HINGGA kini, Sate Ayam Ponorogo H Tukri Sobikun hanya memiliki satu cabang. Tepatnya di Madiun. Itu pun belum lama berdiri. Artinya, selain di Madiun, produksi dan penjualan difokuskan di warung utama yang terletak di Gang Sate, Ponorogo.
”Minimnya cabang disebabkan proses produksi sate yang jelimet. Dan, ini menimbulkan kerumitan bagi yang ingin menirunya,” kata chef Christfian Nehemia. ”Dalam pembuatannya, ada proses saat daging dibungkus dan diolesi rempah-rempah yang khas. Ini yang membedakannya dengan sate lain,” lanjutnya. Baca juga: Warung Sate H Tukri Dulu Bumbu kupat tahu jogja Sate Emperan, Kini Disantap Presiden Christfian menyatakan, pemberian rempah-rempah tersebut merupakan sesuatu hal menarik dalam dunia memasak.
Langkah itu tidak sekadar merasukkan bumbu hingga ke dalam daging, tetapi juga bertujuan menghilangkan bau amis pada daging. Meski pembuatannya jelimet, lanjut Christfian, sate Tukri ini bercita rasa Jatim banget. Ada sensasi pedas tipis yang dihasilkan rempah sehingga badan terasa hangat. Kalaupun ada manis dan asin, keduanya tidak berlebihan. Christfian menjelaskan, sebelum dibakar, sate sebenarnya direndam dengan air kecap yang dicampur bumbu. Proses itu menghasilkan rasa manis yang pas.
”Sate lain biasanya cukup diolesi kecap,” ujar Christfian.
(hen/c14/dra) Pertahankan Pay Later, Tambah Fitur Live Music Gamelan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah bagian dari kenangan Warung Sego Pecel (SGPC) Bu Wiryo 1959.
Dari sejak berstatus mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM sampai menjadi wali kota Solo, menu favoritnya masih sama. Pecel plus telur ceplok dan sup.
SEPTIAN NUR HADI, Jogjakarta Baca juga: Warung Nasi Pecel Yu Gembrot, Daging Wajib tanpa Lemak untuk Presiden — BERDIRI sejak 1959, kini SGPC Bu Wiryo dikelola oleh Kelik Indarto. Generasi kedua warung pecel legendaris itu mengambil alih kendali setelah sang ibu meninggal dunia pada 1995. Sebelum menempati lokasi yang sekarang di Jalan Agro, Caturtunggal, Depok, SGPC Bu Wiryo terletak di lingkungan kampus UGM.
Tepatnya, di dekat fakultas kehutanan. Saat itu, SGPC Bu Wiryo merupakan warung pecel pertama di UGM. Menu utamanya tentu saja pecel. Mahal atau tidaknya bergantung lauk yang dipilih menjadi teman pecel. Tidak hanya murah meriah dan pas di kantong, SGPC Bu Wiryo bumbu kupat tahu jogja menjadi favorit karena ada layanan pay later. Alias, ngutang dulu. Baca juga: Aroma Jeruk di Sambal Kacang Pecel 99 Bikin SBY Ketagihan Kelik mengatakan bahwa para mahasiswa pengutang biasanya melunasi tanggungan mereka selepas Lebaran.
Atau, setelah mereka menerima wesel dari orang tua di kampung halaman. Pada masa itu, uang tunai lazim dikirimkan via pos. Karena kiriman uang dari kampung halaman sering terlambat, SGPC Bu Wiryo pun tidak keberatan jika ada yang utang. Tapi, harus jujur dan mencatatkan besaran utangnya. ’’Ada yang berkata jujur.
Ada yang sebaliknya. Banyak yang mengaku dharmaji, dhahar lima ngaku siji.
Makan lima, mengaku satu. Meski tahu banyak yang bohong, ibu nggak marah,’’ papar Kelik tentang istilah dharmaji.
Ketika itu, Jokowi pun termasuk dalam rombongan dharmaji tersebut. Setelah mereka lulus dari UGM, istilah itu menjadi bahan lelucon. Setiap kali datang lagi ke SGPC Bu Wiryo, Jokowi selalu menanyakan siapa saja temannya yang masih punya utang.
Jika memang masih ada yang utang, Jokowi menagihkannya kepada yang bersangkutan. Atau, malah dia yang melunasi utang-utang itu. Baca juga: Sambal Mangga Penambah Cita Rasa Sepiring Sego Menir ’’Kalau dulu dharmaji, sekarang sebaliknya. Makan satu ngaku lima.
Bahkan saling bayarin utang teman. Maklum, sudah jadi pejabat. Uangnya banyak,’’ ujar Kelik. Pria 55 tahun itu bercerita, Jokowi kali pertama datang ke warungnya pada 1980-an. Saat warung masih dikelola ibunya, Kelik mengatakan bahwa Jokowi hampir setiap hari makan di sana.
Meski postur badannya slim alias langsing, porsi makan Jokowi banyak. Bapak tiga anak itu paling suka sego pecel (nasi pecel) dengan lauk telur ceplok. Menu lain yang juga dia suka adalah sup. Dari dulu, Jokowi tidak suka dilayani. Dia lebih memilih untuk mengambil makanannya sendiri. Kebiasaan itu berlaku sampai dia lulus dari UGM dan menjadi pejabat pemerintah.
