Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah dan islam senantiasa menganjurkan umatnya untuk menikah atau tidak hidup melajang. Dalam hadits disebutkan bahwa orang yang menikah telah memenuhi separuh agamanya dan tanpa menikah, agama seseorang tidaklah sempurna. Pernikahan dalam islam dipandang sebagai suatu ibadah dan hukumnya bisa berbeda-beda tergantung kondisinya. Pernikahan itu bisa wajib, sunnah, mubah dan haram disebabkan oleh beberapa aturan kaidah dan saat menikah ada syarat-syarat akad nikah yang harus dipenuhi.
Tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk membangun tumah tangga dan meneruskan garis keturunan dan boleh didahului dengan pertunangan (baca tunangan dalam islam). Pernikahan dalam islam dianjurkan sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al qur’an surat An Nisa ayat 1 dan 3 yang bunyinya يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبً ”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”(QS.
an-Nisa’: 1) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”(QS. an-Nisa’: 3) Meskipun demikian ada pernikahan yang tidak boleh dilaksanakan, salah satunya adalah pernikahan dengan wanita yang haram dinikahi.
Untuk mengetahui secara lebih jelas maka simak penjelasan berikut ini Pengertian Mahram Mahram adalah sebuah kata dalam bahasa arab yang berarti wanita yang haram dinikahi adalah golongan wanita yang tidak boleh dinikahi secara resmi atau nikah siri oleh seorang laki-laki baik yang bersifat selamanya atau sementara. Laki-laki yang menjadi mahram sang wanita tidak boleh menikahi wanita tersebut dengan alasan apapun.
Dalam islam wanita yang haram di nikahi disebutkan dalam Al qur’an surat An Nisa ayat 23 yang bunyinya حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.
an-Nisa: 23) Pembagian Mahram Berdasarkan ayat tersebut maka terdapat tiga golongan utama mahram yakni mahram karena nasab atau keurunan, mahram mushaharah atau karena pernikahan dan mahram karena persusuan dan juga merupakan wanita yang haram dinikahi. Adapun penjelasannya sebagai berikut 1. Mahram karena nasab Golongan wanita yang haram dinikahi dalam islam adalah wanita yang terikat dengan hubungan nasab atau berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah.
Berdasarkan surat An Nisa ayat 23 maka wanita yang tidak boleh dinikahi berdasarkan nasab meliputi • Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita • Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita • Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu • Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu • Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu • Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita • Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita Dan pihak laki-laki yang tidak boleh menikahi wanita tersebut adalah diantaranya • Ayah kandung, • Kakek dari jalur ayah maupun dari jalur ibu dan seterusnya keatas (kalau ada buyut), • Saudara kandung laki-laki, • Anak kandung, cucu dan seterusnya kebawah (kalau ada cicit), • Saudara laki-laki kandung ayah (yaitu paman dari jalur ayah), • Saudara laki-laki kandung ibu (paman dari jalur ibu), • Saudara laki-laki kandung kakek, • Saudara kandung laki-laki nenek, • Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki/perempuan (yaitu keponakan laki-laki), • Cucu saudara kandung dan seterusnya kebawah.
2. Mahram karena pernikahan Golongan wanita kedua yang tidak boleh dinikahi adalah golongan wanita atau mahram atas dasar hubungan pernikahan dan sifatnya sementara yang berarti jika hubungan pernikahan tersebut berakhir karena konflik dalam keluarga maupun terjadi perselingkuhan dalam rumah tangga dan menimbulkan talak, (baca hukum talak dalam pernikahan dan perbedaan talak satu, dua dan tiga) maka setelah perceraian, sifat mahramnya pun bisa berubah.
Berdasarkan surat An Nisa ayat 23 golongan wanita ini termasuk • Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas • Istri anak, istri cucu atau menantu dan seterusnya ke bawah • Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas • Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah)cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah maka pihak pria yang tidak boleh menikahinya termasuk • Ayah suami (mertua), • Kakek dari suami, • Anak laki-laki dari suami (anak tiri), • Suami dari anak (menantu), berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah Suami ibu (ayah tiri), • Suami nenek (kakek tiri).
3. Mahram karena persusuan Golongan wanita ketiga yang haram dinikahi adalah wanita yang menyususi seseorang dan akibatnya menimbulkan hukum bahwa suami, anak dan saudara lelaki tersebut haram menikahi anak tersebut jika anak tersebut perempuan, dan jika anak tersebut laki-laki maka ia haram menikahi wanita yang menyusuinya serta semua yang terikat nasab dengan wanita yang menyusuinya.
Hal ini juga disebutkan dalam surat An Nisa ayat 23 yakni “Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.”. Adapun ketentuan menyusui adalah sebagai berikut • Menyusui sebelum anak berusia dua tahun وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ “Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah 233) • Tidak dikarenakan kelaparan Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa rasul bersabda “bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.” • Menyusui lebih dari lima kali Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah seorang wanita boleh menyusui seorang anak dan dianggap sebagai mahram jika menyusuinya lebih dari lima kali.
Penyusuan tersebut haruslah membuat sang anak kenyang, dan tidak mau lagi disusui. Demikianlah wanita yang haram dinikahi, semoga sebelum menikah kita memastikan terlebih dahulu apakah wanita tersebut halal untuk dinikahi. Apabila seseorang hendak memilih atau sedang mencari jodoh janganlah berputus asa karena mungkin ada hal-hal yang menjadi penyebab terhalangnya jodoh.
mencari jodoh bisa dilaksanakan dengan cara ta’aruf dengan memperhatikan kriteria calon istri yang baik, kriteria calon suami yang baik, mencari jodoh dalam islam dan cara memilih pendamping hidup.
PERNIKAHAN merupakan suatu bentuk keseriusan dalam sebuah hubungan. Selain merupakan bentuk cinta, pernikahan juga merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Bahkan, disebutkan dalam islam bahwa pernikahan adalah menggenapkan setengah agama. Tapi ternyata ada wanita yang tidak boleh dinikahi karena sifat-sifatnya lho.
Kata pernikahan sendiri berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘An-Nikah’ berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah memiliki beberapa makna. Menurut Bahasa, berarti berkumpul, Bersatu dan berhubungan.
