• Beranda • Kolom Jumat • Kata Kata Bijak • Kata Kata Motivasi • Biografi Tokoh • Pemikiran Tokoh • Berita • Artikel • Esai • Cerpen • Ijazah & Doa • Resensi Buku • Tips • Sajian Khusus • KH. Husein Muhammad • KH. Aguk Irawan MN • KH. Imam Jazuli, Lc. • KH. Mujahidin Nur, Lc. • Kajian Kitab • Santri Journalism • Tanya Jawab • Blog • Iklan Premium • Iklan Gratis • Wedding • Free Advertising • Fasting • Redaksi • Penerbit Dawuh Guru • Pedoman Media Siber • Ketentuan Tulisan • Kerjasama perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia Tentang • Kontak • Partner • Surau.co • Chord Gitar • Belibis Pustaka • Tukar Tambah • Iklan Gratis • Tempat.org • Wallpaper Keren • Heindonesia.id • Konveksi Jogja • Nawaksara.id • MEDIA ID • NW ONLINE • Biografi Tokoh • Pemikiran Tokoh • Kata Kata Bijak • Kata Kata Motivasi Contents • 1 1.
Kesadaran akan pentingnya berkontribusi untuk kemajuan islam dan Indonesia • 2 2. Kesadaran mengembangkan kompetensi diri • 3 3. Semangat berinovasi • 4 4. Mewujudkan Nuansa Islam yang Inklusif Oleh : Ahmad Nizar Zuhdi Al – Hakimi Pesantren mempunyai makna tersendiri dalam sejarah nasional Indonesia. Kita percaya pesantren adalah kawah candradimuka di mana para santri digembleng untuk menjadi pribadi yang berkarakter dan terdidik.
Banyak orang-orang memiliki kesempatan untuk berkontribusi di negeri ini dan mengisi kursi kepemimpinan baik di sektor pemerintahan, swasta, maupun sektor publik dan beberapa dari mereka berasal dari kader pesantren.
Oleh karena itu, di era informasi ini, pesantren harus terus menemukan relevansi dan eksistensinya untuk menjadi yang terdepan dalam peran sejarahnya di Indonesia. Jika dikaitkan dengan konsep pembangunan peradaban yang digagas oleh Dr.
Hamid Fahmi Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul “Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam”, ditulis bahwa peradaban Islam akan muncul kembali dengan menghadirkan agama Islam sebagai konsep Islam rahmatanlilalamiin dalam jiwa umat Islam. Maka, sebenarnya peradaban Islam rahmatanlilalamiin tidak cukup dibangun oleh unsur manusia saja, namun yang paling penting adalah unsur yang ada di dalam diri manusia itu sendiri, yaitu keimanan.
Jika dilihat, pesanten berperan dalam penanaman dan pengamalan nilai nilai keimanan dan ketaqwaan. Oleh karenanya, pesantren memiliki peran strategis dan signifikan dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negara.
Hal ini dapat dimanfaatkan oleh islam dan dakwah islam itu sendiri. Para santri sebagian besar adalah kalangan pemuda potensial yang dibina dan digembleng, baik dari segi iman, taqwa, jiwa nasionalisme, jiwa entepreneurship, ilmu agama, sains dan teknologi guna memainkan peran strategis di berbagai wilayah dan daerah mereka di kemudian hari.
Ketika berbagai peran strategis ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pesantren untuk dakwah islam, maka sangat banyak kebaikan yang akan diraih oleh islam itu sendiri, di antara yang paling utama adalah: suplai kader sebagai agen perubahan yang berafiliasi kepada islam dan senantiasa membawa perdamaian.
Hal tersebut bukan menjadi hal yang mustahil, tetapi merupakan sebuah keniscayaan. Kondisi demikian tidak akan mungkin terwujud, ketika kapasitas dan kapabilitas kader santri dari pesantren tidak disiapkan sebaik-baiknya. Maka dari itu, perlu untuk menyiapkan kuantitas kader pesantren yang banyak untuk mewarnai seluruh pos-pos strategis sebagai agen perubahan dan pengibar bendera rahmatan lil alamin di Indonesia.
Penulis meyakini bahwa wujud islam rahmatan lil alamin di Indonesia banyak berpotensi disumbangsih oleh mereka yang mampu membina masyarakat dan mewujudkan perdamaian di tengah-tengah masyarakat yang memiliki multikulturalisme suku, agama, ras di Indonesia, dan pesantren adalah salah satunya. Di samping itu, pesantren merupakan sebuah miniatur negara yang relevan dalam mewujudkan perdamaian dan kerukunan umat, di mana konsep ukhuwah (persaudaraan), mulai dari ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia) sangat dijunjung tinggi di dalamnya.
Oleh karena pesantren dikatakan sebagai miniatur negara, maka setiap elemen yang terlibat melalui pesantren diharapkan mampu untuk men-setting suasana pesantren agar “hidup” dalam perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia pembangunan peradaban islam yang rahmatan lil alamin, yakni dimulai dari SDM, sesuai dengan gagasan diangkat oleh Hasan Al Banna, disertai dengan tetap mengedepankan sikap dalam berbuat dan menegakkan persaudaraan dalam setiap perbedaan, saling mendidik, bukan saling menghardik, saling mengajak, dan bukan saling mengejek.
