lahan menjauh dan menghilang ke dalam atau menjadi objek dari struktur.
Dewa itu penting hanya sebagai sesuatu, yang namanya harus diberikan, dimana dilakukan upacara. Tetapi tujuan dasar daripada melakukan upacara yadnya itu adalah bukan persembahan untuk menyenangkan dewa apapun.
Ritual juga bukan untuk menyucikan jiwa atau memperbaiki moral. Upacara keagamaan dilaksanakan hanya karena Veda memerintahkan demikian atau untuk kewajiban. Beberapa dari upacara ini diperuntukkan menikmati sorga atau memperoleh keuntungan-keuntungan duniawi, seperti air hujan. Mimamsa mencapai puncaknya yang tertinggi yaitu antara lain melaksanakan kewajiban demi untuk kewajiban itu sendiri.
Mimamsa percaya bahwa perbuatan yang wajib untuk dilakukan bukan untuk memberikan keuntungan kepada pelakunya tetapi karena kita harus melakukan. Mimamsa percaya suatu kewajiban tidak harus dilakukan dengan tujuan yang menarik, tetapi alamlah yang menganjurkan agar seseorang melakukan tugasnya.
Seorang filsuf barat yang bernama Kant menganggap benar adanya Tuhan, dan menurut Kant pemujaan kepada Tuhan adalah kewajiban yang tertinggi, sedangkan menurut Mimamsa kewajiban adalah kekuasaan Veda secara pribadi yang berkaitan dengan tugas. Pada awalnya kebaikan menurut Mimamsa adalah pencapaian sorga atau suatu keadaan dimana ditemukannya kebahagiaan sejati. Sorga wirata parwa sebagai akhir dari suatu upacara keagamaan, akan tetapi pada akhirnya Mimamsa menerima kelepasan sebagai tujuan tertinggi setelah penulis-penulis Mimamsa mendapat pengaruh dari pemikir-pemikir wirata parwa sistem filsafat India lainnya.
Mereka menyadari bahwa perbuatan baik atau buruk itu ditentukan oleh keinginan, yang akibatnya akan menimbulkan kelahiran yang berulang-ulang. Apabila seseorang memahami bahwa kehidupan duniawi hanya permainan pikiran dan indriya yang menjadikan manusia menderita, maka seseorang akan mengontrol pikiran dan indriyanya supaya tidak melakukan perbuatan yang terlarang, sehingga kesempatan untuk lahir kembali menjadi lenyap.
Dengan melakukan kewajiban yang diperintahkan oleh Veda seseorang akan terbebas dari kelahiran. Menurut sistem Mimamsa jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaan upacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Veda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang. Kebebasan adalah keadan yang tidak disadari, bebas dari kesenangan dan rasa sakit.
Menurut Mimamsa keadaan mental dan kesadaran tidak ada pada jiva, muncul kesadaran dan keadaan mental itu, bila jiva dikaitkan dengan objek melalui tubuh dan bagian-bagian tubuh yang lain. Kebebasan berarti lenyapnya hubungan jiva dengan tubuh dan kembali kepada keadaan yang semula, yang wirata parwa kekal, berada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.
Kerajaan Wirata, diperintah oleh raja bernama Matswapati atau Matsyapati.
Permaisuri raja bernama Dewi Rekatawati. Adik ipar raja bernama Cecaka, pejabat angkatan bersenjata Wirata. Cecaka telah berhasil "memperluas kekuasaan Wirata sampai ke wilayah Trigata.
Menyebabkan Sang Cecaka sangat disegani di Wirata. Para putra-putri raja, bernama Arya Seta, Arya Utara, Arya Wretsangka, dan Diah Utari. Pandawa telah rampung melaksanakan hukuman pembuangan didalam hutan selama dua belas tahun lamanya, karena kalah main dadu. Sekarang Pandawa wajib wirata parwa hidup menyamar selama satu tahun, didalam sebuah kota kerjaan. Wirata, adalah tempat dipilih oleh para Pandawa untuk melaksanakan penyamaran selama satu tahun.