Dalam salah satu ayat didalam Al-Qur’an, Allah berfirman: ‘’Dan nikahlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), Maha mengetahui.’’ (An-Nur:32). BACA JUGA : 6 Ciri Wanita penghuni Surga Bersatu nya dua insan, laki-laki dan perempuan diharapkan bisa menjadi media serta tempat yang sempurna untuk meraih pahala dan ridho dari Allah SWT.
Oleh karena itu, pernikahan dalam islam merupakan sesuatu yang sakral, jadi sebisa mungkin harus dijaga bahkan hingga maut memisahkan. Diperjelas oleh beberapa ulama ahli fiqih tentang pernikahan : -Imam Maliki Pernikahan adalah sebuah akad yang menjadikan hubungan seksual seorang perempuan yang bukan mahram, budak dan majusi menjadi halal dan shighat.
Foto: Freepik -Imam Hanafi Pernikahan berarti seorang laki-laki memperoleh hak untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan. Dan perempuan yang dimaksud ialah seorang yang hukumnya tidak ada halangan yang sesuai syar’i untuk dinikahi. -Imam Syafi’i Pernikahan adalah akad yang membolehkan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij tau lafadz lain dengan makna serupa.
-Imam Hambali Pernikahan merupakan proses terjadinya akad perkawinan. Yang nantinya akan memperoleh sesuatu pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang memiliki sinonim. Semua pendapat yang disampaikan oleh empat madzhab diatas mengandung makna yang hampir sama. Yaitu, mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya tidak halal menjadi halal dengan akan atau sighat.
BACA JUGA : Ini yang Terjadi pada Wanita Menstruasi Loading. Nabi SAW bersabda : ‘’Wahai pemuda, barang siapa yang mampu menikah diantara kalian maka nikahlah. Dalam Riwayat lain, barang siapa yang mampu memikul beban keluarga maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah mampu menahan pandangan dan menjaga kehormatan, dan barang siapa yang tidak sanggup menikah maka puasalah, karena puasa merupakan perisai yang dpaat meredam syahwat.’’ Dari Abdullah bin Amar RA, bahwasannya Rasulullah SAW.
Bersabda : ‘’Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan itu adalah Wanita shalihah.’’ (H.R. Muslim). Dalam Riwayat lain : ‘’Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah seorang istri yang menolong suaminya untuk urusan akhirat.’’ Tidak ada yag paling berfaedah setelah bertaqwa kepada Allah SWT selain memiliki istri yang sholihah, jika suami memerintahkan nya, maka ia mentaatinya, jika suami memandangnya, maka ia menyenangkan nya, jika suami bersumpah kepadanya maka ia memperbaikinya, jika suami tidak ada disisinya, maka ia menjaga diri dan harta suaminya.
Rasulullah SAW bersabda : ‘’Barangsiapa yang menikahi wanita karena kemuliaannya maka Allah tidak akan menambahkan kecuali kehinaan. Barang siapa yang menikahi Wanita karena hartanya maka Allah SWT tidak akan menambahkan kecuali kemiskinan.
Barangsiapa yang menikahi Wanita karena kecantikannya maka Allah tidak akan menambahkan kecuali kerendahan. Foto: Pixabay BACA JUGA : Kedudukan Wanita dan Poligami Dan barang siapa yang menikahi Wanita tanpa tujuan lain, kecuali meredam sahwatnya dan untuk menjaga kesuciannya dari perbuatan zina, atau berniat menyambung ikatan keluarga maka Allah akan memberkahi istrinya.
Sedangkan seorang budak hitam namun kuat imannya adalah lebih utama.’’ Rasulullah SAW bersabda kepada Zaid bin tsabit : ‘’Hai zaid, apakah engkau sudah menikah? Zaid menjawab ‘’Belum’’ Nabi SAW bersabda ‘’Menikahlah, maka akan terjaga kesucianmu, sebagaimana berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah menjaga kesucian dirimu.
Dan jangan kamu menikah dengan 5 golongan wanita’’ Zaid bertanya ‘’Siapakah mereka ya Rasulullah?’’ Nabi menjawab ‘’Mereka adalah : Syahbarah, lahbarah, Nahbarah, Handarah, lafut. Zaid bertanya ‘’Ya Rasulullah, aku tidak mengerti yang engkau katakan’’ Kemudian Nabi SAW menjelaskan, 1.
Wanita yang Tidak Boleh Dinikahi: Syahbarah Wanita yang bermata abu-abu dan jelek tutur katanya. 2. Wanita yang Tidak Boleh Dinikahi: Lahbarah Wanita yang tinggi dan kurus. 3. Wanita yang Tidak Boleh Dinikahi: Nahbarah Wanita tua yang senang membelakangi suaminya (ketika tidur) 4.
Wanita yang Tidak Boleh Dinikahi: Handarah Wanita yang kuntet dan tercela. 5. Wanita yang Tidak Boleh Dinikahi: Lafut Wanita yang melahirkan anak dari laki-laki selain kamu. Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata “Ya rasulullah, aku ingin menikahi seorang wanita yang baik dan cantik, tetapi dia berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah, apakah aku boleh menikahinya?” Nabi SAW menjawab “jangan”. Lalu dia datang lagi pada rasulullah untuk kedua kalinya, Rasul tetap melarangnya.
Kemudian datang lagi untuk ketiga kaliya, Nabi SAW tetap melarangnya menikahi wanita itu, dan beliau bersabda “Menikahlah kalian dengan wanita yang selalu menyenangkan hati dan banyak anaknya.
Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian dihadapan umat terdahulu pada hari kiamat.’’[] SUMBER : EBOOK ‘’QURROTUL UYUN’’
WANITA YANG DIHALALKAN DAN YANG DIHARAMKAN (UNTUK DINIKAHI) Oleh Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴿٢٣﴾ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina.