Baca Juga: Ibn Haitham sebagai Bapak Optik Modern Sebelum terlalu jauh membicarakan gagasan ini, perlu kiranya kita juga menengok di mana dan bagiamana kita berdiri.
masih realistis kah mimpi tersebut jika melihat effort atau usaha pesantren terutama para santri dan alumni pesantren saat ini? Sudahkan kita berada pada pijakan dan sikap yang tepat sebagai seorang kader pesantren yang siap menyukseskan wujud islam rahmatan lil alamin di Indonesia ? Pada dasarnya konsepsi Islam rahmatan lil alamin merupkan bentuk representasi dari firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al-Anbiya’ ayat 107, wa ma arsalnaaka illa rahmatan lil alamin.
bahwa tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah rahmatan lil alamin, yakni sebagai rahmat untuk semesta alam. Sehingga islam bukan hanya sekedar di mana semua umat muslim dapat menjalankan ibadah dengan baik, namun jauh lebih dalam daripada itu.
Konsepsi tersebut menggambarkan keadaan di mana Islam telah diterima oleh semua kalangan baik yang muslim maupun non-muslim. Islam telah menjadi sistem sosial dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, jika kita mengkaji berdasarkan ayat Al Quran yang pertama kali turut yang berbunyi Iqro’ ‘bacalah’, seolah-olah ayat ini mengisyaratkan bahwa titik awal dari pembangunan sebuah peradaban Islam rahmatan lil alamin di Indonesia berawal dari Iqro’ (pengetahuan).
Sebagai perbandingan, negara maju seperti Amerika Serikat (USA) dan Inggris (UK), mereka juga telah menerapkan sistem pendidikan yang diarahkan bagaimana agar generasi atau kader penerus bangsa mereka memiliki kompetensi yang bagus dan dapat bersaing, terkhusus untuk menghadapi era globalisasi. Hal demikian sesuai dengan pepatah yang biasa disampaikan oleh Pengasuh Pesanteen Amanatul Ummah, Prof.
Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA yakni, “ala innna hayatal fata bil ilmi wat tuqo, idza lam yakunaa la’tibaro lidzatihi”, yang artinya, ketahuilah sesungguhnya kehidupan seorang pemuda yakni dengan ILMU dan TAQWA, ketika kedua unsur tersebut tidak ada, maka hilanglah jati diri sebegai seorang pemuda. Gagsan yang sama juga selatas dengan tulisan yang diangkat oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam bukunya, yakni untuk membangun suatu peradaban, maka dimulai dari SDM.
Dalam membangun SDM, diperlukan iman dan ilmu yang mana semua itu dapat dikemas dalam suatu sistem pendidikan dan pembinaan di pesantren. Sistem pendidikan dan pembinaan di pesantren yang dimaksud di sini adalah yang mengacu pada pembentukan SDM yang berkarakter islami, unggul, dan mampu memberdayakan dirinya serta lingkungannya sesuai dengan kompetensi masing masing. Maka sistem pendidikan dan pembinaan di pesantren saat ini perlu dicermati kembali dan ditingkatkan.
Kepribadian dan potensi masing-masing kader pesantren juga menjadi indikator penting untuk membangun konsepsi Islam rahmatan lil alamin di Indonesia. Menurut hemat saya, langkah strategis yang perlu ditinjau dalam membangun sistem pendidikan dan pembinaan di pesantren adalah bagaimana tiap individu memiliki kesadaran. di antaranya : Baca Juga: Fascinating Health Tactics That Can Help Your Business Grow 1.
Kesadaran akan pentingnya berkontribusi untuk kemajuan islam dan Indonesia Setiap individu memiliki peran sangat penting untuk membangun dan memajukan Indonesia dan memajukan islam secara umumnya. Kesadaran bahwa kualitas individu adalah hal yang sangat penting, apalagi perkembangan Indonesia dari masa ke masa yang semakin pesat dan era globalisasi di depan mata, yang memaksa tiap individu harus meningkatkan kualitas diri.
Hal ini juga sesuai dengan firman Allah SWT dalam Quran Surat An-Nisa’ ayat 95 yang berbunyi Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.
2. Kesadaran mengembangkan kompetensi diri Hal ini berguna untuk melatih dan membiasakan santri untuk terus menggali potensi sejak dini. Sudah mulai banyak pesantren di Indonesia yang memiliki kader yang bisa mandiri dan mengembangkan potensi, salah satunya adalah dengan berwirausaha, kemampuan teknis seperti desain, pemorogaman, dan lain lain. Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai kader pesantren, kita bisa bercermin pada empat karakter sahabat khulafaur rasyidin, yang mana keempat sahabat tersebut berkontribusi sesuai dengan pembawaan masing-masing.
Dari Abu Bakar kita bisa belajar tentang potensi keilmuannya yang religius, potensi kepemimpinan dari Umar bin Khattab, entrepreneurship dari Usman Bin Affan, dan Keprofesian dari Ali bin Abi Thalib.
Hal ini juga merupakan bentuk representasi dari firman Allah SWT dalam Quran Surat Al – isra’ ayat 84 yang berbunyi kullu ya’malu ‘ala syakilatihi, bahwa setiap individu beramal atau berkontribusi sesuai dengan pembawaan masing-masing atau istilah lebih mudahnya sering disebut sebagai potensi diri.
3. Semangat berinovasi Inovasi merupakan kata kunci penting dalam perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia kemajuan sebuah bangsa, begitu juga dalam dunia pesantren. Karena dengan inovasi pesantren diharapkan mampu meningkatan produktivitas, nilai tambah, dan peningkatan keunggulan yang kompetitif.
Pemafaatan teknologi merupakan sarana paling utama dalam mendayagunakann inovasi dan juga merupakan jawaban atas kebutuhan akan kemudahan dan kecepatan dalam peningkatan produktivitas serta syiar islam di pesantren, dan juga sebagai penunjang paling prospektif guna mengoptimalkan transformasi ajaran islam ala pesantren dalam konteks lebih luas sehingga dapat dijadikan sebagai wadah solusi dalam menghadapai persoalan umat dan bangsa.