Baca juga: Keseruan Berbagi Sego Rongewu hingga Fashion Show Kakek-Nenek Kepada Jawa Pos yang menyambanginya pada pertengahan Desember 2021, Kelik mengatakan bahwa Jokowi kali terakhir mampir ke warungnya bumbu kupat tahu jogja 2011.
Ketika itu, Jokowi masih menjabat wali kota Solo dan sedang persiapan mengikuti pilkada Jakarta.
Jokowi datang ke SGPC Bu Wiryo bersama istrinya, Iriana. LEBIH MANIS: Suasana warung SGPC Bu Wiryo pada jam makan siang.
(ROBERTUS RISKY/JAWA POS) ’’Menu yang dipilih masih sama. Nasi pecel telur caplok dan sup,’’ terang bapak empat anak tersebut.
Tapi, imbuh dia, ada beberapa lauk tambahan yang Jokowi pilih saat itu. Tempe, tahu, perkedel, sate telur puyuh, dan ayam goreng, dicoba semua.
Tidak pakai hemat-hematan lagi. Maklum, sudah jadi pejabat. ’’Jadi, uangnya akeh (banyak, Red), nggak kayak zaman kuliah dulu,’’ imbuh Kelik, lantas tertawa. Pada lawatan 2011 itu, Jokowi sempat mengatakan kepada Kelik bahwa rasa pecel dan supnya tidak berubah. Tetap sama seperti saat masih dikelola Bu Wiryo.
Kalimat itu membuat Kelik bangga. ’’Kalau makan di sini, beliau jadi teringat zaman kuliah dulu. Ibaratnya, alumni UGM itu belum mudik ke Jogja kalau belum makan sego pecel Bu Wiryo,’’ papar Kelik. Meski sudah berjualan nasi pecel selama 63 tahun, SGPC Bu Wiryo tidak berminat untuk beralih ke menu lain. Nasi pecel dengan berbagai pilihan lauk dan nasi sup tetap menjadi andalan. Ketimbang diversifikasi menu, Kelik lebih tertarik untuk meningkatkan layanan kepada pelanggan.
Selain pay later, SGPC Bu Wiryo juga menyajikan musik tradisional di warungnya. Live music dengan gamelan sebagai iringan tetap. Selain bumbu kupat tahu jogja melestarikan musik tradisional, Kelik mengatakan bahwa live music gamelan itu juga menjadi caranya untuk membantu para seniman Jogja.
Sebelum pandemi, mereka bisa berkeliling ke berbagai tempat untuk ngamen. Namun, pandemi menggulung rezeki yang biasanya mereka pungut di jalanan. SGPC Bu Wiryo buka setiap hari mulai pukul 06.00 WIB dan tutup pada pukul 19.00 WIB. Sekarang satu porsi nasi pecel dijual dengan harga Rp 18 ribu. Sedangkan, harga nasi sup Rp 24 ribu. Dalam sehari, sebanyak 250 hingga 500 porsi pecel dan sup terjual. Sejak mulai buka itulah, alunan musik tradisional terdengar.
Setiap pagi para seniman lokal tersebut mengiringi para pelanggan bersantap. Kendati bumbu kupat tahu jogja musik mereka adalah gamelan, Kelik menuntut para seniman itu bisa memainkan segala jenis lagu.
Itu merupakan bentuk komitmennya kepada para pengunjung warung yang dia persilakan me-request lagu secara bebas. Kadang, beberapa pengunjung memilih untuk menyanyi bersama, seperti berkaraoke. ’’Pelanggan jadi merasa terhibur. Sehingga mereka datang ke sini tidak hanya untuk makan, tapi juga menikmati musik gamelan,” terangnya.
Saat Jawa Pos mencicipi pecel legendaris itu, warung memang ramai. Pengunjung datang silih berganti. Yang satu pergi, yang lain datang. Begitu terus. Tidak pernah ada bangku yang kosong. Meski kadang harus ada yang antre, pengunjung tidak sampai bad mood. Mereka bisa menunggu bumbu kupat tahu jogja ikut berdendang karena alunan musik tradisional tidak berhenti.
Pagi itu, pengunjung warung tidak hanya datang dari Jogja. Ada yang dari Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Indriawati salah satunya. Warga Pasteur, Bandung, itu sengaja ke SGPC Bu Wiryo pagi-pagi untuk menjawab rasa penasarannya. ’’Kebetulan lagi liburan di Jogjakarta. Lalu, saya mampir ke sini,’’ kata perempuan 25 tahun itu.
Dia mengatakan bahwa apa yang dia dengar ternyata sama dengan faktanya. Pecel Bu Wiryo enak, unik, dan bikin ketagihan. Pagi itu, dia menyantap nasi pecel dengan lauk telur ceplok, tempe, dan perkedel.
’’Pas dengan selera aku,” imbuhnya. Kelik mengaku hampir menyerah menjalankan amanat mendiang ibunya saat badai Covid-19 melanda. Khususnya, saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Warung harus tutup, otomatis tak ada pendapatan. Namun, dia selalu berpegang pada wasiat sang ibu.
Maka, dengan berbagai cara, dia kemudian bertahan. ’’Sebelum meninggal, ibu bilang sego pecel harus tetap berjalan sampai kapan pun. Dia juga pesan, rasanya harus sama.
Nggak boleh ada yang berubah,’’ ungkapnya.