Maka berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” [An-Nisaa’/4: 23-24] Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Abbas, “Tujuh (golongan yang) dihalalkan untuk dinikahi karena alasan nasab, dan tujuh (golongan) karena alasan mushaharah (semenda/ ikatan perkawinan).” Kemudian dia membaca, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu…”[1] Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Dalam riwayat ath-Thabrani dari jalur selain maula Ibnu ‘Abbas, dari Ibnu ‘Abbas, disebutkan di akhir hadits tersebut, ‘… kemudian dia membaca: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ‘Diharamkan berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah kamu (mengawini) ibu-ibu-mu,’ hingga ayat: وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ ‘Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.’ Kemudian mengatakan: ‘Inilah senasab.’ Kemudian membaca, وَأُمَّهَاتُكُمُ الَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ ‘Ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara perempuan sepersusuan,’ hingga ayat, وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ ‘Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,’ dan membaca: وَلاَ تَنكِحُـوا مَـا نَكَحَ ءَ ابَآؤُكُم مِّنَ النِّسَآءِ ‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.’ (An-Nisaa’/4: 22), lalu mengatakan, ‘Inilah semenda.’”[2] Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Menyebut sepersusuan dengan semenda (shahr) adalah boleh, demikian pula isteri orang lain.
Mereka semua (haram untuk dinikahi selamanya), kecuali menghimpun di antara dua saudara dan isteri orang lain. Termasuk dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan ialah mantan isteri kakek, dan nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas. Demikian pula nenek dari pihak ayah, dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah. Demikian pula cucu perempuan dari anak perempuan, dan anak perempuan keponakan perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
Demikian pula anak perempuan keponakan perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan keponakan laki-laki dari saudara laki-laki, saudara perempuan, dan bibi (dari pihak ayah) dan seterusnya ke atas.
Demikian pula bibi ibu, baik dari pihak bapak maupun ibunya, dan seterusnya ke atas. Demikian pula bibi bapak (dari pihak ibu), nenek isteri dan seterusnya ke atas, dan anak perempuan dari anak tiri perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian pula anak perempuan dari anak tiri laki-laki, isteri cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak perempuan, serta meng-himpun antara seorang perempuan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”[3] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena nasab, maka ketetapannya bahwa semua kerabat seorang pria dari nasab adalah haram atasnya; kecuali anak-anak perempuan pamannya, baik dari pihak bapak maupun ibu, dan anak-anak perempuan bibinya, baik dari pihak bapak maupun ibu.
Keempat golongan inilah yang dihalalkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dengan firman-Nya: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ‘Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin…’” [Al-Ahzaab/33: 50] Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan bagi Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari wanita-wanita itu, empat golongan; dan Allah tidak menjadikan hal itu sebagai kekhususan bagi beliau sehingga tidak berlaku untuk kaum mukminin lainnya.
Kecuali wanita yang menghibahkan dirinya (menawarkan diri untuk dinikahkan), maka Dia menjadikan hal ini sebagai kekhususannya. Beliau boleh menikahi wanita yang menghibahkan dirinya tanpa mahar, dan ini tidak berlaku untuk selain beliau; berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”[4] Kemudian, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun yang berkaitan dengan wanita yang diharamkan karena semenda, maka semua berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah semenda halal baginya kecuali empat golongan.
Dan ini bertolak belakang dengan sanak famili, di mana keseluruhannya haram untuk dinikahi kecuali empat golongan. Kaum kerabat kedua pasangan suami-isteri semuanya halal, kecuali empat golongan, yaitu mantan isteri ayah, mantan isteri anak laki-laki, ibu isteri (mertua), dan anak-anak isteri. Diharamkan atas kedua pasangan suami-isteri (untuk memihak) orang tua dan anak-anak masing-masing. Diharamkan atas laki-laki menikahi ibu isterinya; termasuk nenek isteri dari pihak ibu dan ayah serta seterusnya ke atas.
Ia juga diharamkan menikahi anak perempuan isterinya, yaitu anak tiri dan cucu perempuan dari anak perempuan isterinya serta seterusnya ke bawah. Juga anak perempuan dari anak tiri perempuan pun adalah haram. Baca Juga Masing-Masing Suami Istri Berhak Memandang Tubuh Pasangannya Dan Mandi Bersama Ia diharamkan menikah dengan isteri ayahnya dan seterusnya ke atas, dan isteri anak laki-lakinya serta seterusnya ke bawah.
Keempat golongan itulah yang diharamkan dalam Kitabullah karena semenda. Keempat golongan itu diharamkan dengan akad; kecuali anak tiri, maka ia tidak diharamkan hingga (kecuali) sang pria telah mencampuri ibunya. Adapun anak-anak perempuan dari kedua wanita berikut ini dan (anak-anak perempuan dari) ibunya, maka tidak diharamkan. Ia boleh menikahi anak perempuan isteri ayahnya [*] dan (anak perempuan dari isteri) anak laki-lakinya [**] berdasarkan kesepakatan ulama; sebab dia bukan isteri.
Berbeda halnya dengan anak perempuan tiri, karena anak dari anak tiri adalah cucu tiri. Begitu juga anak perempuan ibu isteri (ibu mertua) tidak diharamkan, [***] karena dia bukan ibu yang sesungguhnya. Karena itu kalangan fuqaha mengatakan: ‘Anak-anak perempuan dari wanita-wanita yang diharamkan adalah diharamkan -kecuali anak-anak perempuan bibi dari pihak bapak dan dari pihak ibu- begitu juga ibu isteri, dan mantan isteri ayah dan anak juga diharamkan.’ Dia menggolongkan anak perempuan dari anak tiri perempuan sebagai wanita yang diharamkan; namun tidak memberlakukan hal tersebut pada anak-anak ketiga wanita di atas.
Inilah yang tidak saya ketahui ada perselisihan di dalamnya.”[5] Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far meng-himpun antara puteri ‘Ali dan isteri ‘Ali. Ibnu Sirin berpendapat tidak mengapa. Sedangkan al-Hasan semula memakruhkannya, kemudian berpendapat tidak mengapa.[6] Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, bahwa ia mengatakan: “وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ (An-Nisaa’/4: 24), para wanita yang bersuami lagi merdeka adalah haram, إِلاَّ مَـا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ‘Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ (An-Nisaa’/4: 24).
Ia berpendapat, tidak mengapa seseorang mengambil hamba sahaya wanitanya dari hamba sahaya laki-lakinya.” Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Kebanyakan yang dimaksud dengan muhshanaat ialah para wanita yang bersuami, yakni bahwa mereka adalah haram, dan yang dimaksud dengan pengecualian dalam firman-Nya, إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ‘Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ ialah para tawanan wanita; jika mereka bersuami, maka mereka halal bagi siapa yang menawannya.”[7] Diharamkannya Anak Tiri Perempuan Dan Menghimpun Dua Wanita Bersaudara.