Namun demikian terdapat batasan-batasan dalam penggunaan inovasi ini. Hal yang terpenting adalah bagaimana inovasi yang diterapkan tidak menyalahi aturan syariat islam dan sesuai dengan kaidah fiqh (ushul fiqh) yakni Al muhafadzotu ala qadimis shalih wa akhdu bijadidl ashlah, mempertahankan ynag baik yang telah ada dan mengambil yang baru yang lebih baik.
4. Mewujudkan Nuansa Islam yang Inklusif Setiap kader pesantren tentu memiliki peran dan berada di barisan terdepan dalam skenario indah ini.
Bagaimana pesantren bisa menciptakan kader santri yang dapat merangkul semua kalangan, ramah, dan tidak eksklusif, Bukan santri yang terkesan zuhud tapi cupu, melainkan santri yang akan memberi warna warni perdamaian yang indah di lingkungan masyarakat. Baca Juga: Ilmu Kalam: Eksistensi Sifat dan Zat Allah Menurut Perspektif dari Muhammad Abduh Dalam langkah geraknya, kader pesantren mampu mengakrabkan ajaran ajaran agama dengan masyarakat umum dan memarketingkan islam secantik mungkin dalam bentuk yang variatif.
Islam tidak menjadi sebuah sistem yang angker, menakutkan, atau mengekang bagi masyarakat umum. Setiap orang (bukan hanya kader pesantren) berlomba-lomba untuk mengaplikasikan islam dalam kesehariannya.
Pesantren adalah mitra dekat masyarakat umum, bahkan menjadi rumah bersama dalam mengkaji islam. Pada dasarnya, semua ajaran tersebut kembali pada Al Quran, Allah SWT mengajarkan tentang keberagaman agar kita saling membuka diri untuk berkerja sama (QS Al hujarat: 10), Allah juga mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dan berdialog secara damai (QS Al Ankabut : 46) dan saling berlomba-lomba dalam kebaikan (QS Al Maidah : 48 dan Al Baqarah : 148).
Masing-masing dari kita saling berupaya untuk meningkatkan kapasitas, ilmu, akhlaq dan keimanan, saling berupaya meneladani sikap Rasulullah SAW dalam bersikap, saling mengisi, saling bekerjasama dan saling berjalan bersama, bukan fanatik pada golongannya, melainkan fanatik pada satu kata yakni “islam yang damai”.
Sehingga dari sini, semua elemen yang terlibat bisa saling membuka diri untuk berkerjasama, dan terbuka kesempatan untuk saling belajar, dan mencari titik- titik temu untuk mengembangkan etik sosial yang mengangkat kehidupan bersama. Karena kita semua adalah umat yang satu, ummatan washaton, Inilah wujud “kebhinekaan” kita bersama, sebagaimana firman Allah SWT dalam dalam Al-Quran surat Al Hujarat ayat 13, “sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.
Tentunya melalui gagasan ini, setiap elemen dari kita masing masing diharapkan bisa saling melengkapi, saling berdialog, bertukar pikiran, dan membentuk vektor yang konvergen. Sehingga berbekal dari modal inilah, diharapkan semua elemen yang terlibat dalam pesantren ikut serta dalam meletakkan batu bata islam dalam membangun rumah besar Indonesia yang inklusif dan non diskriminatif, karena semua orang pada hakikatnya adalah sama.
Dan pada akhirnya kita ingin bersama-sama menyemai benih-benih kader yang mampu menjadi agen perdamaian untuk membangun peradaban yang unggul dan modern, itulah generasi rahmatan lil alamin, yaitu generasi islam yang kaffah, dengan spirit dakwah yang ramah terhadap kearifan lokal dan terjaga relevansinya dengan kebutuhan zaman.
Wallahua’lam Bisshawab. Biodata singkat Penulis Nama : Ahmad Nizar Zuhdi Al-Hakimi Nama Pena : Zihadeltsamany. Email :ahmadnizarzuhdi24@gmail.com Alamat : Desa Sugio – Lamongan Anak tunggal dari ayah ibu di tuntut agar bidup memiliki tabiat baik, Santri yang mengenyam pendidikan di SMAU Berbasis Pesantren di Ponpes Amanatul Ummah suka bertadabur di dunia literasi bisa disapa di akun sosmed nya _hadzeee.
• • • • • • • • © 2017 dawuhguru.com - All Right Reserved. • Beranda • Kolom Jumat • Kata Kata Bijak • Kata Kata Motivasi • Biografi Tokoh • Pemikiran Tokoh • Berita • Artikel • Esai • Cerpen • Ijazah & Doa • Resensi Buku • Tips • Sajian Khusus • KH. Husein Muhammad • KH. Aguk Irawan MN • KH. Imam Jazuli, Lc. • KH. Mujahidin Nur, Lc. • Kajian Kitab • Santri Journalism • Tanya Jawab • Blog • Iklan Premium • Iklan Gratis • Wedding • Free Advertising • Fasting • Redaksi • Penerbit Dawuh Guru • Pedoman Media Siber • Ketentuan Tulisan • Kerjasama • Tentang • Kontak • Partner • Surau.co • Chord Gitar • Belibis Pustaka • Tukar Tambah • Iklan Gratis • Tempat.org • Wallpaper Keren • Heindonesia.id • Konveksi Jogja • Nawaksara.id • MEDIA ID • NW ONLINE Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, antara lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri.
Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani.
(Muchtarom, 1988: 6-7). Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w.
1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid.
Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25) Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren sekaligus.
Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar.
Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22). Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad.
Tokoh utama lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia 22) Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa.
Pendidikan pesantren membekali santrinya dengan ilmu hidup, mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan. Dari pesantren, mantan Menag mengaku memahami peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan manusia,†ujarnya. Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia.
Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib.
Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.