Para Pandawa datang menghadap raja Wirata secara bergilir, mengekan ciri busana penyamaran, dengan Via samaran masing-masing berbeda. Pertama-tama Sang Yudhistira datang menghadap raja, dengan ciri seorang brahmana berwawasan luas, ahli spiritual intelektual, bernama Dwijakangka. Bersedia menjadi teman raja, lawan berdiskusi wawasan ketatanegaraan, spiritual dan intelektual. Kedua datang Sang Bima Sena menghadap raja Wirata, mengaku bernama Sang Blawa, ahli ilmu dan praktek masak-memasak, bersedia bekerja didapur kerajaan.
Ketiga datang Sang Arjuna, menghadap raja Wirata dalam gaya hidup waria, dengan nama Wrehatnala, siap sedia menjadi pelatih tari kerajaan Wirata parwa. Keempat Dewi Pancali atau Dropadi datang menghadap raja Wirata, mengaku bernama Sailandri, memohon menjadi perias para putri keraton Wirata.
Kelima Sang Nakula menghadap, bergaya hidup wirata parwa seorang ahli pemelihara kuda, mengaku bernama Grantika, memohon agar diperkenankan mengabdi di keraton Wirata, bertugas memelihara kuda kerajaan Wirata. Keenam yang terakhir, datang Sang Sahadewa, mengaku bernama Tantipala, ahli memelihara hewan ternak, memohon agar berkenan mengabdi kepada raja Wirata, mengurusi hewan ternak kerajaan.
Susunan kegiatan Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali Seni pertunjukan Wayang Kulit Bali dengan lakon "Wirata Parwa", dimulai dengan kegiatan 'dalang nginang', memakan sirih, sambil menata letak sesaji, dan peralatan pertunjukan yang lain-lain, seperti : menyalakan 'swar' dan menyimping wayang pamurti di ujung kelir kiri dan ujung kelir kanan.
Wayang pamurti dipertebal dengan wayang-wayang yang tidak akan ditampilkan dalam lakon pada pertunjukan. Alat gamelan pengiring seni pertunjukan Wayang Kulit Parwa Bali, berlaras 'Selendro', terdiri dari empat buah Gender Wayang : Dua buah Gender Barung ukuran besar, dan dua buah gender barang ukuran lebih kecil. Gender Gendhing Petegak I, mengiringi kegiatan dalang nginang. Wayang terpilih akan digunakan dalam pertunjukan, masih di dalam kotak wayang, ditindih dengan wayang Kekayonan.
Setelah kegiatan 'dalang nginang' rampung. Dalang nebah tabing kotak wayang dengan tangan kiri, membangunkan wayang, Gender Gendhing Pemungkah. Dalang nyempala, Gender Batel. Dalang nyempala nirtir, Gender Gilak, solah Kekayon I, mensakralkan ruang pakeliran seni pertunjukan wayang. Kekayon ditancapkan oleh dalang diporos palemahan.
Dalang mengayunkan swar. Dalang menyimping wayang kelompok kiri, disebelah kiri Kekayonan, wayang kelompok kanan, disimping disebelah kanan Kekayonan.
Diiringi Gender Gendhing Petegak II s/d Pengarip. Bagian ini dikenal dengan istilah 'Laga Nidra', perang tidur. Pada penghujung akhir Gending Pengarip, gendhing nyelinap menjadi Batel, ditanggapi dengan solah Kekayon II, tanpa bunyi cempala.
Gebrak cempala, kekayonan silam; gender kebyar 'Alas Arum' menjadi gendhing pengawak Alas Arum, vokal dalang 'Rahina tatas kemantian' dendang dalang sealur dengan gender gendhing Alas Arum. Dalang menampilkan wayang raja Wirata dengan Dewi Rekatawati menari, ditancapkan disisi kiri mendekat ke poros palemahan. Disusul penampilan Patih Cecaka, ditancapkan dibelakang permaisuri. Dilanjutkan dengan penampilan : Dwijangkangka, Blawa, Wrehatnala, Sailandri, Grantika, Tantipala, masing-masing dalam gaya individu, memberi hormat kepada raja dan para pejabat kerajaan Wirata.