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ “… Dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum ber-campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan)…” [An-Nisaa’/4: 23] Menurut Ibnu ‘Abbas Radhyallahu anhu, (yang dimaksud dengan) dukhul (mencampuri), masis dan lamas (menyentuh) ialah jima’ (bersetubuh).
[8] Al-Bukhari meriwayatkan dari Zainab, dari Ummu Habibah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan puteri Abu Sufyan?’ (Dalam sebuah riwayat: ‘Nikahilah saudara perempuanku, puteri Abu Sufyan’). Beliau menjawab: ‘Aku akan berbuat apa?’ Aku mengatakan: ‘Engkau menikahinya.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau suka?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak cemburu kepadamu, dan wanita yang paling aku sukai menyertaiku bersamamu ialah saudara perempuanku.’ Beliau bersabda: ‘Ia tidak halal untukku.’ Aku mengatakan: ‘Aku mendapat kabar bahwa engkau tengah meminang.’ Beliau bertanya: ‘Puteri Ummu Salamah maksudnya?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau mengatakan: ‘Seandainya dia bukan anak tiriku, dia tetap tidak halal untukku; aku dan ayahnya sama-sama disusui oleh Tsuwaibah.
Oleh karena itu, jangan menawarkan puteri-puteri kalian dan saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.'”[9] Menurut al-Hafizh rahimahullah, yang dimaksud dengan rabibah adalah anak perempuan isteri (anak tiri). Kemudian dia mengatakan: ‘Abdurrazzaq, Ibnul Mundzir dan selainnya mengatakan dari jalur Ibrahim bin ‘Ubaid dari Malik bin Aus. Ia mengatakan: “Aku mempunyai isteri yang sudah melahirkan anak untukku.
Ketika dia mati, aku melihat di pangkuannya. Lalu ketika aku bertemu ‘Ali bin Abi Thalib, dia bertanya: ‘Apa yang menimpamu?’ Aku pun menceritakan kepadanya.
Dia bertanya: ‘Apakah dia mempunyai anak wanita (yakni dari pria selain kamu)?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Dia bertanya: ‘Apakah ia dalam pengasuhanmu?’ Aku menjawab: ‘Tidak, ia di Tha-if.’ Dia mengatakan: ‘Nikahilah!’ Aku bertanya: ‘Lalu bagaimana dengan firman-Nya, وَرَبَـائِبُكُم ‘Dan anak-anak perempuan isterimu?’ Dia menjawab: ‘Ia tidak dalam pengasuhanmu.’” Atsar ini shahih dari ‘Ali Radhyallahu anhu.[10] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pengharaman menghimpun dua wanita bersaudara berdasarkan nash (teks) al-Qur-an; dan tidak boleh pula (menggabungkan) antara wanita dengan bibinya dari pihak ayah dan antara wanita dengan bibinya dari pihak ibu.
Tidak boleh wanita yang lebih tua dinikahi setelah saudara wanitanya yang lebih muda (dinikahi), atau sebaliknya. Karena telah termaktub dalam hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam. melarang hal itu. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda: أَنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ بَيْنَ أَرْحَامِكُمْ. ‘Jika kalian melakukan hal itu, maka kalian telah memutuskan ikatan kekerabatan di antara kalian.’ Walaupun salah satu dari keduanya merelakan yang lainnya untuk dinikahi, tetap tidak boleh.
Sebab, tabi’at itu berubah-ubah. Karena itu, ketika Ummu Habibah menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam agar menikahi saudara perempuannya, beliau bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu suka?’ Ia menjawab: ‘Aku tidak lagi sendirian, dan wanita yang paling berhak menyertaiku dalam kebajikan adalah saudara perempuanku.’ Tapi beliau mengatakan: ‘Ia tidak halal bagiku.’ Dikatakan kepada beliau: ‘Kami berbincang-bincang bahwa engkau akan menikahi gadis puteri Abu Salamah.’ Beliau menjawab: لَوْلَمْ تَكُنْ رَبِيْبَتِيْ فِيْ حِجْـرِيْ لَمَا حَلَّتْ لِيْ، فَإِنَّهَا بِنْتُ أَخِيْ مِنَ الرَّضَاعِ، أَرْضَعَتْنِيْ وَأَبَاهَا أَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ أُمُّ أَبِيْ لَهَبٍ، فَلاَ تَعْرُضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ.
‘Seandainya dia bukan anak tiriku yang berada dalam pengasuhanku, dia tetap tidak halal bagiku; sebab dia adalah anak saudaraku sepersusuan. Aku dan ayahnya disusui oleh Tsu-waibah, ibunda Abu Lahab. Oleh karena itu, janganlah menawarkan anak-anak perempuan kalian atau saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.’[11] Dan hal ini disepakati oleh kalangan ulama.”[12] Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam melarang wanita dinikahi bersama bibinya, baik bibi dari berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah ayah maupun dari pihak ibu.”[13] Diharamkan Dari Sepersusuan Sebagaimana Yang Diharamkan Dari Nasab:[14] Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, isteri Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam, mengabarkan kepada ‘Umrah binti ‘Abdurrahman bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam berada di sisinya dan dia mendengar suara seorang pria yang meminta izin di rumah Hafshah.