(Brunessen, 1999:20). *)Â P enulis adalah Mantan Sekretaris PMII Komisariat KH Wachid Hasyim UII Yogyakarta. Tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah. Berita Terbaru • Dayah RUMI Akhiri Kegiatan Pesantren Ramadhan dengan Buka Puasa Bersama & Pembagian Hadiah • Tingkatkan Silaturahmi, KOMNAS Pendidikan Aceh Gelar Buka Puasa Bersama • Pengurus Wilayah KOMNASDIK Aceh Gelar Rapat Koordinasi di Meulaboh • Dayah RUMI Adakan Kegiatan Pesantren Ramadhan Produktif 2022 • Tgk.
Rahmat & Aduwina Resmi Pimpin Komnasdik Provinsi Aceh
• Beranda • Profil • Struktur Organisasi Pesantren • Profil Sekolah • Kontak • Jenjang • Hafizh Junior • Daycare / KB / TK Khairunnas • SD Khairunnas • SMP Pesantren Khairunnas • SMA Khairunnas • KEPQ • Aktivitas • Ekstrakulikuler • Prestasi Siswa • Pendaftaran • PPDB Pesantren Khairunnas • PPDB Hafizh Junior • Pengumuman PPDB • Berita • Search Toggle • Beranda • Profil Menu Toggle • Struktur Organisasi Pesantren • Profil Sekolah • Kontak • Jenjang Menu Toggle • Hafizh Junior • Daycare / KB / TK Khairunnas • SD Khairunnas • SMP Pesantren Khairunnas • SMA Khairunnas • KEPQ • Aktivitas Menu Toggle • Ekstrakulikuler • Prestasi Siswa • Pendaftaran Menu Toggle • PPDB Pesantren Khairunnas • PPDB Hafizh Junior • Pengumuman PPDB • Berita Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia-Deskripsi tentang perkembangan pesantren tidak bisa terlepas dengan penyebaran dan penyiaran Agama Islam di bumi Indonesia ini, sehingga dalam mengkaji perkembangan pesantren ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase, yaitu : • Fase masuknya Islam ke Indonesia • Fase penjajahan Belanda • Fase penjajahan Jepang • Fase Indonesia merdeka Untuk lebih mengetahui perkembangan pesantren di Indonesia, akan berikut penjelasan keadaan dan kondisi pesantren pada masing-masing fase tersebut.
• Fase masuknya Islam ke Indonesia Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia-Berdirinya dan perkembangan pesantren, tidak dapat dipisahkan dengan zaman Walisongo, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan pondok pesantren yang pertama kali adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Syekh Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 12 Rabi‟ul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M adalah orang pertama dari walisongo yang menyebarkan Agama Islam di Jawa, sehingga dapat disimpulkan bahwa lembaga pesantren itu sudah ada sejak abad ke-15. Dalam perkembangan pesantren, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendirikan pesantren di Kembang Kuning, kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pesantren di sana.
Misi keagamaan dan pendidikan yang didirikan mencapai sukses, sehingga setelahnya banyak bermunculan pesantren- pesantren yang didirikan oleh para santrinya, di antaranya adalah pondok pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah, pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.
Keadaan dan kondisi pesantren pada masa awal masuknya Islam tidak seperti yang perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia lihat sekarang, fungsi dan kedudukannya pun tidak sekompleks sekarang, pada saat itu pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni ibadah untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
• Fase Penjajahan Belanda Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia-Penaklukan Belanda atas bangsa di Nusantara, telah menyebabkan adanya proses westernisasi di berbagai bidang, termasuk pula dalam bidang pendidikan, dengan berdalih pembaharuan mereka menyelinapkan misi kristenisasi untuk kepentingan Barat dan agama Nasrani. Tujuan itulah yang kemudian memunculkan kebijakan-kebijakan yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan pesantren, dengan peraturan-peraturan yang dibuat, mereka berusaha untuk menyudutkan dan meminggirkan lembaga-lembaga pendidikan yang ada, khususnya pesantren.
Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja diwajibkan sebagai sekolah pemerintah dan tiap-tiap daerah karesidenan minimal harus ada satu sekolah yang mengajarkan agama Kristen, agar penduduk pribumi lebih mudah untuk menaati undang-undang dan hukum negara.
Pendidikan gereja ini didirikan oleh pemerintah Belanda dengan tujuan selain mempunyai misi kristenisasi juga untuk menandingi lembaga pendidikan yang sudah ada, seperti pesantren, madrasah-madrasah dan pengajian yang sangat melekat di hati rakyat, karena pemerintah Belanda menganggap pendidikan yang telah ada sudah tidak relevan dan tidak membantu pemerintah Belanda dalam misi kolonialisme.
Pemerintah Belanda berusaha menyudutkan lembaga pendidikan Islam dengan membuat kebijakan-kebijakan yang melarang kiai untuk memberikan pengajaran agama kecuali ada izin dari pemerintah. Pemerintah Belanda melakukan penutupan terhadap madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren yang tidak memiliki izin dari pemerintah. Kebijakan ini ditekankan karena pemerintah Belanda melihat adanya kekhawatiran dengan menguatnya gerakan nasionalisme-islamisme dengan munculnya persatuan pondok-pondok pesantren dan lembaga organisasi pendidikan Islam, dan juga perkembangan agama Kristen yang selalu mendapat reaksi keras dari rakyat.
Kebijakan-kebijakan kolonial yang senantiasa berusaha untuk menghambat dan bahkan menghancurkan pendidikan Islam, telah menyebabkan kekhawatiran, kemarahan, kebencian dan pemberontakan kepada pemerintah Belanda yang oleh kalangan pesantren dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi, yaitu : • ‘Uzlah, pengasingan diri, menyingkir ke desa-desa terpencil yang jauh dari jangkauan suasana kolonial.