Ditancapkan disisi kanan. Tidak ada, yang mengira bahwa mereka adalah para Pandawa di Wirata. Masing-masing diri mereka, menonjolkan sifat individu, dengan ciri-ciri satu sama lain sangat berbeda.
Untuk seni pertunjukan wayang kulit Bali, dua ponakawan Tuwalen wirata parwa Merdah wajib hadir dengan level lebih rendah, diujung belakang setiap sisi. Gebrak Cempala - Penyahcah Parwa : Gender Slundingan Penyahcah Parwa - Dalang Pala Wakya ' Pira ta pinten gati kunang kalan ira' dst dsb diakhiri cempala Wirata parwa : Gender Pengalang Bawak Dawa s/d Sawenduk Samita - Gender Mati - (Pakem Wayang Kulit Bali sampai pada Sawenduk Samita) - Selanjutnya adalah sanggit aktif kreatif spontanitas dalang.
Percakapan Dalam Sidang Di Wirata Raja Matsyapati membuka sidang, dengan melaksanakan 'Panganjali: OM, Swastyastu! Pertama, raja menyatakan terima kasih kepada segenap yang hadir. Kedua, mengucapkan terima kasih atas jasa maha patih Cecaka, atas jasanya telah memperluas wirata parwa kekuasaan Wirata parwa, sampai ke Trigata. Trigata dijadikan wilayah pemeliharaan ternak kerajaan Wirata. Sang Tantipala, petugas pemelihara ternak, ditantang tugas semakin besar tanggung jawabnya.
Ketiga, raja memuji Dwijangkangka, yang sangat luas wawasan ilmu ketatanegaraannya, sangat paham ilmu spiritual dan menghayati segala ilmu intelektual. Raja Wirata sangat beruntung karena setiap hari berdiskusi mengkaji ilmu bersama seorang berwawasan luas dan kaya pengalaman seperti Dwijakangka. Permaisuri Dewi Rekatawati Nyeletuk : Keempat, hidangan yang disajikan Sang Blawa, sangat cocok bagi selera semua orang didalam lingkungan kraton Wirata.
Kelima, Sailandri, si tukang dandan para putri, sangat kreatif mempercantik penampilan para wanita didalam kraton Wirata. Pujian besar bagi Sailandri. Sang Cecaka, menjawil memberi tanda kepada Permaisuri, agar Sailandri disuruh pindah duduk didekat ratu, agar Sailandri juga menjadi dekat bagi diri Cecaka.
Dengan berwibawa, Dewi Rekatawati memberi wangsit bagi Sailandri, untuk memenuhi hasrat Patih Ceceka. Permaisuri: Laporan dari Diah Utari putri raja, mengatakan bahwa, si waria yang bernama Wrehatnala, berdisiplin tinggi, sangat cermat dalam melatih gerak-gerak tari tradisi dan tari kreasi. Sehingga Utari, selalu tampak sehat, segar bugar. Usai latihan menari, Diah Utari sering berlama-lama ada diruang salon kecantikan kraton, didandani sangat apik oleh Sailandri. Keenam, keadaan seluruh kuda di keraton semuanya menjadi baik dan sehat, sejak diurusi oleh Grantika.
Raja Matswapati : 'Banyak butir-butir telah dikomunikaiskan pada pertemuan ini. Ada yang mengajukan pertanyaan/usul? Kalau tidak ada, mari kita tutup pertemuan ini, agar kita dapat menuju ke tempat wirata parwa kita masing-masing. Kita tutup dengan memanjatkan do'a "Parama santhi : OM santhi, santhi, santhi OM' Pertemuan bubar Gender Gendhing Angkat-Angkat, Cempala nirtit, para tokoh menuju tempat, untuk melaksanakan tugas, dan kewajiban masing-masing.