Ia mengatakan: “Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, ada orang yang meminta izin di rumahmu.’ Beliau mengatakan: ‘Aku melihatnya si fulan.’ Ternyata paman Hafshah dari sepersusuan.” ‘Aisyah bertanya: “Seandainya si fulan masih hidup -paman ‘Aisyah dari sepersusuan- apakah dia boleh menjengukku?” Beliau menjawab: “Ya, sepersusuan diharamkan sebagaimana seperanakan.”[15] Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: “Ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam: ‘Mengapa engkau tidak menikahi puteri Hamzah?’ Beliau menjawab: ‘Ia adalah puteri saudaraku sepersusuan.'”[16] Baca Juga Pernikahan Yang Diharamkan : Nikah Ar-Rahth, Nikah Al-Istibdha', Nikah Mut'ah Masa Penyusuan.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam menemuinya, sedang di sisinya ada seorang pria, maka sepertinya wajah beliau berubah (seperti) tidak menyukai hal itu. ‘Aisyah berkata, “Ia saudaraku.” Beliau bersabda: اُنْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ. “Perhatikanlah saudara-saudara kalian. Sebab penyusuan itu hanyalah (yang diberikan sebagai penyelamatan dari) kelaparan.”[17] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, Al-Muhlib berkata: “Diharamkannya sepersusuan hanyalah (yang terjadi) di masa kecil hingga penyusuan itu mengatasi kelaparan.” Abu ‘Ubaid berkata: “Arti “perhatikan apa yang ada pada saudara-saudara kalian… dan seterusnya,” adalah bayi yang lapar, dan makanan yang mengenyangkannya adalah susu dari penyusuan.” Sabda beliau: “Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah (yang diberikan sebagai) penyelamatan dari kelaparan”, maksudnya penyusuan yang menetapkan keharaman, dan dihalalkan ‘Aisyah berdua dengannya adalah apabila yang disusui itu masih bayi, di mana susu itu mengatasi kelaparannya.
Di antara hadits-hadits pendukungnya ialah hadits Ibnu Mas’ud: “Tidak ada penyusuan kecuali apa yang dapat menguatkan tulang dan me-numbuhkan daging.”[18] Dan hadits Ummu Salamah: “Tidak diharamkan dari sepersusuan kecuali yang mengenyangkan usus-usus.”[19] Kemudian, al-Hafizh v berkata: “Ini dapat dijadikan sebagai dalil bahwa sekali susuan tidaklah menjadi haram, karena tidak menghilangkan rasa lapar.” Al-Hafizh mengatakan tentang masa penyusuan.
Dikatakan, tidak lebih dari usia dua tahun. Ini adalah riwayat Wahb dari Malik, dan demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Argumen mereka adalah hadits Ibnu ‘Abbas: “Tidak ada penyusuan kecuali dalam (usia) dua tahun.”[20] Jumlah Susuan. Para ulama berselisih tentang jumlah penyusuan yang menyebabkan haramnya (pernikahan). Ada sejumlah hadits yang berbeda-beda dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ada yang menyebutkan sepuluh kali, tujuh kali, dan lima kali susuan; dan yang paling shahih adalah riwayat Muslim yang menyebutkan lima kali susuan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Di antara ayat al-Qur-an yang diturunkan ialah tentang sepuluh susuan yang telah dikenal. Kemudian dihapuskan dengan lima susuan yang telah dikenal.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam wafat, dan itulah yang dibaca.”[21] Sedangkan dalam riwayat ‘Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Tidak menyebabkan haram kurang dari lima susuan yang dikenal.”[22] Imam Asy-Syafi’i berpendapat demikian.
Ini pun termasuk riwayat Ahmad dan pen-dapat Ibnu Hazm. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit dengan sanad yang shahih bahwa dia mengatakan: “Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan tiga kali susuan.” Hadits yang terkuat di antara hadits-hadits tentang masalah ini ialah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang lima kali susuan.
Adapun (maksud) hadits: “Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan dua kali susuan,” maka mungkin sekedar misal dari penyusuan yang kurang dari lima kali. Jika tidak demikian, maka pengharaman dengan tiga kali susuan dan seterusnya hanyalah diambil dari mafhum (konteks) hadits.
Tetapi ini ditentang oleh mafhum hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu lima kali susuan.[23] Menyusu Dari Air Susu. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Aisyah, dia bercerita kepadanya bahwasanya Aflah, saudara Abul Qu’ais, datang untuk meminta izin kepadanya -ia adalah pamannya sepersusuan- setelah turun ayat tentang hijab. ‘Aisyah berkata: “Tapi aku menolak memberi izin kepadanya.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam datang, aku memberitahukan kepada beliau tentang apa yang aku lakukan, maka beliau menyuruhku agar mengizinkannya menemuiku.” Dalam satu riwayat: “Sebab, dia adalah pamanmu.
Semoga engkau diberkahi.” Abul Qu’ais adalah suami wanita yang menyusui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.[24] [Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah Bogor] _______ Footnote [1].
HR. Al-Bukhari (no. 5105), kitab an-Nikaah. [2]. Fat-hul Baari (IX/154). [3]. Fat-hul Baari (IX/155). [4]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[*]. Yang dimaksud dengan isteri ayahnya di sini adalah yang selain ibu kandung-nya, sedang anak perempuannya bukan yang terlahir dari pernikahan dengan ayahnya, tetapi dengan laki-laki lain.-ed. [**]. Yaitu yang terlahir dari pernikahan dengan laki-laki lain bukan dari pernikahan dengan anak laki-lakinya, sebab anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) haram untuk dinikahi.-ed.
[***]. Maksudnya, tidak diharamkan selama-lamanya. Adapun selama dia masih terikat pernikahan dengan isterinya, maka haram baginya untuk menikahinya, karena adanya larangan menghimpun dua wanita yang bersaudara.-ed. [5].
Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62). [6]. HR. Al-Bukhari (no. 5105) kitab an-Nikaah. [7]. Fat-hul Baari (IX/154). [8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 25), dan lihat Fat-hul Baari (IX/157). [9]. HR. Al-Bukhari (no. 5106) kitab an-Nikaah, Muslim (no.
1449) kitab ar-Radhaa’, an-Nasa-i (no. 3284) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2056) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1939) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 25954). [10]. Fat-hul Baari (IX/158). [11]. HR. Al-Bukhari (no. 5101) kitab an-Nikaah. [12]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5108) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1408) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no.
1126) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3288) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1929) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 7413). [14]. HR. Al-Bukhari (no. 2645) kitab asy-Syahaadah, Muslim (no.
1444) kitab ar-Radhaa’ah, an-Nasa-i (no. 3302) kitab an-Nikaah. [15]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1444) kitab ar-Radhaa’. [16]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1446) kitab ar-Radhaa’. [17]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1455) kitab ar-Radhaa’. [18]. Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/148). [19]. HR. Ibnu Majah (no. 1946) kitab an-Nikaah, dari ‘Abdullah bin az-Zubair z, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no.