Hal ini dimaksudkan selain untuk menghindarkan dari kebijakan-kebijakan kolonial Belanda, juga untuk menjaga diri dari pengaruh moral dan kebudayaan yang destruktif. • Bersikap non kooperatif dan mengadakan perlawanan secara diam-diam, hal ini dilakukan oleh para kiai yang mengajarkan pendidikan keagamaan dengan menumbuhkan semangat jihad para santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah.
Dengan fatwa-fatwanya semacam membela negara dari ancaman penjajah, lebih lagi kafir adalah bagian dari iman, bahkan sampai fatwa yang mengharamkan segala sesuatu yang berasal dan berbau barat seperti, memakai celana, dasi, sepatu dan lainnya. • Berontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda, dengan silih berganti selama berabad-abad kalangan pesantren senantiasa berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara ini sehingga lahirlah nama-nama pejuang besar yang berlatar belakang santri seperti Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Sultan Agung, Ahmad Lucy (Pattimura) dan lainnya.
Keadaan pesantren pada masa penjajahan Belanda banyak mengalami kemunduran disebabkan adanya tekanan yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap pesantren.
Sehingga pesantren menjadi terpinggirkan, dan pesantren tidak bisa konsentrasi penuh dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan lembaga sosial, karena pesantren harus ikut berjuang dalam rangka memerangi kolonialisme Belanda dari bumi nusantara ini.
Namun di sisi lain, hal ini menunjukkan daya tahan pesantren. Walaupun pemerintah Belanda secara maksimal perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia untuk membatasi gerak pesantren melalui tekanan, ancaman, dan kebijakan yang sangat merugikan pesantren ternyata pesantren masih tetap eksis di tengah-tengah gelora perjuangan melepaskan diri dari kekangan penjajah Barat (Belanda).
Bahkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, lahir kegairahan dan semangat baru dari kalangan muslim, pesantren berusaha keluar dari ketertinggalannya, dipelopori oleh para perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia muda yang baru menyelesaikan studinya di Mekah, berusaha membuka sistem pendidikan yang sebanding dengan sistem sekolah, yaitu sistem madrasah.
Dengan sistem ini pesantren dapat berkembang kembali dengan baik dan cepat, dan mampu menyaingi sekolah-sekolah Belanda seperti contoh pesantren Tebu Ireng yang memiliki lebih dari 1500 santri. Selain itu, kaum santri juga mengalami tumbuhnya kesadaran untuk bersatu dan mengatur dirinya secara baik, sehingga bermunculan organisasi-organisasi Islam, seperti SI (Serikat Islam), Muhammadiyah dan NU.
Organisasi-organisasi itu bertujuan untuk membela dan meningkatkan kualitas beragama, bermasyarakat dan bernegara. • Fase Penjajahan Jepang Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia-Jepang menjajah Indonesia setelah menguasai pemerintah Hindia Belanda dalam perang dunia II, mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan Asia Timur Raya untuk asia dan semboyan Asia Baru.
Pada awalnya sikap pemerintahan Jepang menampakkan sikap yang sangat menguntungkan Islam, seakan-akan membela kepentingan Islam.
Sikap tersebut ternyata hanyalah siasat Jepang untuk memanfaatkan kekuatan Islam dan nasionalis untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang, sehingga Jepang berusaha menarik simpati dari kalangan Islam dengan kebijakan-kebijakannya, di antaranya adalah: • Kantor urusan agama yang pada Zaman Belanda disebut kantor Voor Islamistiche Sakenyang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri, yaitu KH.
Hasyim Asy‟ari dan di daerah juga dibentuk Sumuka yang juga dipegang oleh kalangan Islam. • Pondok pesantren yang besar seringkali mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang. • Sekolah negeri diberi pelajaran Budi Pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama. • Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan. Kebijakan-kebijakan Jepang sebagaimana tersebut di atas, sedikit memberikan ruang gerak bagi pertumbuhan pesantren dan pendidikan madrasah, Namun, itu tidak berlangsung lama, karena setelah mendapat tekanan dari pihak sekutu, pemerintah Jepang bertindak sewenang-wenang dan bahkan lebih kasar dan kejam dari pada pemerintah Hindia Belanda.
Kegiatan sekolah diberhentikan diganti dengan kegiatan baris-berbaris dan latihan perang untuk membantu Jepang, sehingga para kiai banyak yang ditangkap akibat melakukan pembangkangan dan pemberontakan. Demikian juga, pondok pesantren tidak boleh banyak bergerak meskipun pengawasan yang dilakukan bersifat wajar. Masa-masa ini tidak berlangsung lama karena pemerintah Jepang semakin terjepit akibat kalah perang dengan sekutu.
Hingga akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. • Fase Kemerdekaan Indonesia Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, pemimpin bangsa Indonesia memulihkan kembali dan berusaha mengembangkan pendidikan di Indonesia sesuai dengan kebudayaan asli bangsa Indonesia. Pondok-pondok pesantren yang pada masa penjajahan kurang mendapatkan kebebasan dan mengembangkan misinya, mulai bermunculan dan berusaha untuk senantiasa eksis dan berbenah diri untuk meningkatkan daya saingnya bersama lembaga-lembaga lain.
Pondok pesantren pada masa ini yang merupakan lembaga pendidikan yang bersifat non formal mulai mengadakan perubahan- perubahan guna menghasilkan generasi-generasi yang tangguh, yang berpengalaman luas, di antaranya dengan memasukkan mata pelajaran non agama ke dalam kurikulum pesantren, sebagian juga ada yang memasukkan pelajaran bahasa asing ke dalam kurikulum wajib di pondok pesantren. Demikian pula pesantren mulai mengembangkan sayapnya dengan memperbaharui sistem klasikal dalam pengajarannya, mendirikan madrasah-madrasah, sekolah umum dan bahkan ada sebagian pondok pesantren yang memiliki perguruan tinggi.