Dialog Ponakawan Tuwalen Dan Merdah Tuwalen : 'Ada beberapa butir-butir yang telah dibicarakan dalam pertemuan di Bale Rung, hendak Bapa kaji bersamamu Merdah!" Khususnva tentang komentar Permaisuri Dewi Rekatawati menyangkut waria Wrehatnala, dan Sailandri.
Wrehatnala Wrehatnala sesungguhnya Sang Arjuna. Menyamar menjadi waria, adalah berkat 'kutukan' Dewi Urwasi, istri Dewa Indra di Indra Loka, dahulu. Dewi Urwasi, saat ketemu Arjuna tiba di Indra Loka, membujuk Arjuna, untuk memadu kasih.
Arjuna menolak, karena Urwasi adalah istri Dewa Indra. Urwasi lalu mengutuk Arjuna menjadi waria. Kutukan Dewi Urwasi itu, oleh Arjuna dimanfaatkan secara efektif dan efisien, sekarang ketika menyamar di kraton Wirata ini. Merdah : 'Bagaimana asal usul terciptanya Dewi Uruwasi, Babe, sehingga sangat ampuh mampu mengutuk Wirata parwa Arjuna, Be?' Tuwalen : 'Begini asal usulnya!' Dahulu Dewa Tandawa Siwa, sedang bertaga, brata yoga semadi, untuk keselamatan dunia.
Kepada Siwa, datang Mohini, wanita cantik hendak menggoda Siwa. Siwa, mengencangkan sabuk pengikat perutnya. Kegiatan Siwa, mengencangan sabuk perut, menciptakan wujud wanita sangat cantik, lebih cantik dari Mohoni. Kata Uru, artinya 'perut'. Wanita cantik tercipta oleh kegiatan Siwa dengan mengencangkan perut/uru, dikenal dengan nama :Dewi Uruwasi.
Mohini kabur dengan kehadiran Urwasi. Selanjutnya Uruwasi menjadi istri Dewa Indra tinggal bersama di Indra Loka. Selama berada di Indra Loka, Arjuna banyak menonton kegiatan para Widiadara Widiadari melaksanakan kegiatan tari menari. Arjuna, sering dipaksa ikut melantih menari, bersama para Widiadara Widiadari di Indra Loka.
Itulah yang Bapa dapat tuturkan untukmu, Merdah, tentang Wrehatnala! ( Selanjutnya) Source: Sangit Dalang : Wayan Diya l Warta Hindu Dharma NO. 486 Juni 2007 • DITJEN BIMAS HINDU ( Link) • WHP ( Link) • PRAJANITI ( Link) • PERADAH ( Link) • KMHDI ( Link) • ICHI ( Link) • ADHI ( Link) • PANDU NUSA ( Link) • BDDN ( Link) • PHDI Jawa Tengah ( Link) • PHDI Jawa Timur ( Link) • PHDI Sumatera Selatan ( Link) • PHDI Sulawesi Tengah ( Link) • PHDI Sulawesi Tenggara ( Link) wirata parwa PHDI NTT ( Link) • PHDI Maluku ( Link ) • PHDI Banten ( Link) • Prajaniti DKI Jakarta ( Link) • Kemenag Papua ( Link) • Kemenag Bali ( Link) • Kemenag Sumsel ( Link) • Kemenag Sumut ( Link) • Kemenag Lampung wirata parwa Link) • Kemenag Kalbar ( Wirata parwa • Kemenag Kaltim ( Link) • Kemenag Kalsel ( Link) • Kemenag Sulbar ( Link) • Kemenag Sulsel ( Link) • Kemenag Sulut ( Link) • Kemenag Sulteng ( Link) • Kemenang NTT ( Link) • Bimas Hindu Sultra ( Link) • Bimas Hindu Jawa Timur ( Link) • Bimas Hindu Batam ( Link) • Wartam ( Link) • Veda Poshana Asraham ( Link) • Hindu Banten ( Link) • UNHI ( Link) • STAH DN-Jakarta ( Link) • Twitter PHDI ( Link) • Facebook PHDI ( Link) • Youtube PHDI ( Link)