1582) dan lihat al-Irwaa’ (no. 2150). [20]. HR. At-Tirmidzi (no. 1166) kitab ar-Radhaa’, Ibnu Majah (no. 1942) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 919) dan lihat al-Irwaa’ (no. 2047), serta Fat-hul Baari (IX/146). [21].
HR. Muslim (no. 1452) kitab ar-Radhaa’. [22]. Disebutkan oleh al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/147). [23]. Fat-hul Baari (IX/147). [24]. HR. Al-Bukhari (no.
2644) kitab asy-Syahaadah, Muslim (no. 1445) kitab ar-Radhaa’ah, at-Tirmidzi (no. 1148) kitab ar-Radhaa’ah, an-Nasa-i (no.
3301) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1948) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 23534). Jakarta, Aktual.com — Kata nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti bertemu dan berkumpul.
Nikah juga berarti mengikat hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui akad yang dilakukan menurut syariat Islam. Keinginan menikah tentu dimiliki setiap manusia yang sudah mencapai usia yang pantas dan siap secara lahir dan batin. Rasulullah SAW bersabda: Artinya, â€Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah.
Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwatâ€. (HR. Bukhori Muslim). Di dalam Islam, menikah merupakan suatu ibadah.dengan adanya pernikahan maka dapat membuat kita terhindar dari segala fitnah dan dijauhkan dari zinah.
Namun, yang perlu diketahui yakni adanya beberapa golongan yang tak seharusnya kita nikahi. Hal tersebut tertera dalam srat An Nisa ayat 23 yang berbunyi: “Diharamkan atas kalian untuk (mengawini) ibu-ibu kalian (1), anak perempuan kalian (2), saudara-saudara perempuan kalian (3), saudara-saudara perempuan dari ayah kalian (4), saudara-saudara perempuan dari ibu kalian (5), anak-anak perempuan dari saudara laki-laki (kalian) (6), anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan (kalian) (7),” “Ibu-ibu kalian yang menyusui kalian (8), saudara-saudara perempuan sepersusuan (9), ibu-ibu istri kalian (mertua) (10), anak-anak berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri (11), akan tetapi jika kalian belum bercampur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan) tidaklah berdosa kalian kawini, dan kalian diharamkan terhadap istri-istri anak-anak kandung kalian (menantu) (12), dan menghimpun dua perempuan yang bersaudara (dalam perkawinan) kecuali telah terjadi pada masa lampau.
Sesungguhnya Allah maha pengampun dan maha penyayang. †Dari ayat di atas disebutkan beberapa mahram. Berikut rinciannya: 1. Ibu-ibu kalian Definisi secara bahasa arab ibu adalah setiap nasab lahirmu yang kembali kepadanya, termasuk diantaranya sebagai berikut: Ibu (ibu yang melahirkanmu), ibu dari ibu maupun ayah kalian, nenek dari ibu maupun ayah kalian, buyut dari ibu maupun ayah kalian, dan seterusnya ke atas.
2. Anak-anak perempuan kalian Berikut yang termasuk dalam kategori anak perempuan: Anak perempuan kalian, anak perempuan dari anak kalian (cucu perempuan), cucu perempuan dari  anak kalian (cicit perempuan), dan seterusnya generasi ke bawahnya. 3. Saudara-saudara perempuan kalian Saudara perempuan yang merupakan mahram adalah sebagai berikut: Saudara perempuan satu ayah dan satu ibu, saudara perempuan satu ayah saja dan saudara perempuan satu ibu saja.
Jika ayah kita menikah dengan 2 wanita, berarti anak-anak dari istri-istri ayah kita termasuk mahram yang tidak boleh dinikahi. 4. Saudara-saudara perempuan dari ayah kalian Mereka adalah: saudara perempuan ayah satu ayah dan satu ibu, saudara perempuan ayah satu ayah saja, saudara perempuan ayah satu ibu saja, saudara perempuan kakek dari ayah dan ibu, saudara perempuan buyut dari ayah dan ibu dan seterusnya ke atas.
Misalnya, ayah kita memiliki istri lebih dari satu berarti saudara-saudara perempuan ibu-ibu kita juga mahram. Haram menikah dengan mereka. 5. Saudara-saudara perempuan ibu Saudara perempuan dari pihak ibu juga termasuk mahram, skemanya seperti saudara perempuan ayah. Biasanya kita menyebut mereka tante atau budhe atau bulik dan semacamnya.
6. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki Yang termasuk golongan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki adalah sebagai berikut: Anak perempuan dari saudara laki-laki se-ayah dan se-ibu,anak perempuan dari saudara laki-laki se-ayah saja atau se-ibu saja, cucu dari saudara laki-laki se-ayah atau se-ibu,cicit perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah Secara mudahnya, anak perempuan dari saudara laki-laki istilah kita termasuk keponakan dari saudara laki-laki.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan Golongan ini juga kedudukannya sama dengan poin 6. Keponakan adalah mahram, baik dari anak saudara laki-laki maupun anak saudara perempuan kita, termasuk juga cucu, buyut dan seterusnya dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan kita. 8. Ibu-ibu yang menyusui kalian Meskipun tidak ada nasab dengan kita, jika ada ibu-ibu menyusui kalian maka haram dinikahi, termasuk: Ibu yang menyusui itu sendiri, ibu dari ibu yang menyusui, nenek dari ibu yang menyusui, dan seterusnya ke atas.
Termasuk juga anak-anak dari ibu maupun suami yang menyusui itu sendiri adalah mahram bagi kita dan haram dinikahi. Oleh karena itu menyusui bayi itu tidak boleh sembarangan agar tidak terjadi masalah dalam pernikahan kelak. 9. Saudara perempuan dari ibu sepersusuan Maksudnya adalah perempuan yang kalian disusui oleh ibunya atau perempuan yang menyusu pada ibumuatau menyusu pada orang yang sama selain ibu kalian berdua atau perempuan yang menyusu pada istri lain dari suami ibu susuan.
Sekali lagi permasalahan saudara sesusuan ini sangat pelik, para wanita harus berhati-hati menyusui seorang bayi, meskipun merasa kasihan pada bayi tersebut. Jangan sampai kita menikahi orang yang seharusnya tidak boleh dinikahi.