Pondok pesantren mulai membuka diri dari berbagai masukan dan kritikan yang bersifat membangun dan tidak menyimpang dari agama Islam, sehingga pembaharuan di sana sini terus dilakukan oleh pesantren. Hal ini akan merubah penafsiran bahwa pesantren itu identik dengan kekolotan, tradisional, bangunannya yang sempit, kumuh dan terisolasi di pedesaan kepada pandangan yang menilai bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia dan dapat dibanggakan, yang bisa perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia alternatif sistem pendidikan modern.
Kalau peneliti lihat alumni-alumni pondok pesantren saat sekarang ini sudah banyak yang sukses berkecimpung di berbagai bidang, mulai dari kalangan elite sampai di bawah. Ini menunjukkan besarnya peranan pesantren dalam ikut andil menyukseskan pembangunan bangsa Indonesia.
Pesantren pada masa orde baru mendapat perhatian yang besar dari pemerintah yang senantiasa mendorong agar pesantren dapat menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan ini tidak lain bertujuan agar pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman.
Di samping itu, juga diarahkan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai pusat penyuluhan, pusat kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna, pusat pemberdayaan ekonomi dan lain sebagainya. Oleh karena itu pesantren untuk masa sekarang dan yang akan datang harus dapat dijadikan wahana dalam melanjutkan perjuangan, yakni berjuang melalui pembangunan jasmani dan rohani, terutama di pedesaan yang merupakan tempat tinggal sebagian besar rakyat Indonesia.
Bahkan telah ditetapkan Hari Santri Nasional oleh pemerintah Indonesia. Filed under: Artikel Post Navigation ← Previous Post Next Post → Peranan pondok-pondok pesantren yang tersebar diberbagai wilayah di Indonesia sudah sangat teruji keberadaannya jika dilihat dari latar belakanag sejarah pendidikan di Indonesia, karena tempat terjadinya proses pendidikan pertama kali di indonesia bermula dari berdirinya pondok-pondok pesantren yang didirikan secara swadaya masyarakat setempat.
Pondok pesantren termasuk lembaga pendidikan yang sudah sangat lama ada di Indonesia sehingga begitu mengakar dengan budaya bangsa serta mampu mempertahankan eksistensinya dari berbagai ujian. Pesantren memiliki tata nilai yang akhirnya dapat membentuk sistem pendidikan dan mampu menyerap nilai-nilai edukatif lama yang telah ada dan membudaya sekaligus berkembang mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa harus kehilangan jati dirinya.
Pondok pesantren memiliki karakter tersendiri, yaitu keislaman dan keaslian Indonesia. Maksudnya, sebagai lembaga pendidikan yang identik dengan keislaman sekaligus orisinal (asli berasal dari Indonesia) dengan ciri khas memiliki padepokan atau asrama untuk tempat tinggal peserta didik yang biasa disebut santri.
Dengan demikian pondok pesantren merupakan perpaduan kosakata bahasa Arab dan lokal. Secara istilah, pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan di mana peserta didik tinggal di asrama selama 24 jam untuk melaksanakan proses belajar-mengajar baik pendalaman ilmu agama (tafaqquh fiddin) maupun keterampilan dan kecakapan hidup. 2. Pendidikan Pesantren sebagai Sarana Dakwah Pendidikan pondok pesantren merupakan serangkaian proses belajar-mengajar berasrama yang berlangsung selama 24 jam dengan tujuan menyiapkan secara sadar peranan peserta didik di masa yang akan datang.
Hal tersebut dilakukan melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, baik secara konvensional maupun sudah mengalami sentuhan metode modern. Menurut Agus Sunyoto di dalam buku Atlas Walisanga; usaha dakwah Islam yang dijalankan Walisanga melalui pendidikan mengalami proses akulturasi dengan budaya dan agama sebelumnya. Pola dakwah tersebut adalah melalui pengembangan model dukuh yang semula merupakan lembaga pendidikan Hindu-Buddha serta padepokan yang merupakan lembaga pendidikan Kapitayan (tempat bermukim para cantrik) yang diformat sesuai ajaran Islam menjadi lembaga pondok pesantren.
Melalui murid (santri) itulah tersebar karisma kiai di bidang keagamaan sekaligus budi luhur yang dituturkannya. Kiai juga memberi ilham kepada masyarakat sekitarnya dalam memecahkan persoalan. Biasanya, seorang anak kiai sangat dihormati oleh para santri dan masyarakat sekitar sebagaimana tampak dari panggilan “Gus” (singkatan dari “gusti” atau “bagus”).
Istilah “santri” pada dasarnya muncul bersamaan dengan berdirinya pesantren di Indonesia. Santri yang dikenal sebagai penghuni pesantren bila dikaji tentu tidak akan lepas dari figur seorang kiyai yang membentuk kepribadian dan karakternya serta sebagai lingkungan kehidupannya selama menjadi santri. 3. Pesantren Sebagai Pencetak Para Da’i
Pesantren merupakan lembaga dakwah tertua di Indonesia yang dikembang untuk melakukan penyiaran agama Islam.
Pesantren memiliki kaitan erat dengan pendidikan Islam, sehingga mengandung arti sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang agar menjadi pribadi perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia Islami.
Karena itu lembaga pesantren dalam pendidikan Islam dianggap sebagai sarana untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kata teladan dalam al-Qur'an indentik dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat hasanah di belakangnya yang berarti contoh teladan yang baik. Kata uswah dicontohkan pada Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim, "Dalam diri rasulullah itu kamu dapat menemukan teladan yang baik."(Q.S.
33: 21). Metode teladan ini dianggap penting karena aspek agama yang mengandung akhlak yang termasuk dalam kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behaviroral). [1] Tentang keteladan Nabi Ibrahim dijelaskan Allah; Dalam al-Qur'an banyak diceritakan cerita-cerita atau kisah-kisah, bahkan secara khusus terdapat nama surat al-Qashash.
Kisah atau cerita sebagai suatu metode dakwah ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiyah manusia yang menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya besar tehadap perasaan.
[4] Oleh karena itu Islam mengangkat cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik berdakwah. Mengungkapkan berbagai jenis cerita seperti, cerita sejarah faktual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia dimaksudkan agar kehidupan manusia bisa seperti pelaku yang ditampilkan oleh contoh tersebut. Atau kisah kehancuran umat masa lalu, dimaksudkan supaya manusia sekarang tidak mengikuti perbuatan umat masa lalu tersebut. Al-Qur'an juga menggunakan kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya.
Inilah yang kemudian dikenal dengan nasihat. Tetapi nasihat yang disampaikannya ini selalu disertai dengan panutan atau teladan dari sipemberi atau penyampai nasihat itu.
Ini menunjukkan bahwa antara satu metode yakni nasihat dengan metode lain yang dalam hal ini keteladanan bersifat saling melengkapi. Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa al-Qur'an secara eksplisit menggunakan nasihat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur'an berbicara tentang penasihat, yang dinasihati, obyek nasihat, situasi nasihat dan latar belakang nasihat.
Karena itu sebagai metode pengajaran nasihat dapat diakui kebenarannya. [7] Pesantren juga memberikan pendidikan melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Al-Qur'an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik dalam pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan.
Selain itu al-Qur'an juga menciptakan agar tidak terjadinya kerutinan yang kaku dalam bertindak, dengan cara terus menerus mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan kebiasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang dapat mengalirkan bekas cahaya ke dalam hati sehingga tidak gelap gulita.
Karena itu pesantren menggunakan kebiasaan tidak terbatas yang baik dalam bentuk perbuatan melainkan juga dalam bentuk perasaan dan pikiran.
Dengan kata lain pembiasan yang ditempuh pesantren juga menyangkut segi pasif dan aktif. Kedua segi ini tergantung pada kondisi sosial ekonomi, bukan menyangkut kondisi kejiwaan yang berhubungan erat dengan akidah atau etika.
Sedangkan yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan, ditemukan pembiasaan secara menyeluruh. [8] Bila teladan dan nasihat tidak mampu, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar, tindakan tegas itu adalah hukuman. [9] Tahapan memberi hukuman ini terdapat pro kontra, setuju dan menolak. Kecenderungan metode pendidikan modern memandang tabu terhadap hukuman itu, tetapi dalam dunia pesantren memandang bahwa hukuman bukan sebagai tindakan yang pertama kali yang harus dilakukan oleh seorang pendidik, dan bukan pula cara yang didahulukan, akan tetapi nasehatlah yang paling didahulukan Islam menggunakan seluruh teknik pendidikan.
Tidak membiarkan satu jendela pun yang tidak dimasuki untuk sampai ke dalam jiwa. Islam menggunakan contoh teladan dan nasihat seta tarhib dan targhib, tetapi di samping itu juga menempuh cara menakut-nakuti dan mengancam dengan berbagai tingkatannya, dari ancaman sampai pada pelaksanaan ancaman itu. [10] Dengan demikian, keberadaan hukuman dan ganjaran diakui dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina umat manusia dalam kegiatan dakwah.
Hukuman dan ganjaran ini diberlakukan kepada sasaran pembinaan yang lebih bersifat khusus. Hukuman untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat, sedangkan pahala untuk orang yang patuh dan menunjukkan perbuatan baik. Khutbah disebut juga tabligh atau menyampaikan sesuatu ajaran, khususnya dengan lisan diakui keberadaannya, bahkan telah dipraktekkan oleh Rasulullah dalam mengajak umat manusia ke jalan Tuhan.
[12] Cara ini banyak digunakan termasuk dalam pengajaran, karena metode ini paling murah, mudah dan tidak banyak memerlukan peralatan. Model ini juga dipergunakan seorang guru dalam mengajar murid-murid di lembaga perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia. [13] Pesantren juga menggunakan metode ini dalam mendidik dan mengajarkan manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian, dan sikap pengetahuan mereka terhadap sesuatu masalah.
[14] Perintah Allah dalam hal ini, agar kita mengajak ke jalan yang benar dengan hikmah dan mau'izhah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi yang baik. Oleh sebab itu, karena tujuan umum maupun tujuan khusus dari masing-masing kegiatan memiliki perbedaan dan tekanannya masing-masing, maka implikasinya dalam kegiatan hendaklah mampu melihat perbedaan-perbedaan tersebut dan membawanya ke dalam situasi pemilihan sistem yang dianggap paling tepat dan serasi untuk diterapkan.
[16] Efektif tidaknya suatu kegiatan dakwah juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan da’i yang melaksanakannya. Di samping kepribadian da’i memang cukup dominant pengaruhnya, misalnya seorang da’i A oleh karena mahir dan cerdik dalam berbicara sehingga setiap pendengar menjadi terkesan dan terpukau dengan pembicaraannya, maka ceramah menjadi pilihan utama di samping cara lain sebagai pendukungnya.
Akan tetapi ceramah tersebut akan menjadi tidak efektif bagi seorang da’i yang pendiam dan tidak menguasai teknik-teknik berceramah yang baik. [17] Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dipahami bahwa kemampuan da’i sangat berperan untuk memilih materi yang sesuai dengan materi ceramah yang diberikan.
Jika metode yang digunakan tidak sesuai, maka proses pelaksanaan dakwah tidak akan berhasil. Oleh karena itu, kemampuan da’i memegang peranan penting dalam menciptakan keberhasilan dakwah. Pada fitrahnya memang setiap individu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam.