10. Ibu istri-istri kalian (Mertua) Ibu dari istri-istri kita disebut dengan mertua. Maka termasuk nasab ke atas adalah mahram kita, nenek dari istri, buyut dari istri dan seterusnya. Begitu juga dengan ibu susuan dari istri, dan seterusnya, kedudukannya sama dengan ibu kandung dari istri.
11. Anak-anak dari istri yang sudah kalian campuri Anak-anak istri kalian yang berada berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah pemeliharaan kalian dari istri yang sudah kalian campuri akan tetapi jika belum dicampuri dan sudah cerai atau meninggal maka boleh dinikahi.
Dalam masyarakat kita menyebutnya berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah tiri. Jadi seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita yang sudah mempunyai anak berarti ada hukum terhadap anak-anak istrinya seperti yang telah disebutkan.
12. Istri-istri dari anak-anak kandung (Menantu) Istri dari anak-anak kandung disebut menantu. Seseorang tidak boleh menikahi seorang wanita ketika sudah terjadi akad nikah dengan anak-anak kandungnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Termasuk juga nasab ke bawahnya, anak dari menantu, cucu dari menantu dan seterusnya ke bawah.
14 Wanita Yang Haram Dinikahi Dalam Islam – Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa wanita yang boleh dinikahi mempunyai syarat-syarat tertentu, sebagaimana yang telah dibahas dalam postingan berjudul Syarat-Syarat Menjadi Istri Dalam Islam.
Kali ini fanind.com akan membahas rincian lebih lanjut tentang wanita-wanita yang tidak boleh dijadikan istri. Saya mencoba untuk meringkas tentang pembahasan ini berdasarkan kitab-kitab fikih klasik dan dari sebuah buku berjudul bagaimana anda menikah dan mengatasi permasalahannya, karya Habib Segaf Hasan Baharun, S.HI.
Namun sebagaimana dalam tulisan sebelumnya saya tidak akan mencantumkan dalil secara lengkap, hanya sumbernya saja, karena sudah banyak dalam blog atau web lain sehingga jika dicantumkan disini google akan mengindeksnya sebagai tulisan plagiat.
Inilah 14 wanita yang haram dinikahi dalam Islam. 14 wanita yang tidak boleh dijadikan istri 1. Wanita yang masih bersuami Sebagaimana telah dijelaskan dalam postingan sebelumya bahwa wanita yang masih bersuami haram untuk menjadi istri dari pria lain selama masih bersuami.
Meskipun telah pisah ranjang dalam waktu yang cukup lama, selama suami pertamanya belum menceraikannya tetap haram dinikahi. Karena Islam tidak mengenal poliandri. 2. Wanita dalam iddah Wanita yang sedang menjalankan iddah haram untuk dinikahi. Baik iddah karena diceraikan suaminya ataupun iddah karena suaminya meninggal.
3. Wanita yang murtad Wanita yang murtad haram dinikahi. Murtad adalah keluar dari Agama Islam baik dengan perkataan, dengan perbuatan ataupun hanya dengan tekad atau berniat murtad.
Wanita seperti ini boleh dinikahi jika sudah kembali masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. 4. Wanita non muslim Maksud wanita non muslim disini adalah selain wanita ahli kitab (Nasrani dan Yahudi). Wanita non muslim, baik itu beragama Budha, Hindu, Konghucu dan lain-lain tidak boleh dijadikan istri oleh seorang muslim. Adapun wanita ahlul kitab, Nasrani dan Yahudi boleh dijadikan istri dengan syarat-syarat tertentu.
Pembahasan tentang syarat-syarat ini akan dibahas dengan rinci pada postingan lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah ayat 221. 5. Wanita Mahram Yang ini sudah sangat jelas, wanita yang menjadi mahram (yang sering disebut muhrim oleh orang awam) atau wanita yang merupakan keluarga ataupun senasab haram dijadikan istri.
Pembahasan tentang mahram dan rinciannya akan dibahas dalam postingan yang lain secara rinci. Anda juga bisa lihat dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 23. 6. Wanita yang sepersusuan Wanita seperususan otomatis menjadi mahram yang haram alias tidak boleh dinikahi. Dalam fikih disebut dengan radla’ah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 23.
7. Wanita mahram karena ipar Dalam fikih periparan ini disebut dengan mushaharah. Wanita yang menjadi mahram karena periparan seperti adik atau kakak ipar ataupun mertua haram dinikahi dalam Islam. Ini juga terdapat dalam surat An-Nisa ayat 23.
Tidak boleh menikahi mahram 8. Wanita yang jadi istri kelima Haram menjadikan wanita untuk jadi istri kelima. Karena dalam Islam poligami hanya diizinkan dengan empat istri dengan syarat-syarat tertentu. Kecuali suami yang beristri 4 tersebut menceraikan salah satu istrinya, maka boleh menikah lagi. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3. 9. Wanita yang merupakan bibi dari istri Haram atau tidak boleh menikahi atau berpoligami dengan bibi dari istri sendiri ataupun saudari wanita dari istri sendiri.
Kecuali sudah bercerai dengan ataupun istrinya sudah meninggal. Lihat dalam QS. An-Nisa ayat 23. Rasulullah saw juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud menyebutkan bahwa: Tidak boleh dalam satu pernikahan disatukan antara seorang wanita dengan bibi saudari ayah.
Dan juga tidak boleh antara bibi tersebut dengan keponakannya (anak saudaranya), tidak boleh juga antara bibi saudari ibu dan antara bibi tersebut dengan keponakannya (anak saudaranya) dan antara dua wanita baik yang kecil maupun yang besar. 10. Wanita yang ditalak tiga Haram seorang pria menikah kembali dengan istrinya yang telah ditalak 3. Kecuali jika wanita tersebut sudah pernah menikah lagi dengan pria yang lain dan bercerai kembali.
Sebagaimana sudah dimaklumi dalam hadits. 11. Wanita yang sedang ihram Sebagaimana telah dijelaskan pada postingan sebelumnya, bahwa wanita yang sedang ihram, baik itu ihram haji ataupun umrah haram untuk dinikahi. Kecuali jika ihramnya sudah selesai, maka boleh dinikahi meskipun dia masih berada di kota Mekkah. Psangan li’an tidak boleh menikah 12. Wanita yang di li’an Wanita yang di li’an atau dituduh berselingkuh oleh suaminya tanpa bukti dan wanita tersebut membantah tuduhannya.