Dalam hal ini berhadapan dengan mustami’ yang masing-masing memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia antara satu dengan yang lain selamanya siswa berbeda dalam kelas. Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut diperlukan kearifan dalam penyampaian dakwah sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahlu ayat 25 sebagai berikut: Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q. S. an-Nahlu: 125) [19] Situasi dan kondisi yang dimaksud, yaitu termasuk kondisi lapangan, apakah berada di pasar atau di samping bioskop dan sebagainya. Demikian juga keadaan da’i dan pendengar saat mana waktu akan memberikan ceramah apakah da’i dalam keadaan lelah sehingga ceramah pada saat itu perlu dipertimbangkan dan diganti dengan da’i lain yang dianggap lebih tepat.
Ini berarti da’i perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi jika dakwah ingin berhasil secara optimal. [20] Berdasarkan gambaran di atas, dapat dipahami bahwa situasi dan kondisi merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi proses dakwah, karena keberhasilan dakwah sangat bergantung pada situasi dan kondisi. Apabila situasi dan kondisi tidak dipengaruhi oleh kebisingan atau rasa lelah yang menimpa da’i, maka kegiatan dakwah akan berhasil dengan baik.
[4] Istilah ini dalam al-Qur'an disebut Qasas berarti berita yang berurutan. Qasas al-Qur'an adalah pemberitaan Qur'an tentang hal ikhwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur'an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat.
Ia menceritakan keadaan perkembangan pesantren dan peranannya dalam dakwah islam di indonesia dengan cara yang menarik dan mempesona.
Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur'an, terj. Mudzakir AS, ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), hal. 436. [10] Hukuman dikenal dengan azab yang disebutkan 373 kali dalam al-Qur'an. Jumlah yang besar ini menunjukkan perhatian al-Qur'an yang amat besar terhadap masalah hukuman ini, dan meminta perhatian manusia. Sedangkan kata ganjaran (ajrun) sebanyak 105 kali, inipun termasuk jumlah besar.
Berkenaan dengan hukuman ini dijumpai dalam ayat-ayat: "Bila kamu tidak patuh, seperti dulu kamu pernah tidak patuh, Dia akan menghukummu dengan siksaan yang pedih." (Q.S. 48: 16).
"Bila mereka tidak patuh, maka Allah akan menghukum mereka dengan hukuman yang pedih di dunia dan akhirat." ( Q. S. 9: 74 ).
Fakta yang tak terbantahkan bahwa pesantren mengalami perkembangan pesat.
Secara kuantitatif, jumlah pesantren terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Balitbang Diklat Kemenag, ditemukan dari 14.656 pada tahun 2003-2004 jumlah pesantren menjadi 28.961 pada tahun 2014-2015.
Perkembangan pesantren secara kualitatif dapat dilihat dari berbagai aspek, di antaranya status kelembagaan, tata pamong, penyelenggaraan program pendidikan, perluasan bidang garap, kekhasan bidang keilmuan, diversifikasi usaha ekonomi, jaringan kerjasama, dan lain-lain. Keragaman perkembangan itu menghasilkan berbagai ekspresi pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perkembangan pesantren juga terkait dengan status dan perannya yang semakin luas (wider mandate) dari sebagai lembaga keagamaan, pendidikan, sosial sampai ke kampung peradaban dan artefak peradaban Indonesia.
Peran pesantren sebagai lembaga keagamaan tidak dapat dipungkiri, yaitu sebagai salah satu unsur penggerak Islam di Indonesia (Lombard, 2005). Pesantren juga telah memberikan akses pelayanan pendidikan bagi kemajuan umat. Sebagaimana diidentifikasi oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, pesantren dapat dijelaskan sebagai “satuan pendidikan” dan “penyelenggara pendidikan”.
Saat ini dapat disaksikan banyak pesantren yang menyelenggarakan pendidikan Madrasah, pendidikan sekolah, pendidikan tinggi, pendidikan keterampilan, pendidikan mu’adalah, dan lain-lain. Santri yang belajar di pesantren sampai tahun 2015 berjumlah 4.028.660 orang yang terdiri dari 2.069.029 atau (51,1%) santri laki-laki dan 1.968.631 atau (48,9 %) santri perempuan. Dari jumlah santri tersebut, sebanyak 2.516.591 atau 62,5 % santri mukim dan 1.512.069 atau 37,5 % santri tidak mukim.
Jumlah pendidik sebanyak 333.795 orang yang terdiri dari 208.108 atau 62,3 % berpendidikan < S1, 114.029 atau 34,2 % berpendidikan S1, dan 11.657 atau 3,5 % berpendidikan S2. Dinamika pesantren dalam jumlah, aspek kualitatif dan perannya memunculkan kebutuhan untuk mengetahui sejauhmana kapasitas yang dimiliki pesantren. Keragaman pesantren dan meluasnya peran pesantren dalam bidang pendidikan, keagamaan, dan sosial menjadi dasar kebutuhan pengukuran kapasitas pesantren yang memiliki akurasi, dan penetapan komponen-komponennya yang argumentatif secara teoretis, operasional, dan terukur.
Kapasitas pesantren pada hakikatnya menggambarkan isian, muatan, kemampuan, kandungan, kesanggupan, kapabilitas, atau “kebolehan” dari suatu pesantren. Adapun indeks mengacu pada “pedoman, penunjuk, dan pengenal,” sesuatu. Dengan kata lain, IKP (Indeks Kapasitas Pesantren) adalah pedoman, penunjuk, dan pengenal atas muatan, kemampuan, kandungan, kesanggupan, kapabilitas, atau “kebolehan” dari suatu Pesantren.
(Kendi Setiawan)