Maka jalan keluarnya adalah si suami harus bersumpah sebanyak 4 kali bahwa dia orang yang benar dan juga harus bersumpah untuk yang kelima kalinya disertai dengan bersedia menerima laknat dari Allah apabila dia berbohong. Begitu juga sang istri harus bersumpah sebaliknya sebanyak empat kali bahwa suaminya yang berdusta dan bersumpah untuk yang kelima kalinya disertai dengan pernyataan bahwa dia bersedia menerima adzab Allah jika dia berbohong.
Jika hal berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah ini terjadi, maka pasangan suami istri ini harus dipisahkan selamanya, tidak boleh lagi atau haram menikah kembali dan menjadi suami istri. Sebagaimana Nabi saw pernah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqy: Dua orang yang saling li’an tidak boleh berkumpul selamanya. 13. Wanita yang hilang keperawanannya sebelum baligh Jika ada wanita yang telah hilang keperawanannya dan dia masih kecil serta belum baligh.
Maka haram dinikahi sampai mencapai usia baligh. Ini karena wanita yang sudah tidak perawan hanya bisa dinikahi bila dirinya sendiri memberi izin, tidak tergantung pada izin walinya lagi. Berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah dalam fikih Islam, izin disebut sah apabila diberikan oleh orang yang sudah baligh, bukan oleh anak kecil. 14. Wanita yatim (tidak punya ayah dan kakek) Sebagaimana pernah dijelaskan sebelumnya dalam postingan berjudul Syarat-Syarat Menjadi Wali Nikah Dalam Islam, bahwa yang boleh menikahkan seorang wanita yang masih gadis hanyalah Ayah dan Kakeknya jika gadis tersebut masih belum baligh.
Ini artinya haram menikahi seorang gadis yang masih belum baligh kecuali atas izin wali mujbirnya (Ayah atau Kakeknya). Nah, jika ayah dan kakeknya sudah meninggal, maka gadis tersebut haram dinikahi dan wali lainnya tidak boleh ada yang menikahkan hingga dia mencapai usia baligh terlebih dahulu.
Itulah 14 wanita yang haram dinikahi dalam Islam dengan segala sebab-sebabnya. Allah wa Rasuluh A’lam
Menu • HOME • RAMADHAN • Kabar Ramadhan • Puasa Nabi • Tips Puasa • Kuliner • Fiqih Ramadhan • Hikmah Ramadhan • Video • Infografis • NEWS • Politik • Hukum • Pendidikan • Umum • News Analysis • UMM • UBSI • Telko Highlight • NUSANTARA • Jabodetabek • banten • Jawa Barat • Jawa Tengah & DIY • Jawa Timur • kalimantan • Sulawesi • Sumatra • Bali Nusa Tenggara • Papua Maluku • KHAZANAH • Indonesia • Dunia • Filantropi • Hikmah • Mualaf • Rumah Zakat • Sang Pencerah • Ihram • Alquran Digital • ISLAM DIGEST • Nabi Muhammad • Muslimah • Kisah • Fatwa • Mozaik • INTERNASIONAL • Timur tengah • Palestina • Eropa • Amerika • Asia • Afrika • Jejak Waktu • Australia Plus • DW • EKONOMI • Digital • Syariah • Bisnis • Finansial • Migas • pertanian • Global • Energi • REPUBLIKBOLA • Klasemen • Bola Nasional • Liga Inggris • Liga Spanyol • Liga Italia • Liga Dunia • Internasional • Free kick • Arena • Sea Games 2021 • SEAGAMES 2021 • Berita • Histori • Pernik • Profil • LEISURE • Gaya Hidup • travelling • kuliner • Parenting • Health • Senggang • Republikopi • tips • TEKNOLOGI • Internet • elektronika • gadget • aplikasi • fun science & math • review • sains • tips • KOLOM • Resonansi • Analisis • Fokus • Selarung • Sastra • konsultasi • Kalam • INFOGRAFIS • Breaking • sport • tips • komik • karikatur • agama • JURNAL-HAJI • video • haji-umrah • journey • halal • tips • ihrampedia • REPUBLIKA TV • ENGLISH • General • National • Economy • Speak Out • KONSULTASI • keuangan • fikih berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah • agama islam • zakat • IN PICTURES • Nasional • Jabodetabek • Internasional • Olahraga • Rana • PILKADA 2020 • berita pilkada • foto pilkada • video pilkada • KPU Bawaslu • SASTRA • cerpen • syair • resensi-buku • RETIZEN • Info Warga • video warga • teh anget • INDEKS • LAINNYA • In pictures • infografis • Pilkada 2020 • Sastra • Retizen • indeks Baca Juga • Lafaz Allah di Malaysia, Ini Asal Katanya Versi Kamus Arab • 5 Pelajaran Terpenting dari Semut untuk Manusia • Risalah Napoleon untuk Yahudi yang Rugikan Palestina Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan, beberapa perempuan yang haram untuk dinikahi bukan karena adanya pertalian nasab (keturunan), melainkan karena adanya status tertentu yang menyertainya.
Pertama, diharamkan memperistri dua orang kakak beradik. Yakni haram hukumnya mempermadukan (menghimpunkan) antara dua orang perempuan kakak berikut ini wanita yang tidak boleh dinikahi adalah dalam satu pernikahan pada suatu masa yang bersamaan.
Demikian pula mempermadukan antara seorang perempuan dan bibinya (baik dari pihak ibu maupun saudara ayah). Sebagaimana juga yang diharamkan mempermadukan antara dua orang perempuan yang ada hubungan mahram antara keduanya. Sehingga seandainya salah seorang dari keduanya adalah laki-laki, maka tidak dibenarkan berlangsungnya pernikahan antara keduanya. Yakni sebagai contoh, mengawini perempuan lalu mengwaini juga keponakannya.
Larangan ini dijelaskan secara tegas sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat An-Nisa ayat 23. حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.
Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan.